Momen langka
Bab 2
Akhirnya mobil berhenti di halaman sebuah hotel. Zaki melepas sealbeat dari badannya kemudian melepaskan sealbeat yang masih terpasang pada tubuh istrinya..
"Mau jalan sendiri atau di gendong?" Laki-laki membuka pintu mobil.
Andini menjulurkan lidahnya. Ia turun dari mobil setelah mengamati keadaan di sekitarnya.
"Sudahlah. Tak perlu di hiraukan dengan orang-orang yang membuntuti kita." Zaki menyadari sikap Andini. Dia merangkul perempuan itu untuk melangkah memasuki lobby hotel.
Setelah mendapatkan kunci kamar, Zaki menggendong Andini menyusuri lorong-lorong menuju kamar mereka.
"Jangan begini, Bang. Adek malu," bisik Andini.
"Ngapain malu? Sama suami sendiri kok." Laki-laki itu tersenyum nakal.
"Abang kangen. Sudah lama kita tidak berada di suasana seperti ini," katanya. Suara parau. Ia mengecup kening perempuan itu sekilas.
Zaki menurunkan tubuh Andini tepat di depan pintu hotel.
Ceklek.
Pintu terbuka dan nampak sebuah ruangan yang tidak terlalu luas tapi sangat bersih. Sebuah tempat tidur ukuran besar dan meja kecil di samping kanan kirinya.
Perasaannya menghangat. Semburat merah di pipinya cukup menambah bukti di mata Zaki dari sorot rindu yang memancar dari netra Andini. Sejenak tubuh itu membeku ketika sepasang tangan kokoh melingkar di pinggang rampingnya.
"Biarkan untuk sejenak seperti ini," ucapnya lirih. Zaki mempererat pelukannya. Wajah mereka tak ada jarak. Hembusan nafas Zaki seirama dengan getar di dada Andini yang membuncah dalam rindu.
"Pernahkah Abang berpikir betapa ingin Adek agar suasana seindah ini ada di setiap hari-hari kita?" desah Andini. Dia mengecup punggung tangan suaminya.
"Abang terlebih lagi merindukan, Sayang."
"Akan tetapi kapan, Bang?"
"Abang juga tidak tahu, Sayang."
"Berjuanglah untuk itu, Bang, karena Adek sudah merasa begitu lelah. Punya suami seakan tak bersuami."
"Abang masih terus berjuang. Hanya saja itu tak mudah. Kalau Abang berontak, Abang akan kehilangan semuanya, termasuk dirimu." Laki-laki itu tercekat. Masih segar dalam ingatan, ancaman ibunya yang akan menghabisi Andini dan ibunya jika ia sampai berani memberontak dan meninggalkan keluarganya.
"Kita jarang bertemu, itu Abang akui. Bukan karena Abang tak rindu atau tak mau menemuimu. Semua karena keadaan."
"Adek lelah." Andini menangis. "Adek tahu, orang-orang suruhan keluarga Abang mengetahui kita bertemu disini. Setelah ini, pasti Adek akan di teror lagi seperti yang sudah-sudah."
Suara tangisan Andini terdengar begitu pilu, membuat Zaki tak kuasa menahan diri. Dengan sekali gerakan, ia membopong tubuh kurus itu ke pembaringan.
Ia merebahkan tubuh Andini dengan hati-hati. Seakan Andini adalah benda porselen cantik yang mudah pecah dan teramat berharga. Dia menyeka air mata itu dengan bibirnya.
"Ah...."Andini mendesah. Suara desahan yang membuat sang suami menghentikan aktivitasnya di wajah mulus itu.
"Sudah ya, jangan nangis lagi. Abang sedih kalau Adek terus begini."
Andini membuka matanya. Netranya menangkap sesosok wajah yang memandangnya dengan sorot mata sayu dan penuh kesedihan.
"Maaf, Bang," ucapnya. Andini mengerjapkan matanya.
Perlahan Zaki mulai melepas penutup kepala istrinya. Dia membelai helaian hitam itu dan kemudian menciumnya.
"Sekarang kita shalat dulu ya, nanti baru di lanjutkan istirahatnya."
Andini baru sadar kalau mereka belum shalat zuhur. Perempuan itu mengangguk.
"Iya, Bang." Dia bangkit dari tempat tidur. "Adek duluan berwudhu ya."
Zaki mengangguk. Ia masih memainkan ponselnya untuk memesan makanan melalui aplikasi layanan pesan antar. Dia pun menyadari kalau perutnya lapar setelah di kafe tadi hanya minum saja.
Andini keluar dari kamar mandi dengan wajah yang jauh lebih segar. Wajahnya semakin bercahaya di hiasi titik-titik air sisa wudhu yang terlihat bak mutiara yang berkilauan.
Zaki meletakkan ponsel ke meja malas. Ia bergegas masuk ke kamar mandi dan segera berwudhu. Sementara Andini segera menghampar sajadah dengan patokan kiblat yang ada di ponselnya. Setelah itu, ia memakai mukenanya.
Momen yang sangat langka buat Andini adalah bisa merasakan sang suami menjadi imam di dalam shalatnya. Betapa berharganya waktu pertemuan mereka! Momen seperti ini mungkin tak akan Andini temukan lagi dalam waktu satu atau dua bulan ke depan.
Allahu Akbar...
Matanya berkaca-kaca setelah Zaki mengucap takbiratul ihram, membaca surah Al-fatihah dan memimpinnya melakukan gerakan shalat yang lainnya.
Ya Allah, betapa dia sangat mencintai Zaki ...!
Dia tak bisa mengingkari itu. Hanya saja, ia sudah begitu lelah dengan hubungan yang tak ada kemajuan dan semakin rumit ini.
Dia cuma wanita biasa, bukan wanita luar biasa yang sanggup menghadapi badai seorang diri. Selama ini, tahukah Zaki kalau ia berulang kali kedatangan ibu dari laki-laki itu yang memaksanya untuk bercerai dari anaknya?
Tahukah Zaki, kalau wanita yang sudah melahirkannya ke dunia itu sudah seringkali menghina dia dan ibunya sebagai wanita jalang tak tahu diri dan selalu menghalalkan segala cara demi meraih laki-laki idamannya?
Tak mungkin dia selamanya sanggup menelan mentah-mentah semua hinaan itu. Batu karang yang kokoh saja akan runtuh kalau setiap hari di amuk gelombang, apalagi dirinya!
Assalamu alaikum wa rahmatullah
Assalamu alaikum wa rahmatullah
Andini mencium punggung tangan Zaki ketika mereka selesai shalat. Laki-laki itu membalasnya dengan sebuah kecupan di keningnya.
"Terima kasih sudah mau bertahan menjadi istri Abang," lirihnya.
Andini mengangguk. Dia melepas dan melipat mukenanya. Laki-laki itu membantu dengan melipat sajadah dan menaruhnya di sisi ranjang.
"Jangan pernah lelah berdoa untuk hubungan kita ya. Bantu Abang dengan doamu, Sayang." Hanya dengan sekali gerakan, laki-laki itu berhasil membawa tubuh Andini ke dalam gendongannya.
"Adek tak pernah putus berdoa, Bang." Andini menyahut lirih. Dia melingkarkan kedua tangannya di leher sang suami.
Zaki merebahkan istrinya di pembaringan. Keduanya saling bersitatap, menyelami isi hati masing-masing. Zaki mendekatkan wajahnya, berusaha menghirup aroma tubuh itu sebanyak mungkin. Dia tahu, entah kapan akan kembali bisa mencium aroma seharum ini.
Hati Zaki bagai teriris saat melihat wajah yang begitu pasrah di hadapannya. Sepasang netra yang indah itu kembali terpejam. Laki-laki itu mulai menyentuh wajah itu dengan jemarinya. Pipi, hidung, mata, alis dan bibir merah muda alami yang nyaris membuatnya lupa diri dan melupakan satu hal.
Ya, dia sudah berjanji kepada Andini saat akan menikahinya, kalau ia tak akan meminta hak sebagai suami, sebelum ia bisa melegalkan pernikahan mereka.
Zaki melepaskan ciuman saat merasakan gairah kelelakiannya bergejolak. Wajahnya merah padam.
Tok tok tok.
Laki-laki itu mengerutkan keningnya. Siapa yang mengetuk pintu siang-siang begini? Zaki beringsut dari tempat berbaringnya.
"Adek tunggu disini ya. Biar Abang yang membuka pintu. Siapa tahu itu kurir makanan."
Andini menjawab dengan sebuah anggukan. Zaki berdiri dan bergegas melangkah menuju pintu kamar.
Ceklek.
Sesosok tubuh muncul di balik pintu langsung menatap laki-laki muda itu dengan pandangan membunuh. Di belakangnya tampak beberapa orang laki-laki bertubuh tegap dan berseragam hitam-hitam.
"Astagfirullah..." Zaki memekik dalam hati. Tubuhnya gemetar. Dia tak menyangka kalau sang ibu begitu cepat menemukan keberadaannya.
"Mama," ucapnya lirih.
"Dari mana Mama tahu kalau Zaki ada disini?"