Namaku Ray
Bab 3
"Apa yang tidak Mama ketahui tentang dirimu, Zaki?" Perempuan setengah tua itu menerobos masuk ke dalam ruangan. Dia mendapati Andini yang tengah duduk di atas ranjang tengah memakai jilbabnya demi mendengar suara ribut-ribut di luar.
"Dasar perempuan lacur! Beraninya kamu menggoda anakku," pekiknya. Tangannya bergerak bermaksud menampar Andini, tapi sebuah tangan kokoh menangkap tangan itu.
"Astagfirullah ... Nyebut, Mama! Mama jangan bilang begitu ke Andini Dia bukan perempuan lacur. Dia istriku, Mama!" bentak Zaki.
"Istrimu? Sejak kapan kamu menikah? Mama tidak tahu dan tak akan mau tahu. Apakah itu yang dinamakan sebuah pernikahan?" dengus ibunya.
"Zaki sudah menikahi Andini, meskipun hanya menikah siri, tapi Andini adalah istriku. Sah menurut agama, ada atau tidak ada restu dari papa dan Mama!" balas Zaki.
"Oh, ya? Berani sekali kamu melangkahi kedua orang tuamu?" Kamu pikir papa dan Mama suka dengan perempuan ini? Kamu pikir Mama tidak tahu siapa sebenarnya perempuan ini?" ejek ibunya.
"Dia cuma anak seorang pelacur yang kemudian hamil diluar nikah. Sekarang pun dia ikut menjadi pelacur seperti ibunya dulu. Dia hanya bermain-main denganmu. Sudah berapa banyak laki-laki yang menyentuh tubuhnya yang kotor itu!" tuduh ibunya. Dia menunjuk kepada Andini.
Andini membeku. Kata-kata seperti itu sudah sering kali diucapkan ketika perempuan setengah tua itu menyambangi kediamannya. Dia menundukkan wajah, berusaha menyembunyikan titik-titik bening yang lolos begitu saja dari sudut matanya. Zaki maju perlahan dan meraih tubuh Andini ke dalam pelukannya.
"Sampai hati Mama ucapkan kata-kata itu terhadap menantu Mama sendiri. Apa salah Andini, Mama?" teriak Zaki.
"Kamu ingin tahu apa salahnya? Perempuan ini sudah mendekati anak kesayanganku!"ketusnya.
"Bukan Andini yang mendekati Zaki, tapi Zaki yang mendekat kepada Andini. Zaki yang tidak pernah lelah mengejar Andini dan mengajaknya menikah siri. Mama, tolong restui hubungan kami!"
"Sampai kiamat pun Mama tidak akan pernah merestui hubungan kalian. Andini cuma anak pelacur yang ingin menumpang hidup enak dengan menikah dengan Zaki, anak seorang pengusaha yang kaya raya," kata ibunya.
" Cukup, Mama. Tuduhan Mama sama sekali tidak berdasar. Andini tidak pernah seperti itu. Dia tidak pernah meminta apa-apa dari Zaki, tidak pernah sekalipun dia meminta ini dan itu, tidak seperti yang sering Mama lakukan terhadap papa!" sindir Zaki.
Hati perempuan itu mendidih. Giginya gemeretak menahan amarah.
"Papa kamu itu, kan mampu untuk memenuhi semua keinginan Mama. Apa salahnya? Lagi pula Mama itu istri papa."
"Nah, begitu kan? Andini juga istriku, jadi kalau pun dia mendapatkan nafkah dariku, apa salahnya juga?" balas Zaki.
"Sudahlah, Bang, tak perlu diperpanjang lagi," lirihnya. Perempuan itu melepaskan diri dari pelukan suaminya, mengambil tas dan beranjak pergi meninggalkan tempat itu.
"Jangan pergi, Sayang." Zaki mencekal tangan perempuan muda itu, kemudian kembali menarik dalam pelukannya.
"Lepaskan, Bang. Biarkan Adek pulang sendiri!"
"Tidak, Sayang. Abang lah yang akan mengantarmu pulang," tegasnya.
"Biarkan dia pulang sendiri, Zaki," sengit ibunya. "Wanita seperti dia pantas untuk pulang sendiri. Paling juga nanti akan diantar oleh laki-laki lain yang menjadi langganannya!"
"Wanita seperti itu tak pantas menjadi istrimu. Dia cuma akan jadi benalu."
Perempuan setengah baya itu menyeret tangan Zakii keluar dari kamar. Laki-laki muda itu tak bisa berbuat apa-apa. Dia tak mau membuat keributan apalagi di belakang ibunya ada beberapa orang laki-laki berseragam hitam-hitam yang bisa berbuat apa saja seandainya ia memberontak dan menolak untuk diajak pulang oleh ibunya
Satu hal yang paling Zaki takutkan dan kenapa ia selalu mengalah selama ini adalah karena dia tak ingin Andini disakiti oleh orang-orang suruhan ibunya. Dengan kekayaan dan kekuasaan yang dimiliki oleh orang tuanya, mereka bisa berbuat apa saja untuk menghancurkan hidup Andini dan juga ibunya.
*****
Perempuan itu membawa sepasang kakinya melangkah menyusuri jalanan ramai. Dia terus berjalan dalam kekacauan yang tengah di rasakannya saat ini.
"Ah, kenapa kamu harus senekat ini, Bang?" keluhnya.
"Aku sudah memperingatkanmu sejak dari kafe tadi, tapi kenapa kamu nekat mengajakku untuk melanjutkan pertemuan di tempat lain?" Bulir-bulir air matanya kembali menetes di pipinya yang halus. Dia membenarkan letak jilbabnya yang agak miring karena tersapu oleh angin.
Akhirnya dia memutuskan untuk mendudukkan tubuhnya sejenak di kursi panjang sebuah halte. Dia sudah merasa begitu lelah sepasang kakinya terasa pegal dan airmata tak juga berhenti mengalir membasahi pipinya.
Ah, terkadang dia menyesali kehidupannya. Terlahir dengan keluarga yang tak lengkap, hanya memiliki seorang ibu. Orang-orang mengatakan kalau dirinya adalah anak haram. Dia tak memiliki seorang ayah. Ibunya hanyalah seorang perempuan yang hamil diluar nikah. Ibunya pun tak pernah memberitahu siapa sebenarnya ayah biologisnya dan dia pun memilih untuk tak perduli hal itu. Dia sudah menganggap laki-laki yang menghamili ibunya sudah lama mati, sejak laki-laki itu lari dari tanggung jawabnya.
Andini menghembuskan nafas, lantas mengambil ponsel keluaran lama yang selama ini menemani dirinya. Dia mengklik sebuah aplikasi transportasi dan memesan ojek. Setelah transaksi selesai dia pun segera mengembalikan ponsel itu ke dalam tasnya.
Perempuan muda itu kembali menghela napas dia menatap lalu lalang kendaraan warna-warni denyut nadi sebuah kota yang tengah berkembang begitu pesat.
"Aku lelah, Bang. Sebenarnya aku sudah sangat lelah dengan hubungan kita, tapi apa yang bisa kulakukan jikalau engkau tak mau menceraikan aku? Aku cuma seorang perempuan dan talak ada di tangan laki-laki,"keluhnya.
Dia mendekap erat tasnya, seakan ingin mengumpulkan nyawa cintanya yang terserak. Ah, bagaimana mungkin dia sanggup bertahan dengan hubungan ini? Apa yang bisa dia harapkan dari sebuah pernikahan yang penuh dengan konflik keluarga? Bertahun-tahun menikah, tapi hanya bisa bertemu beberapa kali. Pernikahan macam apa ini?
"Sendirian aja, Mbak?" Sebuah suara bariton membuyarkan lamunannya.
Andini mengangkat wajahnya. Seorang laki-laki bertubuh tegap tengah berdiri di hadapannya.
Andini mengerjapkan mata. Laki-laki itu menyerahkan selembar sapu tangan kepadanya.
"Hapus dulu air matanya, Mbak. Aku paling tidak suka melihat perempuan menangis." Laki-laki memandang Andini dengan serius.
"Terima kasih," lirihnya.
Laki-laki itu duduk di sampingnya. Dia masih memandang Andini yang masih sibuk menyapu bekas air mata di wajahnya.
"Kenalkan, namaku Ray. Nama Mbak siapa?"