Pindah rumah
Bab 5
Andini menatap nanar rumah kecilnya yang kini sudah tertutup rapat. Ada perasaan sedih di hatinya, mengingat betapa banyak kenangan indah yang tertinggal di rumah ini, tapi sudahlah. Apa mau dikata. Ibunya bagi Andini adalah segalanya. Apapun keputusan ibunya, Andini akan mengikuti termasuk ketika ibunya menghendaki pindah dari tempat ini.
Ada yang basah di matanya. Dia tak kuasa menahan tetes bening itu membasahi kedua pipinya. Dia memang sedih, tetapi dia akan merasa sangat sedih lagi jika melihat ibunya bersedih. Tatapannya kemudian beralih ke mobil pick-up yang terparkir di halaman rumahnya. Bagian belakang mobil itu sudah penuh dengan barang-barang.
Hari ini mereka benar-benar pindah rumah, meskipun sang ibu belum memberitahukan kemana mereka harus pergi. Tak ada satupun tetangga atau kerabat mereka yang membantu Andini dan ibunya mengangkat barang-barang, kecuali sopir pick-up tersebut. Itupun karena dia memang menjalankan tugasnya. Andini tahu seberapa besar kebencian para tetangga dan kerabatnya kepada mereka berdua, tapi ya sudahlah. Dia tidak bisa memaksa mereka untuk merubah pikiran terhadap dia dan ibunya.
"Ada apa, Andini?" tanya ibunya saat melihat perubahan di raut wajah putrinya. Andini menoleh pada ibunya.
"Tidak ada apa-apa, Mama. Andini hanya sedih. Itu saja," sahutnya.
"Baiklah, mari kita berangkat." Andini membiarkan tangannya ditarik oleh sang ibu masuk ke dalam mobil.
Mobil pun mulai bergerak lambat meninggalkan tempat itu. Andini berusaha membuang segala perasaan berat meninggalkan rumahnya. Rumah itu telah ia tempati dari sejak kecil sampai dewasa, hanya bersama dengan ibunya. Kakek dan neneknya telah meninggal dunia sejak dia masih dalam kandungan.
"Selamat tinggal rumahku," gumam Andini dalam hati. Dia memegang ponselnya kuat-kuat.
"Sebaiknya kamu ganti nomor ponsel, Nak, supaya Zaki tidak bisa lagi menghubungimu," ucap ibunya.
"Kenapa, Ma?" Andini mengerutkan kening.
"Lebih baik kamu tidak usah lagi berurusan dengan Zaki, karena Zaki selamanya tidak akan bisa keluar dari zona nyamannya. Dia tak akan bisa berontak dari keluarganya dan dia selamanya tidak akan bisa memperjuangkan kamu," tandas ibunya. Wanita itu menatapnya datar.
Andini menurut. Dia membuka letak simcard, mengeluarkannya lalu membuangnya ke jalan.
"Ya, Ma, Andini akan menurut kata-kata Mama," ucapnya. Dia memasukkan ponsel ke dalam tas.
Wanita setengah baya itu tersenyum puas. Dia merasa bangga dengan putrinya yang penurut itu.
Setelah berjam-jam perjalanan, akhirnya mobil yang mereka tumpangi sampai ke sebuah pelabuhan penyeberangan. Andini mengerutkan kening. Dia merasa tidak mengenal tempat ini.
"Kita akan kemana, Ma?"
"Ke desa tempat kelahiran nenekmu. Mungkin keadaannya tidak sama dengan kota yang pernah kita tinggali, tapi suasananya nyaman, sejuk dan Mama ingin habiskan masa tua Mama di sana. Kamu tidak apa-apa, kan tinggal di desa?" tanya ibunya.
"Tidak ada ada yang salah dengan tinggal di desa, tapi bagaimana kalau mereka tahu siapa sebenarnya Mama dan Andini? Andini takut orang-orang desa akan membenci kita seperti yang kita rasakan sewaktu tinggal di tempat yang lama," sahut Andini.
"Tidak apa-apa, Nak. Itu memang sudah menjadi jalan hidup kita. Insya Allah di tempat yang baru nanti, kita akan merasa lebih baik."
*****
Perjalanan mereka berakhir berakhir di ujung jalan. Tampak sebuah rumah dengan halaman yang luas. Rumah itu bahkan hampir tak bisa disebut sebagai rumah, karena secara fisik bangunannya sudah hampir roboh.
"Mama yakin, kita akan tinggal di tempat seperti ini?" tanya Andini. Dia menggelengkan kepala ketika sepasang kakinya masuk ke halaman rumah itu.
"Yakin, Nak. Kita akan tinggal di rumah ini. Rumah ini adalah peninggalan dari orangtua nenekmu. Rumah ini memang sudah lama tidak berpenghuni. Tak ada seorangpun dari saudara nenekmu yang mau menempati rumah ini. Bahkan akhirnya dibiarkan begitu saja sampai hampir roboh seperti ini."
"Nanti kalau ada biaya, akan kita renovasi sedikit demi sedikit, sehingga lebih nyaman untuk kita tinggali. Mungkin menunggu rumah kita yang dulu laku terjual," sahut ibunya.
"Bismillah," ucap ibunya. Perempuan setengah tua itu mulai membuka pintu.
Di hadapannya nampak sebuah ruangan yang tidak berapa luas. Ada beberapa perabotan yang mengisi ruangan. Meja dan kursi tamu, lemari pajangan yang umurnya sudah tua kondisinya sangat memprihatinkan, penuh debu dan kayu-kayunya pun sudah nampak lapuk.
"Hati-hati Andini. Jangan sampai kakimu terperosok," tegur ibunya.
"Iya, Ma, tapi bagaimana kita membersihkan rumah ini? Pasti akan memakan waktu sedangkan hari sudah mulai sore." Wanita muda itu menggelengkan kepala.
"Malam ini kita akan menginap di rumah teman Mama dulu. Dia adalah teman masa kecil Mama. Mulai besok baru kita akan memulai membersihkan rumah ini."
Andini menganggukan kepala. Dia menghela napas lega. Mereka kemudian keluar dari rumah itu dan menutup pintu. Setelah membayar sewa pick up dan memasukkan semua barang ke rumah, Andini dan ibunya melangkah menyusuri jalan yang tak beraspal itu.
Benar kata ibunya, udara disini sangat segar. Suasananya pun begitu asri. Banyak pohon besar yang masih tumbuh menambah suasana teduh dan nyaman. Ah, tampaknya ia akan betah tinggal di sini. Semoga saja tak ada orang yang mengungkit soal masa lalu ibu dan dirinya.
Mereka menyusuri jalan dan akhirnya sampai di sebuah rumah yang sederhana, tetapi tentu saja lebih bagus dan besar dibandingkan rumah yang akan ditempatinya nanti.
"Assalamu alaikum," ucap ibunya.
Seorang wanita setengah tua muncul dari balik pintu. Dia mengenakan daster dan jilbab perumahan khas perempuan desa.
"Waalaikum salam," sahutnya. Perempuan setengah tua itu mengerutkan kening. Tampak ia berusaha mengingat sesuatu.
"Ya ampun, Mirna ...! Ini Mirna, kan?" teriaknya.
Ibu menganggukan kepala. "Iya. Ini aku Mirna, teman kecilmu dulu, Hana," sahut ibu tersenyum. Mereka pun berpelukan.
"Astaga, mimpi apa aku kemarin, sehingga hari ini bisa bertemu denganmu? Ayo masuk." Perempuan setengah baya yang bernama Hana itu menarik tangan ibuku. Andini mengikuti dari belakang.
"Kenalkan ini Andini, putriku satu-satunya," ucap ibu.
Andini meraih tangan perempuan setengah baya itu dan menciumnya. "Andini, Bibi," kata Andini.
"Cantik dan sopan pula," puji bibi Hana.
"Terima kasih Bibi," sahut Andini.
"Rencananya aku akan tinggal di desa ini. Aku ingin menghabiskan masa tuaku di sini bersama dengan Andini," ucap ibu.
"Bagus sih, aku setuju, tapi bagaimana dengan Andini? Anak muda jaman sekarang kan biasanya tidak suka tinggal di desa." Bibi Hana tertawa kecil.
"Andini bersedia kok, Bi. Andini akan menemani Mama," sahut Andini.
"Anak baik," komentar Bibi Hana. "Semoga hidupmu berlimpah kebahagiaan dan segera menemukan jodoh."
Andini dan ibunya saling berpandangan lalu tersenyum penuh arti.
"Amin," ucap mereka berbarengan.