Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Di rumah bibi Hana

Bab 6

"Kenapa sih harus tinggal di rumah itu? Tinggal saja sama aku. Di sini cuma ada aku dan Minah, itu pun dia tak menginap. Minah hanya ada di rumah ini saat siang saja. Kalau kalian tinggal di sini, kan jadi rame," bujuk bibi Hana. "Anakku satu-satunya tinggal di kota dan hanya sesekali ia pulang kemari. Kadang pulangnya dua minggu sekali, bahkan lebih dari itu."

"Ah, tidak enak, Han. Masa aku numpang tinggal sama kamu? Lebih baik kami merawat kembali rumah peninggalan nenek. Sudah lama rumah itu tidak ditempati, sampai mau rubuh sepertinya," tolak ibu. Dia melirik pada Andini yang tertunduk di sampingnya.

"Iya ya, bener juga katamu. Kasihan juga rumah itu. Sejak nenek meninggal, kalian semua pindah ke kota. Tak ada yang mengurus rumah itu." Pandangan matanya menerawang.

"Iya, maklumlah, mungkin karena rezeki kami semua ada di kota, jadi ya akhirnya begitulah." Ibu tertawa kecil.

"Aku senang sekali, karena akhirnya kalian kembali ke sini dan mau merawat rumah itu. Sebenarnya masih ada sawah dan kebun peninggalan nenek yang juga terbengkalai," tutur bibi Hana.

"Kalau sawah, Alhamdulillah, masih ada orang yang mau menggarap. Berhubung tidak ada yang bisa menerima bagi hasil sawah itu, ya akhirnya akulah yang menerimanya. Maaf ya, tunggu sebentar." Bibi Hana bangkit dari tempat duduknya. Dia melangkah masuk ke dalam salah satu kamar.

"Nah, ini bagi hasil dari sawah peninggalan nenek. Setiap tahun, orang yang menggarap itu memberikan gabah bagi hasil kepadaku. Berhubung aku tidak mungkin menyimpan dalam bentuk gabah, maka gabah itu aku jual dan uangnya aku simpan sampai sekarang. Terimalah, ini hak kalian," ucap bibi Hana menyodorkan sebuah amplop berwarna coklat kepada ibu

"Masya Allah, Hana. Kamu kok segitunya sih? Kamu baik sekali sama aku," seru ibu. Dia mengamati amplop coklat yang ada di tangannya. Amplop itu tidak terlalu besar, tapi isinya cukup berat.

"Mungkin ini bisa kamu pakai untuk merenovasi rumah itu dan untuk biaya hidup kalian selama beberapa bulan, sampai menunggu masa panen padi tiba. Di sini kalian bisa mengelola kembali kebun kelapa peninggalan nenek. Ya, lumayanlah hasilnya buat keperluan sehari-hari," ucap Bibi Hana.

"Ya Allah .... Hana, terima kasih banyak ya." Mata ibu terlihat berkaca-kaca.

"Alhamdulillah, ini rezeki buat kita, Nak." Ibu menoleh kepada Andini. Andini menganggukkan kepala.

"Iya, Ma. Ini rezeki buat kita dari jalan yang tak disangka. Semoga berkah ya, Ma."

"Jadi begini saja, mulai besok kalian bisa membersihkan rumah itu, terus kalian tentukan bagian mana dulu yang perlu diperbaiki. Maklumlah, rumah tua." Bibi Hana tertawa kecil

"Iya, Han. Renovasi rumah itu memerlukan biaya yang tidak sedikit. Kami harus menentukan mana yang perlu diperbaiki, mana yang bisa ditunda." Ibu tersenyum

"Selama masa renovasi, kalian tinggal saja di sini, sampai rumah itu bisa kalian tinggali dengan layak. Jangan merasa sungkan, malah aku senang kalian datang."

"Andini, ibumu adalah sahabat baik Bibi Hana, bahkan seperti saudara sendiri. Orang-orang di desa ini menganggap kami sebagai anak kembar, padahal bukan." Bibi Hana menertawakan masa kecilnya. Ibu hanya tersenyum mendengar cerita sahabatnya itu.

"Terima kasih atas kebaikan hati Bibi," ucap Andini terharu. Dia lantas mengangkat wajahnya, memandang wanita setengah tua yang masih tampak terlihat cantik itu.

*****

Malam sudah semakin larut. Andini yang belum terbiasa di tempat yang baru tak bisa memejamkan mata. Matanya memang mengantuk. Namun, itu tak cukup membuat dia bisa memejamkan mata. Perlahan dan dengan hati-hati Andini bangkit dari tempat tidurnya. Dia berjalan melangkah keluar kamar dan akhirnya mendudukkan bokongnya di kursi sofa sederhana yang ada di ruang tamu rumah bibi Hana.

Baru beberapa jam di sini, tapi ia merasa sangat nyaman. Udara yang sejuk tentunya tak mungkin bisa ia temukan saat di kota. Tak ada suara bising kendaraan yang lalu lalang di jalanan depan rumah. Tak ada asap kendaraan yang terkadang membuat kita sesak nafas.

Andini menghela napasnya. Tak ada penyesalan di hati, karena sudah mau mengikuti keinginan sang ibunda untuk pindah ke desa ini. Dia hanya berharap ibunya bisa kerasan tinggal di sini, menghabiskan hari tuanya dengan tenang.

Prioritasnya sekarang hanya ibunya, hanya kebahagiaan sang Ibu. Sedangkan dirinya sendiri? Ah, sudahlah. Tak ada yang mesti disesali pernikahannya dengan Zaki. Hanya sekedar status dan ia rasa itu bukan sebuah pernikahan. hanya berbentuk ikatan yang membuat dia kehilangan kebebasannya untuk menerima kehadiran laki-laki lain.

"Aku takkan pernah menceraikanmu, Dek. Abang sangat cinta dengan Adek." kata-kata Zaki masih saja terngiang-ngiang di telinganya

"Ceraikan Adek, Bang. Untuk apa mempertahankan Adek, sementara rumah tangga kita tidak jalan? Kita bahkan hampir tidak bisa bertemu. Apa yang Abang harapkan dan apa yang Abang pertahankan?"

"Abang tidak mau kalau kamu harus diambil oleh laki-laki lain. Abang ingin mengikat kamu selamanya. Abang ingin kamu tetap menjadi istri Abang."

"Abang egois! Kalau memang Abang ingin menjadikan Adek sebagai istri yang seharusnya, kenapa Abang tidak pernah perjuangkan itu?" Suara Andini meninggi.

"Tidak semudah itu, Sayang. Kalau Abang berontak, orang-orang suruhan mama dan papa akan menghabisi kamu dan ibumu. Ingat itu!" Suara Zaki tak kalah keras.

"Kita akan hadapi sama-sama, Bang. Mati pun Adek rela asal bersama abang."

"Tidak, Sayang. Lebih baik Abang yang mati, tapi engkau tetap hidup."

.

"Kalau begitu, ikhlaskan Adek. Biarkan Adek hidup tenang. Kalau kita sudah bercerai, maka orang-orang yang selama ini meneror Adek tidak akan ada lagi. Lupakan saja cinta kita, Bang. Biarkan kita menempuh jalan hidup masing-masing," ujar Andini.

"Sekali-kali tidak, Sayang. Abang tidak akan menceraikanmu sampai kapanpun."

"Abang egois ...!" Andini menjerit berkali-kali. Dia memukuli dada Zaki di sertai dengan Isak tangisnya. Laki-laki itu tak bergeming. Dia membiarkan istrinya menumpahkan semua kemarahannya.

"Kalau Abang benar-benar mencintai Adek, maka Abang akan membuktikannya dengan memperjuangkan Adek. Kalaupun memang tidak sanggup, maka lepaskanlah Adek. Adek tidak mau seumur hidup Adek terkatung-katung seperti ini."

Pertengkaran demi pertengkaran seringkali terjadi antara ia dengan Zaki. Di setiap pertemuan, Andini selalu minta cerai, tapi Zaki selalu menolaknya dengan segala macam alasan yang bahkan bagi Andini serasa tidak masuk akal.

Andini menghela nafas panjang. Terasa sesak di dalam dadanya. Permasalahannya dengan Zaki selama beberapa tahun terakhir ini yang tidak jelas juntrungannya. Rumah tangga yang dia sendiri tidak tahu mau dibawa kemana. Padahal sebagai seorang wanita, Andini memerlukan kepastian agar dia bisa menentukan arah hidupnya sendiri.

"Talak itu di tangan laki-laki, tetapi jikalau keadaan rumah tangga sudah seperti ini, apa yang mesti aku lakukan?"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel