Membersihkan rumah
Bab 7
Pagi yang cerah. Suasana terasa begitu membahagiakan bagi Andini. Andini sudah siap dengan alat tempurnya, yaitu sebuah sapu lantai, kain pel dan ember kecil.
Andini membuka pintu rumah dengan antusias. Tampak di hadapannya sebuah ruangan yang begitu kotor lantaran lama tak dibersihkan. Andini menggelengkan kepala.
"Semoga setelah di bersihkan, rumah ini kembali layak di tempati," gumam Andini. Dia mulai menyapu seluruh ruangan. Tangannya begitu terampil mengelap meja kursi dan perabotan yang lain. Sementara ibunya sibuk membersihkan sarang laba-laba yang menggantung di langit-langit rumah.
Rumah ini terdiri dari 3 kamar tidur, ruang tamu, dapur dengan kamar mandi di belakang. Sebenarnya untuk ukuran di kampung, rumah ini lumayan besar, tetapi karena tidak terawat, akhirnya malah terkesan kumuh dan jelek, bahkan beberapa kayunya telah lapuk dimakan usia.
"Sebenarnya rumah ini bagus. Sayang sekali kalau di biarkan begitu saja," gumam Andini. Dia mulai membuka pintu kamar paling depan.
Tampak di hadapannya sebuah ranjang besi model kuno yang bahkan Andini baru lihat sekarang, sebuah lemari dan meja kecil yang difungsikan sebagai tempat rias. Andini mencoba masuk ke dalam, kemudian berusaha menyapu lantai. Sesekali ia terbatuk-batuk karena banyaknya debu yang beterbangan.
"Mama, ada ranjang antik di kamar paling depan," lapor Andini ketika ia berpapasan dengan sang ibu di ruang tamu.
"Itu kepunyaan nenek buyutmu. Makanya modelnya sudah ketinggalan zaman." Ibu tertawa kecil.
"Itulah akibatnya. Setelah nenek buyutmu meninggal dunia, nenekmu berserta saudara-saudaranya malah merantau ke kota. Akhirnya rumah ini jadi tidak berpenghuni."
"Sebenarnya dulu ada salah seorang tetangga yang tidak memiliki rumah bersedia tinggal di rumah ini, tetapi tak lama setelah itu mereka pindah, karena mereka sudah memiliki rumah sendiri. Sudah bertahun-tahun rumah ini tidak ada yang menghuninya," ujar ibunya.
"Ya, beginilah keadaannya, Nak. Baru sekarang Mama tergerak untuk kembali ke rumah ini. Hitung-hitung untuk merawat kenangan dari almarhum kakek dan nenek buyutmu." Perempuan tua itu mengerjapkan sepasang netranya. Ada setitik bening yang jatuh dari sudutnya.
"Kenapa Mama tergerak untuk kembali ke rumah ini?" tanya Andini.
"Mama ingin menghabiskan masa tua Mama di desa ini. Mama ingin hidup tenang, jauh dari hingar bingar kota yang terkadang memekakkan telinga." Dia mendudukkan tubuh kurusnya di kursi tamu yang telah bersih setelah sudah dilap oleh Andini
"Ada alasan lain, Ma?" Entah kenapa Andini merasa curiga dengan perubahan sikap ibunya yang mendadak ingin pindah dari rumah mereka yang dulu.
Perempuan tua itu menggelengkan kepala. "Ke sini, Nak. Mari duduk bersama Mama. Kita istirahat dulu," ajaknya.
Matanya menatap ruangan yang kini sudah bersih, meskipun tidak benar-benar bersih. Setidaknya sudah cukup lumayan dan bisa mereka pergunakan untuk meletakkan barang-barang yang mereka bawa dari rumah yang lama.
Andini merasakan ada kecemasan yang membayang dari sorot mata sang ibunda.
"Apakah ini ada kaitannya dengan Bang Zaki, Ma?" tanya Andini menyelidik.
"Sewaktu kalian bertemu, ibu Zaki datang ke rumah dan menyuruh untuk segera meninggalkan rumah kita yang lama." Pengakuan itu akhirnya lolos juga dari mulut tua itu.
"Itu adalah rumah kita, Ma. Apa hak ibu bang Zaki mengusir kita dari rumah kita sendiri?"
"Dia memang tidak berhak, Sayang, tapi Mama tidak mau ribut. Apalagi itu menyangkut kamu. Biarkan saja dia merasa menang saat ini, karena telah berhasil mengusir kita dari rumah kita sendiri, tetapi Mama percaya, Allah itu tidak tidur, Sayang."
"Maafkan Andini, Ma." Perempuan itu berlutut di hadapan ibunya
"Bukan salahmu, Nak. Kalian cuma korban dari perseteruan masa lalu kami."
"Apa maksud Mama? Seperti apa hubungan Mama dengan Mama Wilda di masa lalu?" Andini mengangkat wajahnya.
"Kapan-kapan Mama akan menceritakan siapa sebenarnya Wilda." Perempuan itu menjeda ucapannya. "Kita tidak perlu membahas masalah Zaki terlalu dalam disini. Hal yang lebih penting, kita bisa menikmati hidup kita. Kita tinggal di sini agar hidup kita lebih tenang. Nenek buyutmu masih meninggalkan rumah, sawah dan kebun untuk kita. Kita bisa mengelolanya untuk melanjutkan hidup di sini dan itu sudah lebih dari cukup."
Perlahan, tangan keriput itu mengusap kepala Andini, berusaha menetralkan emosi di dalam diri putrinya.
"Ini tidak adil untuk kita, Mama," keluh Andini. "Lagi pula bagaimana nasib Andini dengan bang Zaki? Kalau memang mau cerai, ya cerai saja. Kalau memang masih ingin menjadi suami istri, maka berumahtangga lah secara normal. Jangan digantung seperti ini. Andini lelah, Ma."
"Bukan soal adil atau tidak adil, Nak. Untuk saat ini, lebih baik kita mengalah dulu. Kita jalani apa yang seharusnya kita jalani sekarang. Yakinlah, pasti kamu akan menemukan kebahagiaan."
*****
"Makan siang kali ini terasa begitu nikmat bagi Andini. Entah karena tubuhnya yang lelah sehabis bekerja keras membersihkan rumah atau karena masakan bibi Hana yang memang lezat atau bisa jadi karena bahan-bahan yang digunakan di dalam masakan berasal dari kebun sendiri yang tentunya pasti sangat segar
"Bibi banyak sekali memasak siang ini," tegur Andini. Dia asyik mengunyah urap yang terasa sangat enak di lidahnya. Serundeng ini begitu pas rasanya. Asin, gurih dan juga agak pedas.
"Iya, Nak, Alhamdulillah. Bibi sangat senang memasak, asalkan ada yang mau memakannya. Kalau tidak ada yang memakannya, ya percuma." Tawa bibi Hana.
"Bibi sangat senang sekali kalian mau tinggal di sini. Setidaknya untuk sementara waktu, sebelum rumah kalian cukup layak untuk ditinggali."
"Kami jadi merepotkan Bibi Hana." Andini merasa tidak enak.
"Jangan sungkan, Anakku. Bibi dan ibumu sudah seperti saudara sendiri. Kamu tidak perlu sungkan berada di rumah ini. Jangankan untuk sementara, selamanya pun Bibi tidak merasa bermasalah."
"Oh ya, kemungkinan sore atau malam ini anak Bibi yang tinggal di kota akan pulang ke sini. Nanti akan Bibi kenalkan. Siapa tahu kalian cocok."
Uhuk.
Andini terbatuk. Ibunya segera menyerahkan secangkir air putih untuknya.
"Hati-hati makannya, Nak. Kamu ini makan seperti orang yang nggak di kasih makan selama seminggu," keluh ibunya.
"Biarkan saja, Mirna. Kalau Andini suka, ya aku juga senang. Berarti masakanku enak." Tawa Bibi Hana kembali terdengar.
"Habiskan makanannya, Nak. Jangan sambil ngobrol terus, nanti keselek lagi. Setelah selesai makan, baru boleh mengobrol lagi," kata ibunya.
Wanita itu paham akan situasi. Dia tidak mau anaknya dikejar oleh pertanyaan persoalan jodoh
Lagi pula dia merasa sahabatnya tidak perlu terburu-buru mengetahui status Andini yang sebenarnya. Akhirnya mereka menyelesaikan makan siang dengan diam. Andini berinisiatif untuk membawa semua peralatan makan yang kotor ke tempat cuci piring.
"Tidak usah dicuci, Nak, biar nanti bibi Minah yang mencucinya. Kamu kan lelah. Gih, sana masuk kamar. Shalat kemudian istirahat," suruh Bibi Hana.