Miss you Baby
Debora mulai membuka matanya. Dia melihat siluet seorang pria yang sedang berdiri membelakanginya.
Debora mengucek matanya dan melihat ke seluruh ruangan. Sepertinya ini adalah hotel berkelas di lihat dari semua furniturnya yang mahal.
Perlahan Debora bangun dan bersandar di ranjang. Dan bersamaan siluet itu ajuga berbalik menghadapnya.
Pria itu melangkah mendekat dan duduk di depan Debora dengan wajah masam. Rahang tegasnya mengeras seolah menahan amarah yang membara.
Debora meneguk ludah. Dia tau apa yang akan terjadi. Bila memang rencananya harus berantakan saat ini juga, dia akan pasrah. Toh pasti akan ada jalan lain.
Dirinya tidak mau mati gila di tangan keempat pria gila tadi malam. Termasuk yang duduk di hadapannya saat ini, Alexander.
"Ternyata kau tidak bisa di andalkan," ucap Alexander menjambak rambut Debora.
Rasa sakit yang dia rasakan tidak sebanding dengan kejadian beberapa tahun silam. Tepatnya lima tahun sebelumnya.
Jambakan, tamparan, dan siksaan sudah menjadi makanannya setiap hari. Jadi hanya perlakuan seperti ini tidak akan membuat Debora takut.
"Kau hanya bilang melayanimu saja, bukan ketiga orang gila itu!" jawab Debora menatap Alexander.
Baru kali ini dia menemui wanita yang berani menatapnya saat marah. Biasanya wanita akan mengkerut takut saat melihat dirinya membawa pistol. Tapi apa yang terjadi saat ini? Wanita ini sangat berbeda.
Alexander mulai tertarik. Ternyata apa yang di katakan Demian benar. Wanita ini bukanlah wanita sembarangan.
Alexander melepaskan cengkeramannya. Dia tersenyum penuh arti menatap Debora. Perlahan dia membelai pipi meronanya.
"Jadi itu artinya kau tidak bisa melayani mereka, namun bisa melayaniku?" tanya Alexander membawa wajah Debora mendekat dengan jemarinya.
Debora baru sadar dia mengusik macam yang yang sedang tidur. Di udara pagi sedingin ini pastinya ada sesuatu yang sedang mencari kehangatan.
Bodohnya Debora. Harusnya dia bisa mencari alasan lain. Dan lihatlah apa yang dia perbuat? Pria gila di hadapannya sudah memperlihatkan wajah laparnya.
"Maksudku tidak seperti itu, aku hanya tidak enak badan. Jadi ..." Debora tidak bisa melanjutkan kalimatnya karena jari telunjuk Alexander sudah mendarat tepat di bibirnya.
Jadi itu menyusuri gumpalan daging dengan kulit tipis berwarna merah jambu itu, sangat menggoda. Perlahan jemari itu merasakan kelembutan kulit yang lainnya dan berakhir di tulang selangka.
Debora merasakan degupan jantungnya yang kian cepat. Semua bayangan kelam mulai terputar di otaknya seolah dia sedang menonton bioskop.
Cambukan dan beberapa pria yang telah mengotori tubuhnya dengan tangan penuh dosanya itu. Debora tidak dapat melupakan saat itu.
Saat hidupnya di ambang kematian dan yang mirisnya ada nyawa yang hampir hilang akibat peristiwa menyesakkan dada itu.
"Bukankah kau sudah pernah melakukan ini sebelumnya?" tanya Alexander yang mulai berpindah posisi mengungkung Debora.
Debora mengangguk pelan. Kenyataan memang benar. Akan tetapi tidak sesederhana itu. Ada banyak luka yang dia pendam
Jemari Alexander sudah menggeser tali yang menggantung di tulang selangka hingga selembar kain yang menutup bagian tubuh Debora melorot.
Mungkin Debora saat ini salah besar. Awalnya dia kira pria ini adalah LGBT dan tidak pernah tertarik pada wanita. Jadi tanpa pikir panjang dia menyetujui semuanya.
Yang ada di pikiran Debora hanya ... dia akan menjadi penonton film perang-perang dengan pedang yang saling serang. Namun apa yang dia alami saat ini? Pedang itu malam berbalik mencari sarungnya.
"Ayolah! Apakah aku harus menuntunmu untuk melakukan semua ini?" Alexander sudah melepas kemeja yang membalut roti sobeknya.
"A-Aku ..." Debora segera menutup mulutnya saat jemari Alexander sudah bermain di buah Peachnya.
Meskipun gerakannya sangat pelan. Akan tetapi semua sarafnya merasakan efek permainan itu. Gelombang listrik mulai menyengat tubuhnya.
"Ayolah Sayang! Bukankah kau bilang bisa bermain dengan baik? Akan aku tunjukkan bagaimana permainan seorang LGBT," kekeh Alexander yang mulai melihat perubahan raut wajah Debora.
Alexander menarik paksa gaun yang menutupi tubuh Debora hingga sobek. Semua permainan kasar ini terhenti saat terdengar dering ponsel.
Alexander segera turun dari ranjang dan melepaskan mangsanya. Dia meraih ponsel yang berada di nakas.
Tampak nomor yang dia kenal terpampang di layar ponsel.
"Semua sudah beres Tuan. Barang kita sudah kembali." ucap Pria di ujung sambungan melaporkan.
"Baiklah aku akan segera ke sana," jawab Alexander dengan seutas senyum yang menghiasi wajahnya.
Alexander menutup sambungan sepihak, dia melempar pandangan ke arah wanita yang saat ini menatapnya ketakutan.
Dia kira wanita itu cukup profesional, ternyata semua di luar dugaan. Bukankah dia sudah menikah dan pastinya tidak asing dengan hal ini?
Alexander melangkah mendekatinya, kemudian membelai rambut panjang bergelombang yang menjuntai menutupi pundaknya.
"Aku rasa kau selamat, istirahatlah!" ucap Alexander yang tersenyum penuh arti.
Dia segera meraih kemeja dan memakainya sambil melangkah keluar kamar. Kemudian menghilang di balik pintu.
Debora mencoba menenangkan hatinya yang kacau. Untuk saja Dewi Fortuna masih berpihak padanya. Dia lolos dari maut dan semoga saja dia tidak berada di posisi ini lagi.
Mata Debora menatap jam yang menempel di dinding. Jam masih menunjukkan pukul 3 dini hari. Udara masih sangat dingin. Haruskah dia pergi sekarang?
Sepertinya itu bukan ide yang baik. Apa yang akan dia jawab saat kembali kerumah tanpa Alexander di sampingnya. Karena kenyataannya adalah ... dia istrinya.
Pada akhirnya Debora memilih untuk tetap tinggal di kamar sambil menunggu matahari terbit. Siapa tau pria gila itu akan datang kembali.
Tangan lamanya meraih tas dan mengambil ponsel. Jemari lentiknya menggeser layar. Tampak gambar anak kecil perempuan tersenyum manis kepadanya.
Dia adalah alasan terbesarnya untuk tetap hidup dan semangat. Dia juga membuatnya berani menjalankan rencana balas dendam ini.
Semua memori lama berputar kembali di otaknya. hingga membuat matanya mengembun dan meneteskan buliran bening.
Dia sudah bertahan sejauh ini. Hanya hal ranjang tidak akan menyurutkan api dendam yang bergelora ini. Debora harus kuat demi anak kecil yang sedang tersenyum cantik kepadanya.
"Momy janji akan memberikan kehidupan yang layak untukmu nak, tunggu Momy, Sayang." ucap Debora lirih sambil mengecup layar ponsel.
Debora tak mampu menahan rasa rindunya. Dia mencari salah satu kontak di ponselnya dan menggeser tombol hijau.
"Halo Nona, maaf Angel masih tidur." ucap suara wanita paruh baya di ujung sambungan.
"Iya, Bi, saya tau. Bagaimana hari-harinya kemarin?" tanya Debora lirih sambil menahan isaknya.
"Angel mulai bisa memegang pensil dan mengeluarkan suaranya Nona. Dia tampak riang kemarin. Nona Dania juga bilang kalau Nona Angel mengalami peningkatan yang menakjubkan," ucap Wanita itu dengan semangat.
"Aku tak sabar ingin segera pulang," jawab Debora. Jemarinya mulai menghapus genangan air yang membasahi pipinya dan menetes di layar ponsel.
"Apakah Nona sakit?" Wanita itu telah sadar Nonanya tidak baik-baik saja.
"Tidak, aku hanya flu. Terima kasih Bibi Lauren, kau sangat baik. Maaf selalu merepotkanmu," ucap Debora tulus.
"Minumlah rebusan jahe, kau juga harus menjaga kesehatanmu. Jangan memikirkan hal yang tidak perlu Nona. Angel aman bersamaku. Ya sudah istirahatlah!" Bibi Lauren memutuskan sambungan.