Bab 5 I’m Coming
Bab 5 I’m Coming
Setelah melalukan proses membujuk dan meyakinkan Cokro, akhirnya Hanan berhasil mebuat Cokro berserta cucu dan anaknya tinggal di rumahnya. Ia bahkan telah berpesan pada security rumahnya untuk menjaga dan membantu Cokro mengerjakan pekerjaan rumah karena ia tahu tenaga pria itu sudah tak seperti Mang ujang yang usianya jauh lebih muda. Mang Ujang menyambut baik kedatangan Cokro karena menurutnya akan menakutkan untuk tinggal di rumah itu seorang diri, terlebih lagi Hanan sudah berpesan jika dirinya akan pulang kampung untuk menenangkan dirinya selama beberapa hari.
“Mang, Kek saya pamit jalan ya.”
“Kamu ndak istirahat dulu, Nak?” tanya Cokro karena ia melihat raut wajah lelah.
“Ndak usah Kek.”
“Mbok istirahat dulu, besuk pagi baru jalan. Ini sudah masuk waktu candik kala, ndak bagus berpergian jauh di waktu seperti ini. Sudah besuk pagi saja,” ujar Cokro karena ia merasa tak enak hati. Setelah melihat raut gusar dari wajah keriput Cokro pun tak bisa berkata banyak. Akhirnya ia mematuhi ucapan Cokro dengan menunda keberangkatannya walaupun ia tahu itu artinya ia akan semakin lama bertemu dengan sang Kakek. Namun, apa yang diucapkan Cokro ada benarnya.
Setelah ia mengantarkan Cokro ke kamarnya ia bergegas menuju kamarnya menjatuhkan dirinya pada kasur yang empuk. Ia menatap langit-langit kamarnya dulu kamar ini selalu dipenuhi canda tawa dan juga kisah cinta mereka. Setiap pulang kerja Hanan dan Ajeng akan saling bertukar cerita seperti bagaimana keadaan kantor Hanan dan apa kesibukan Ajeng hari ini. Pasalnya wanita itu sangat menyukai kegiatan berkebun dan merajut. Banyak hiasan bunga yang dihasilkan dari tangan dingin Ajeng selain itu di dalam almari sana terdapat beberapa jaket rajut hasil buah tangan Ajeng. “Ck, kenapa inget dia lagi sih.” Hanan membalik tubuhnya dan menyembunyikan wajahnya pada tumpukan bantal.
Karena rasa lelah mendera tubuhnya, Hanan pun tanpa sadar tertidur dan melewatkan sholat maghrib juga isya’ nya. Ia merasa ada yang kurang ketika tak melakukan lima sholat wajib. Dan pagi ini ia terbangun karena mendengar suara adzan yang berkumandang membangunkan warga kompleks tersebut. Ia bergegas bangun dari tidurnya dan berjalan menuju kamar mandi. Ia membersihkan diri kemudian mengambil air wudhu setelah usai ia meraih baju koko yang terlipat rapi di dalam almarai. Ia merapikan sarungnya setelah semuanya selesai barulah ia keluar kamar. Saat akan melangkah membuka pintu rumah ia berpapasan dengan Cokro yang hendak pergi ke masjid sama seperti dirinya.
Fajar itu menjadi waktu kedua untuk Hanan mendapatkan hikmah akan hidupnya. Ternyata pria di sampingnya ini juga mengalami kegagalan dalam berumah tangga sialnya lagi, wanita yang menjadi istirnya mengambil semua harta yang ia miliki dan alasan akan sikap anak pertamanya yang mengabaikan dirinya adalah karena mereka mengira sang Ayahlah yang selingkuh padahal kenyataan yang ada wanita yang menyandang status sebagai ibunya-lah yang telah menduakan dan menodai ikatan suci pernikahan. Namun, pria di sampingnya tak sedikitpun menyimpan dendam pada sang Mantan istri karena katanya, “Sejahat apapun dia, dia adalah wanita yang pernah menempati hatiku, Nak. Dan aku tak akan bisa membenci dirinya, terlebih lagi ia pergi dengan meninggalkanku tiga orang buah hati.”
Aku sempat menyanggah ucapannya namunia berkata jika tak apa dia melukaiku yang terpenting aku sudah berusaha mempertahankan rumah tangga ini. Mungkin aku tidak berjodoh di dunia siapa tahu di surga sana aku dipertemukan dengan jodohku. Begitulah ucapnya, dan kini aku sedikit demi sedikit mulai bisa menerima keadaan dan juga mencoba berdamai dengan keadaan. Kini aku tak lagi menyimpan dendam pada Ajeng ataupun Banin. Lebih baik aku pasrahkan semuanya kepada Allah biarkan Ia mengatur jalannya hidupku. Sebagai hamba-Nya aku hanya bisa menjalani semuanya dengan baik. Dan untuk hasil”? pasrahkan saja pada sang Pencipta.
Usai melaksanakan sholat shubuh berjamaah, Hanan dan Cokro bergegas kembali ke rumah. Hanan menganti pakaiannya dan mencoba memaksa sesuatu namun saat ia akan kembali ke dapur ia menatap Cokro sedang sibuk di dapur bersama dengan seorang wanita yang ia yakin itu adalah anak perempuan yang mengalami depresi. Ternyata benar, kasih sayang yang tulus dari Cokro mampu membuat putrinya menjadi lebih tenang. Tuhan memang tidak pernah tidur.
“Loh, Nak Hanan sudah di sini. Hari ini putri Kakek sudah bisa sedikit normal, Nak. Jadi ia membantu Kakek di sini semoga kamu berkenan mencobanya ya,” ujar Cokro seraya meletakkan sepiring nasi goreng dengan telur setengah matang setelah itu ia hanya berdiri menatap Hanan yang hendak menyuapkan sesendok nasi itu ke dalam mulutnya.
“Loh, Kakek ndak makan?” tanya Hanan bingung.
Cokro menggeleng ia tersenyum seraya berkata, “Kakek nanti saja, kamu saja dulu.”
“Kek, temani Hanan makan. Hanan sudah beberapa hari ini makan sendiri terus. Duduk Kek, Mba,” ajak Hanan membuat senyuman bahagia terbit di wajah Cokro dan juga putrinya.
Hanan menikmati masakan Cokro dengan begitu nikmat, bahkan ia menambah nasinya dan menghabiskannya tak tersisa. Baru ini ia menikmati sebuah nasi goreng yang begitu lezat.
Setelah menyudahi acara sarapannya, Hanan segera bersiap untuk pulang ke kampung halaman. Ia sudah tak sabar ingin bertemu dengan Kakek dan juga keponakannya yang dulu selalu ia jahili. Ia menuruni anak tangga dengan sebuah tas ransel yang menggantung di bahunya. Ia berjalan menuju ke halaman rumah dan saat ia akan menuju garasi mobilnya tanpa sengaja manik matanya menangkap sebuah interaksi yang tanpa sadar menarik sudut bibirnya hingga membentuk sebuah lengkungan yang begitu lebar.
“Loh, sudah mau jalan, Nak?” tanya Cokro ketika ia tanpa sengaja menangkap basah Hanan tengah memperhatikan dirinya.
“Eh, iya Kek. Kalau nanti-nanti takutnya kena macet kan ini weekend. Saya titip rumah ya Kek,” balas Hanan seraya berjalan mendekati Cokro yang tengah berkebun bersama dengan Mang Ujang dan juga putrinya. “Saya juga titip rumah ya, Mang. Saya mungkin akan lama di sana,” pesan Hanan pada Mang ujang.
“Ahh siap atuh, Den. Tenang aja semua aman kalau ada Mang Ujang yang kasep dan juga Pak Cokro. Begitu bukan, Pak?”
“Bukan begitu, Mang. Masih aja ngelawak. Ya udah bukain gerbang atuh,” ujar Hanan seraya menunjuk pintu gerbang dengan dagunya.
“Siap atuh, Den.” Mang Ujang berlari menuju gerbang dan mulai membukanya.
“Kek, saya jalan dulu ya,” pamit Hanan seraya mengecup punggung tangan Cokro yang masih kotor tanah itu. Awalnya Cokro terkejut dengan tingkah Hanan namun, ia menerimanya karena ia berpikir Hanan tengah merindukan kakeknya.
“Semarang, i’m coming‼!” pekik Hanan dari dalam mobil.