Ringkasan
Kesucian cinta yang tergores oleh godaan dan nafsu belaka membuat biduk rumah tangga hancur. Itulah yang dirasakan oleh Hanan. Sosok pria yang mengalami kehancuran di biduk rumah tangganya. Kehancuran kiran percintaannya membuat pria itu memutuskan untuk kembali ke kampung halaman. Niat hati ingin menenangkan diri, ternyata ia justru mendapatkan banyak coobaan di hidupnya. Pertemuannya dengan sosok wanita bernama Hanifah yang merupakan teman masa kecilnya mampu membangkitkan kembali gairah cinta yang nyaris redup. Perubahan penampilan pada Hanifah membuat dirinya semakin menaruh hati dan harapan pada wanita yang memberikannya sebuah tasbih sebagai bentuk perpisahan di masa lampau. Namun sayang kisah cintanya lagi-lagi harus mengalami cobaan. Kini ia harus bersaing dengan seorang ustad untuk mendapatkan cinta suci Hanifah. Statusnya sebagai Duda membuat dirinya harus menelan pil pahit. Apakah Hanan berhasil mendapatkan kembali kisah cinta yang selalu ia impikan? Apakah Hanifah akan menerima status duda yang ia sandang? Saksikan terus kisah cinta Hanan di dalam novel berjudul Tasbih Cinta.
Bab 1 Awal Sebuah Kehancuran
Bab 1 Awal Sebuah Kehancuran
“Jadi siapa pria yang membuatmu lupa akan statusmu?” tanya seorang pria yang baru saja masuk ke dalam rumah bergaya vintage dengan dibalut dinding berwarna abu-abu.
“Apa sih, mas? Pulang-pulang langsung marah, gak jelas banget.” Wanita yang tengah ditatap dengan sorot mata tajam itu berjalan melewati pria tersebut dengan begitu santainya. Wanita itu bahkan mengabaikan rasa lelah yang melanda pria itu.
“Sudahlah, tidak usah berbelit-belit begitu. Apa maumu? Kau mau harta aku sudah memberikannya, kau inginkan apalagi?” tanya pria itu seraya mencekal lengan wanita berambut sebahu tersebut.
“Lepas, Mas. Mas tanya aku maunya apa? Aku mau cerai!” Bak tersambar petir di siang bolong, hati pria tersebut seketika hancur kala mendengar permintaan dari wanita yang ia pinang beberapa tahun silam. “Kenapa diam mas? Gak sanggup?” tantang wanita di depannya.
“Katakan padaku apa alasannya?”
“Sudah jelas, Mas. Aku lelah hidup dengan pria workaholic seperti dirimu ini. Kau tahu, kau sudah banyak berubah,’ ujar wanita tersebut dengan menatap mata pria di depannya.
“Itu semua untuk –“
“Itu semua bukan untukku‼” pekik wanita itu membuat pria di depannya menghentikan kalimatnya. “Itu semua bukan untukku, mas. Bukan! Itu semua untuk dirimu membuktikan kepada teman-temanmu kalau kau itu berhasil, itu semua untuk membuktikan bahwa kau ini hebat dalam berbisnis. Bukan untukku,” imbuh wanita itu denga suara yang memelan. Pelupuk matanya sudah dibasahi oleh air mata yang siap tumpah kapanpun ia mau.
“Tapi, Jeng aku cinta sama kamu,” ujar pria di depannya masih berusaha untuk mempertahankan biduk rumah tangga yang sudah ia bangun selama tiga tahun.
“Cinta, Mas? Cinta itu saling menghargai, selalu ada, selalu peduli, cinta itu dirasakan mas bukan diucapkan! Dan aku tidak merasakan cinta itu ada! Semuanya omong kosong!” Wanita bernama Ajeng tak bisa lagi mengendalikan emosinya, kini bulir bening jatuh membasahi pipinya, dadanya naik turun menahan amarah yang membakar hatinya.
Pria di depannya mengulurkan sebelah tangannya hendak mengusap air mata wanita yang ia cintai. Namun belum sempat tangan kekar itu menyentuh wajah Ajeng, wanita dengan sorot mata kekecewaan itu menyentak lengannya.
“Katakan padaku, apakah kau sudah tak cinta padaku. Katakan, Jeng.”
Wanita di depannya tersenyum sinis, ia mengangkat sebelah tangannya bergerak mengusap pipi yang telah basah. “Mas, Hanan Arya Sujiwo saya Ajeng Putri Lencana sudah tidak mencintaimu, lagi. Lepaskan dan biarkan aku pulang ke rumah orang tuaku.” Final, keputusan wanita yang ia pinang tiga tahun lalu sudah membuat keputusan akhir. Wanita itu benar-benar ingin mengakhiri pernikahan mereka. Hubungan yang terjalin selama kurang lebih lima tahun itu harus kandas dan berakhir dengan kedua hati yang saling mematahkan.
Pria bernama Hanan itu tak dapat berbuat banyak, ia memang mencintai Ajeng namun, wanita yang ia cintai itu telah membuat sebuah keputusan dengan memilih meninggalkan dirinya sendiri. Ia berjalan dengan langkah gontai masuk ke dalam ruang kerja yang berada di lantai dua rumah minimalis itu.
Hanan menutup pintu dengan perlahan, ia tak mau jika Ajeng melihat dirinya yang lemah. Ia berjalan menuju meja kerjanya meletakkan tas kerjanya dan setelah itu ia membanting semua benda yang ada di depannya. “Arrgh‼” pekiknya seraya meninjukan tangannya pada cermin yang ada di dinding.
Ajeng yang saat itu hendak berpamitan mendengar sebuah kegaduhan dari ruangan kerja sang Suami pun bergegas melangkahkan kakinya mendekati ruangan dengan pintu berwarna hitam dan terdapat tulisan ‘Danger’ itu. wanita itu menutup matanya ngeri kala mendengar teriakan dan juga pecahan kaca yang berasal dari dalam ruangan tersebut. Ia hendak membuka pintu tersebut namun, ia kembali menarik lengannya ia tak mau jika Hanan akhirnya mengira jika dirinya tak serius dengan semua yang ia katakan beberapa jam yang lalu.
“Maaf, Mas,” lirih wanita tersebut setelah itu ia menyeret tas koper yang berisi pakaian dirinya menuju ke arah pintu utama dari rumah tersebut.
Sebelum benar-benar meninggalkan rumah itu ia sempat menatap ke belakang lebih tepatnya memusatkan manik matanya tepat di pintu ruangan kerja Hanan. Ia menghela nafas dan menatap jari manis yang masih melingkar sebuah cincin dengan bentuk sederhana namun terkesan mewah itu, ia mengusapnya dan mendaratkan sebuah kecupan pada cincin itu. Setelah itu ia benar-benar melangkah meninggalkan rumah yang ia dan sang Suami bangun bersama-sama. Sebuah rumah yang sesuai dengan desain dan interior yang ia mau namun, takdir berkata lain ia harus meninggalkan sang Suami entah untuk apa. Ada suatu hal yang tak bisa ia katakan pada sang Suami.
Ia berjalan menuju garasi mobil, mengeluarkan sebuah mobil yang menjadi kado ulang tahun dari kedua orang tuanya. Ia menatap mobil pemberian sang Suami sebagai kado di hari perayaan pernikahannya yang baru saja mereka rayakan. Ia mengusap kabin mobil lembut setelah itu menghela nafas berat. “Selamat tinggal semuanya.”
Hanan memalingkan wajahnya kala ia mendengar sebuah suara mesin mobil, ia bergegas mendekati jendela yang langsung tertuju pada teras rumahnya. Dan ia melihat sebuah mobil yang sangat ia kenali keluar dari halaman rumahnya. Hatinya mendadak kacau, ia yakin betul jika Ajeng meninggalkannya bukanlah tanpa sebab dan yang pasti wanita itu masih mencintai dirinya. Namun, pria yang berprofesi sebagai seorang wiraswasta yang namanya sedang naik daun itu tak bisa berbuat banyak. Ia tahu sifat sang Istri, wanita yang ia nikahi tiga tahun silam itu sangat keras kepala, apapun yang ia inginkan tak akan ada yang bisa melawannya.
Sampai detik ini, Hanan masih tak mengerti mengapa wanita itu begitu cepat pergi dan membiarkan rumah tangga yang mereka bangun dengan susah payah itu hancur berkeping-keping. Hanan menghabiskan waktunya di dalam ruang kerja yang lebih tepat di sebut kapal pecah. Barang-barang, pecahan kaca dan guci belum lagi kertas-kertas yang berserakan di lantai seakan menggambarkan suasana hati sang Pemilik ruangan.
Setelah sekian lama mengurung diri, pria itu memutuskan untuk mengunjungi rumah sahabat sekaligus rekan bisnisnya. Sosok pria yang menjadi penyemangat sekaligus teman yang begitu setia padanya bukan hanya saat senang melainkan pria itu selalu ada di saat susah Hanan. Satu-satunya pria yang mau menjadi teman Hanan, si Pria miskin dari kampung yang kini telah menjelma menjadi sosok pria kaya dan sebentar lagi akan menyandang status baru. Status yang akan membuat dirinya kembalil merasakan kesepian, tetapi ia tak menyerah ia akan berusaha untuk membawa kembali wanita yang selalu mengisi relung hati terdalam darinya. Wanita yang menjadi salah satu support sistem untuk dirinya bisa membangun sebuah kesuksesan yang tak mudah.