Bab 2 Tak Akan Bertahan
Bab 2 Tak Akan Bertahan
Pria dengan perasaan kalut itu mengendari mobil mewahnya memecah kemacetan ibukota, pria yang sukses dalam membangun usahanya ternyata mengalami kegagalan dalam hubungan percintaan, biduk rumah tangga yang ia harapkan dapat harmonis ternyata tak mampu melawan kencangnya badai yang menimpa hubungan mereka. Wanita yang ia harapkan akan menjadi ibu dari anak-anaknya itu ternyata tak mampu bertahan di sampingnya. Ia masih tak habis pikir dengan kemauan sang Istri. Ia telah memberikan semuanya, telah berusaha untuk membuat wanita yang ia pinang itu hidup bahagia dan kecukupan. Namun, ternyata semua yang ia berikan tak bisa membuat wanita itu mau bertahan hidup lebih lama lagi dengannya.
Hanan membanting stirnya menepi, ia tak mungkin mengendarai mobil dengan keadaan hati yang kacau. Ia tak mau membahayakan dirinya dan juga pengendara lain. Bagaimanapun juga keadaan dan suasana hatinya sedang tak baik dan akan membuat dirinya tak fokus berkendara. Pria itu mengarahkan mobilnya untuk berhenti di depan minimarket, ia hendak turun dan berniat membeli kaleng minuman dingin setidaknya minuman dingin itu bisa membuat pikirannya sedikit lebih tenang. Namun, belum sempat pria itu melancarkan niatnya, netranya menangkap dua insan berlawanan jenis kelamin baru saja keluar dari dalam mini market. Dua insan yang sangat akrab dengannya itu terlihat saling berpegangan tangan, sang Wanita menyandarkan kepalanya pada bahu tegap pria di sampingnya.
Hati Hanan seketika bergejolak tak tentu arah, ingin rasanya ia turun dan melayangkan bogeman pada sosok pria yang menggandeng wanita yang masih sah menyandang status sebagai istrinya. namun, Hanan tak mau gegabah, ia tak mau terlihat rendahan di mata wanita dan pria yang begitu dekat dengannya. “Bukankah cara terbaik dari balas dendam adalah menjadi yang jauh lebih baik? Baiklah Ajeng ini maumu, aku akan segera mengurus semuanya. Pergilah, aku memang mencintaimu tetapi hatimu sudah bukan lagi milikmu.”
Hanan segera menyalakan mesin mobil dan bergegas meninggalkan tempatnya. Ia kini tahu alasan dari wanita yang ia nikahi tiga tahun lalu itu memilih untuk meninggalkannya. Ia lebih baik mengalah bukan berarti kalah, karena menurutnya sebuah perasaan tidaklah bisa dipaksakan. Ia mencintai Ajeng bahkan teramat mencintai wanita itu namun, ia tak mau jika karena rasa cintanya itu ia berubah menjadi pria bodoh yang dengan mudahnya diam saja ketika wanita yang tinggal satu atap dengannya bermain belakang, terlebih lagi pria itu adalah sahabat sekaligus rekan berbisnisnya.
“Pantas saja belakangan ini kau sering pulang terlebih dahulu, bahkan kau lalai dengan beberapa meeting dan juga mengabaikan perkembangan usaha. Kita lihat apa yang bisa kau lakukan jika saja aku menarik semua saham yang aku punya,” ujar Hanan seraya menampilkan senyum smirk yang membuat siapa saja yang menatapnya bergidik ngeri.
Hanan selama ini hanyalah sebagai tameng bagi keduanya menjalin hubungan terlarang. Hanan tahu betul jika kedua orang tua Ajeng tak menyukai sahabatnya itu. Dan mereka dengan baik hatinya menjadikan dirinya sebagai tameng untuk menutupi hubungan mereka berdua. Hanan memutuskan untuk kembali ke kantornya dan merapikan semua barang sekaligus membereskan sejumlah saham yang ia berikan di bisnis itu. Setelah segalanya selesai, pria itu bergegas kembali ke rumahnya.
Ia bahkan menjual rumah yang ia bangun sesuai dengan keinginan sang Istri, ia bahkan rela tak mengirimkan uang kepada keluarganya di kampung sana demi memenuhi keinginan dari Ajeng. Namun, apa yang wanita itu perbuat benar-benar melukai hati pria sebaik dirinya.
Ia tak akan mengamuk ataupun melarang bahkan ia sudah tak akan mencoba membuat Ajeng bertahan di sampingnya. Ia sudah benar-benar ikhlas melepaskan wanita itu, walau ia sendiri tak tahu kenapa wanita itu berselingkuh darinya. Dan lebih memilih sahabatnya. Atau mungkin memang mereka sudah menjalin hubungan sebelum dirinya dan Ajeng bertemu, pasalnya Banin-lah yang memperkenalkan Ajeng padanya dan selama ini memang hubungan keduanya begitu dekat tetapi selama ini mereka selalu mengelak dan mengatakan jika keduanya telah berteman sejak kecil maka dari itu mereka begitu dekat.
Hari telah berganti petang, Hanan baru saja memarkirkan mobilnya di garasi. Netranya menangkap sebuah mobil yang terparkir dengan rapi di samping mobilnya. Ia pun berteriak memanggil satpam yang bertugas menjaga rumahnya sekaligus membantu dirinya membersihkan kebun. Hanan meminta kepada satpam itu untuk menjualkan mobil yang membuatnya akan semakin sulit melupakan Ajeng. Mang ujang –Satpam—sempat terkejut dengan permintaan sang Majikan namun, ia tak memiliki keberanian untuk bertanya lebih lanjut, sehingga ia hanya menyimpannya di dalam hati dan melaksanakan tugas atasannya dengan baik.
Hanan masuk ke dalam rumahnya, ia mengedarkan pandangannya menyapu seluruh sisi rumahnya tak ada yang terlewat dari pandangannya walau seinch pun. Ia benar-benar akan menjual rumah ini, toh ia tak akan sanggup tinggal di rumah yang menyimpan begitu banyak kenangan manis antara dirinya dan juga sang Istri. Ia akan memulai hidup baru dan mungkin saja ia akan menemukan tokoh baru dalam hidupnya yang akan mencintainya dengan tulus.
Ia berjalan menuju ke anak tangga yang akan mengantarkannya menuju ke kamar utama dari rumah berlantai dua itu. ia mendorong pintu dengan santai, tak ada lagi beban yang ada di pikirannya, semua pertanyaannya telah terjawab walau ada satu pertanyaan besar yang mengganjal di benaknya. Namun, pria berusia 28 tahun itu tak mau mengambil pusing. Ia lebih memilih untuk melangkah menuju ke kamar mandi dan berdiri di tengah guyuran air shower, berharap dapat membuat dirinya jauh lebih segar lagi. Setelah usai membersihkan diri, pria itu keluar dari kamar mandi hanya dengan sebuah handuk kecil yang menutupi bagian bawah tubunya.
Ia berjalan menuju ke almari pakaian dengan ukiran jepara yang negitu khas, ia menatap almari itu. Ingatannya membawa dirinya kembali ke masa di mana ia mencari almari yang sesuai dengan keinginan Ajeng ia mencari hingga larut malam dan ketika mendapatkannya ia harus merogoh koceh jauh lebih mahal dari almari yang biasa ia temui di pusat perbelanjaan Ibukota. Ia menghela nafas membuang semua ingatannya akan masa lalu. Ia membuka almari itu, senyum sinis terpatri di wajah tampannya. Ia menatap bagian almari yang sebelumnya terisi oleh pakaian khas wanita.
“Kau bahkan sudah mempersiapkan semuanya, Ajeng.” Hanan segera menarik sebuah kaos polos dengan ukuran besar dan celana boxer. Setelah itu ia berjalan keluar dari kamar menuju ke dapur. Rasa lapar yang ia tahan sedari tadi ternyata tak bisa lagi mentolerirnya. Ia segera membuka tudung makanan yang ternyata kosong tak ada makanan yang disiapkan oleh Ajeng. Ia menghela nafas dan berjalan menuju ke lemari pendingin mencoba mencari bahan-bahan makanan yang bisa ia olah.
“Kau bahkan sudah tak memikirkan keadaanku ….”