Bab 3 Get It!
Bab 3 Get It!
Pria yang sebelumnya selalu pulang tengah malam itu kini duduk termenung di meja makan yang kosong, seorang diri di rumah berlantai dua bukanlah hal yang mudah bagi sosok pria yang baru saja mengalami patah hati itu. Namun, pria itu juga tak bisa berbuat banyak. Wanita yang selalu menemaninya makan dan akan menyambutnya dengan senyuman ketika ia pulang dari kantor itu sudah memiih untuk menambatkan hatinya pada pria lain. Tak akan ada gunanya lagi ia merenungi kejadian yang sudah berlalu.
“Makanlah, Hanan. Setelah ini mulailah terbiasa hidup seorang diri,” ujar Hanan pada dirinya sendiri.
Malam, dingin, hujan dan seorang diri, apalagi yang kurang baik dari hidup pria itu? ia hanya bisa membaringkan tubuhnya di ranjang dan menatap langit-langit kamar. Ia bahkan membiarkan pintu balkon kamar terbuka seolah mengijinkan angin malam menemani kesendiriannya. Tanpa sadar pria itu terlelap karena terbuai oleh hembusan angin malam yang bercampur dengan rintik hujan.
Suara kicauan burung membangunkan pria yang mendadak menjadi lajang itu, ia mengerjapkan matanya berkali-kali mencoba menormalkan penglihatannya. Tangannya menyentuh bagian kasur di sampingnya. ‘Kosong,’ pikirnya. Setelah itu ia merutuki kebodohannya yang masih saja berharap semua yang terjadi di dirinya kemarin adalah sebuah mimpi yang ketika ia bangun semuanya kembali baik-baik saja.
Pria itu tak menunggu lama, ia bergegas menuju kamar mandi dan bersiap menuju kantornya. Ia ingin melihat ekspresi dari sang Kawan lama ketika tahu jika Hanan telah menarik semua dana yang ia miliki lengkap beserta bunga dan lain-lainnya.
Hanan mengancingkan kemeja dan setelah itu ia memakai celana panjang berwarna hitam. Ia meraih ponsel dan juga tas kerja yang biasa ia kenakan. Setelah menatap dirinya di pantulan cermin, ia tersenyum sinis dan berkata, “Kita lihat siapa yang akan bahagia.”
Mobil bermerk itu memecah kemacetan kota Jakarta di pagi hari, sudah bukan rahasia umum lagi jika Jakarta terkenal dengan keadaan jalanan yang selalu padat tak peduli pagi ataupun malam. Semua akan mengalami kemacetan dan terlambat sampai di tempat tujuan jika saja mereka tak menggunakan perhitungan waktu yang tepat.
Mobil yang di kemudikan Hanan telah tiba di sebuah kawasan dengan deretan ruko yang bisa dibilang real estate, hanya kaum bermobil yang masuk ke dalam kawasan itu, walau tak jarang pengendara roda dua juga memasuki kawasan itu namun jumlahnya bisa dihitung menggunakan jari. Hanan memarkirkan mobil di tempat yang tertera tulisan ‘Vvip’ ya sudah sangat jelas seperti apa Hanan di sana. Pria itu turun dari mobil dan bergegas menuju kantornya. Sepanjang jalan pria yang akan berubah status menjadi duda itu berhasil mencuri perhatian kaum hawa yang melintas atau berpapasan dengannya.
Jika dilihat-lihat ia memang termasuk ke dalam jajaran pria dengan kharisma yang berbeda. Wajahnya yang mulus dengan hidung yang mancung dilengkapi dengan bibir tipis berwarna merah muda itu belum lagi manik mata hitam pekat yang membuat wajahnya terlihat semakin sempurna. Wanita mana yang bisa menolak pesona dari seorang Hanan, pria yang berhasil merintis usaha dari hasil cemoohan teman sekolahnya dulu. Namun, sayang dia tak sukses dalam hal bercinta. Jika ada pepatah yang mengatakan kesuksesan seorang pria tak lepas dari peran wanita di belakangnya hal ini tak akan berlaku di hidup Hanan. Memang dulu ia merintis usahanya untuk memenuhi kebutuhan Ajeng namun, kini ia akan membuat prinsip baru. Jika kesuksesan yang akan ia raih adalah untuk dirinya sendiri.
“Selamat pagi, Pak,” sapa karyawan yang bertugas di meja resepsionis itu. Wanita yang selalu menatap dirinya dengan pandangan kagum itu selalu berusaha menarik perhatiannya.
Hanan hanya menganggukan kepalanya, pria itu tak pernah berubah selalu bersikap dingin kepada siapa saja wanita yang menyapanya terlebih lagi wanita yang selalu menatapnya dengan pandangan lapar. Hanan tipe pria yang setia namun sayang, ia tak mendapatkan istri yang setia.
“Pak Banin sudah ada di tempatnya, Pak.” Ucapan wanita itu membuat senyum sinis muncul di wajah pria berdarah asli kota lumpia itu.
Tanpa banyak kata, Hanan segera melangkahkan kakinya menuju ke lantai dua tepatnya lantai di mana kantornya dan kantor Banin berada. Ia mengatur nafas dan emosinya, ia tak mau terlihat lemah di depan pria yang dengan lancang bermain belakang dengan istrinya itu.
“Hai!” sapa Hanan seolah tak ada hal yang terjadi di antara keduanya.
Awalnya Banin tampak terkejut namun, ia kembali menormalkan raut wajahnya karena tak mau membuat kawannya menaruh curiga terhadapnya. “Hai, Han. Baru datang?”
“Menurutmu?” jawab Hanan acuh. Ia tak pernah menyukai percakapan basa-basi. Mendengar jawaban dari Hanan nyali Banin menciut, ia kembali gelisah dan itu semua tak lepas dari pandangan Hanan yang kini tengah tertawa di dalam hati. Sayangnya pria itu tak bisa menertawakan raut wajah sahabatnya itu secara terang-terangan. “Hahaha, mukanya biasa aja Ban. Gue cuman becanda. Oh iya, meeting kali ini sama lu aja ya.” Hanan tak mampu menahan tawanya, pertahananya jebol dan ia mengakalinya dengan mencoba bersikap santai.
Tanpa Banin sadari pria itu menghela nafas lega seolah ia baru saja lepas dari ikatan yang menyesakkan dadanya. Dan hal ini lagi-lagi memancing tawa Hanan, pria itu lantas melayangkan sebuah kata yang membuat dirinya kembali mematung. “Selamat bersenang-senang, Banin.” Setelah itu Hanan menghilang masuk ke dalam ruangannya, membiarkan Banin tenggelam di dalam pikirannya akan maksud dari ucapan Hanan.
Dua jam berlalu, kini tepat pukul dua belas siang dan saat Hanan akan keluar dari ruangannya guna memenuhi kebutuhan perutnya ia berpapasan dengan banin yang menatapnya dengan pandangan nyalang. Sedangkan Hanan hanya membalas tatapannya dengan santai bahkan terkesan lebih santai dari pandangan seorang yang ditatap bak seorang pelaku kejahatan berat.
“Maksudmu apa!” pekik Banin seraya menarik krah kemeja Hanan, membuat Hanan tercekik. Hanan tersenyum sinis ia tak membalas ucapan maupun perbuatan Banin. Padahal jika dirinya mau ia bisa melakukannya jauh lebih keras dari apa yang Banin lakukan padanya. Namun, pria itu tak mau mengotori tangannya untuk menyentuh pria di depannya ini.
“Wezzt, kalem dong Ban. Ada apa ini?” ujar Hanan setelah ia tersenyum sinis.
“Gak usah pura-pura bodoh! Apa maksud lu ngelakuin ini semua?” tanya Banin dengan nada yang semakin meninggi.
Sontak saja keributan dan kegaduhan yang ditimbulkan oleh Banin mengundang perhatian para karyawannya dan kini mereka berdua telah menjadi pusat perhatian. Hanan tersenyum senang dalam hati. Ia berkata dalam hati, “Get it, setelah ini semuanya akan sesuai dengan apa yang aku mau.”