Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4 Merindukan

Bab 4 Merindukan

Pertengkaran yang terjadi antara Banin dan Hanan menjadi buah bibir seisi kantor. Terlebih lagi dua pria yang masuk ke dalam katergori lelaki idaman itu terkenal begitu dekat dan selalu akur, tetapi siang itu tanpa sebab Banin melakukan penyerangan terhadap Hanan sehingga membuat wajah mulus tercoreng karena ulah Banin. Untuk saja wanita yang menyandang status sebagai istri sah dari pemimpin mereka datang dan langsung melerai Banin yang terus menerus menghajar Hanan.

“Sini Mas, biar saya bantu mengobat –“ Ucapan wanita itu terpotong karena Hanan menepis lengan wanita di sampingnya. Wanita itu tampak mengerutkan keningnya bingung, ia tak tahu dengan sikap sang Suami yang mendadak berubah menjadi dingin padanya. Bahkan pria di depannya memilih bangkit dari duduk dan berjalan menjauhi Ajeng. “Mas, kenapa?” tanya Ajeng menghentikan langkah kaki Hanan, ia hanya berhenti sejenak setelah itu berjalan menjauhi dirinya mengabaikan Ajeng yang terus memanggil namanya.

Ia sudah memantapkan hatinya jika ia tak akan pernah mau menoleh ke belakang dalam artian ia tak mau lagi menatap masa lalunya. Ia keluar dari kantor dengan penampilan wajah yang masih memar, melihat sang Pemimpin keluar dari kantor seorang diri membuat mereka semakin bertanya-tanya akan apa yang sebenarnya terjadi di antara Banin, Hanan dan Ajeng. Kasak kusuk tentang hubungan terlarang yang terjalin antara Ajeng dan Banin semakin santer terdengar, belum usai mereka berbicara Ajeng sosok wanita yang tengah mereka bicarakan justru masuk ke dalam ruangan Banin dengan raut wajah yang tampak begitu senang.

Hanan pria itu masuk ke dalam mobil dan menelungkupkan wajahnya ke lipatan tangan yang ia letakkan di atas stir bundar. Ia merasa benar-benar gagal sebagai seorang kepala rumah tangga, ia merasa jika semua yang ia dapatkan sekarang sudah tak ada lagi artinya. Untuk apa memiliki harta jika hidup penuh dengan kesepian dan juga kesedihan.

Saat ia akan memejamkan matanya ia mendengar sebuah suara yang berasal dari suara jendela mobilnya, ia mendongakkan kepala dan mendapati sosok pria tua dengan pakaian yang lusuh dan juga tubuh yang kurus kering. Ia tertegun sesaat setelah itu menurunkan kaca mobilnya, ia tersenyum ramah kakek itu membalas senyuman Hanan.

“Permisi, saya belum makan sejak kemarin. Cucu saya sedang sakit, saya hanya memiliki ini, apakah Tuan Kaya berkenan membelinya?” ucap pria tua itu seraya menunjukkan sebuah radio kecil.

Ingatan Hanan sesaat kembali ke masa di mana ia berpamitan pada sang Kakek dan meminta restu untuk mengais ilmu di Ibukota namun, setelah menikah dengan Ajeng pria itu seakan lupa pada sang Kakek yang ada di kampung. “Tuan,” panggil pria itu sekali lagi karena Hanan tak kunjung merespon ucapannya.

“Eh iya Kek, begini saja Kek. Kakek masuk ke dalam mobil saya, saya akan mengantarkan kakek pulang.”

“Saya ndak butuh pulang, Tuan. Saya butuh uang. Cucu saya sedang sakit,” tolak pria tua itu dengan sorot mata yang terlihat begitu bingung.

“Iya, Kek. Saya akan membantu kakek maka dari itu kakek masuklah.” Hanan berkata dengan begitu lembut. Pria tua itu akhirnya menurut dan masuk ke dalam mobil Hanan, awalnya ia begitu takut dan tegang berada di dalam mobil milik Hanan, terlihat jelas dari cara pria tua itu duduk. Namun, Hanan berusaha mengajak pria tua itu untuk mengobrol sehingga pria itu mampu melupakan rasa tegangnya.

Dari perbincangan singkatnya dengan Kakek itu, Hanan mengambil kesimpulan jika cinta orang tua itu memang tak akan pernah putus. Pria tua yang duduk di sampingnya ini berusaha menghidupi anak dan cucunya yang sudah tak memiliki ayah. Anaknya itu ditinggalkan suami sejak ia mengandung dan cucunya lahir dalam didikan dirinya karena sang Ibu sibuk bekerja di pabrik. Kini ibunya terkena phk besar-besaran sehingga kini ia mengalami depresi dan mengharuskan dirinya yang sudah tak muda lagi bekerja sebagai pengumpul sampah. Ia tak pernah malu dan juga tak pernah merasakan lelah, yang ada dipikirannya hanyalah bagaimana caranya ia, cucunya dan juga anaknya dapat makan dengan layak. ia mencoba menghubungi anaknya yang lain namun, semuanya seperti lupa diri bahkan melarang Pria tua itu untuk kembali menghubungi dirinya.

Hati Hanan seakan tersulut sebuah api membara, ia teringat akan nasib sang Kakek yang tinggal bersama dengan keponakannya. Pria itu sudah lama sekali tak bertukar kabar dengan sang Kakek. Terakhir kali pria itu hanya mengirimkan uang setelah itu ia tak lagi ingat kapan terakhir kali mendengar suara sang Kakek. Sebagai seorang anak yang sejak kecil hidup dan besar dalam asuhan sang Kakek membuat dirinya begitu dekat dengan pria yang terkenal di kampungnya. Orang tuanya telah lama meninggal karena mengalami kecelakan lalu lintas sehingga sang Kakeklah yang mengurus dirinya, mendidik dan memberikannya santapan agama.

“Stop, Tuan Kaya.”

“Kek, jangan panggil saya begitu. Panggil saja Hanan, Kek. Nama saya Hanan,” ujar Hanan tak mau jika pria renta di sampingnya ini memanggil dirinya dengan sebutan yang membuatnya merasa tak nyaman. Lagipula dirinya bukanlah tuan kaya ia hanya pria yang kurang mujur.

“Iya, Nak Hanan. Kita turun di sini saja. Akan sulit untuk masuk ke dalam.” Pria itu berusaha meraih bungkusan makanan yang sudah mereka beli dalam perjalanan menuju ke rumahnya.

Satu hal yang Hanan suka dari pria tua di sampingnya. Pria itu tak memanfaatkan kebaikannya dengan meminta ini itu. Kakek itu hanya meminta untuk membeli tiga bungkus makanan saja. Dan meminta untuk dibelikan obat yang dibutuhkan cucunya. Namun, Danish bersikeras membawa cucu sang Kakek ke dokter. Karena menurut hanan akan sangat berbahaya jika meminum obat sembarangan.

Berkat desakan dari Hanan, Kakek Cokro menyetujui ajakannya untuk membawa sang Cucu ke dokter terdekat. Setelah menunggu hasil pemeriksaan, sekelebat munculah sebuah ide yang membuat Kakek Cokro keberatan. Pasalnya Hanan menawarkan dirinya untuk tinggal di rumahnya dan membantu dirinya menjaga rumah. Bukan tanpa alasan Hanan meminta pria itu untuk tinggal di rumahnya, pasalnya rumah yang kini menjadi tempat berteduh Cokro tidak dapat dibilang sebuah rumah bahkan sangat jauh dari kata rumah, sebuah bangunan berukuran 5x5 itu hanya beralaskan tikar dan berdinding seng. Mereka bahkan tinggal di bantaran sungai yang akan sangat berbahaya.

Hanan hanya teringat akan Kakeknya di kampung, bukankah pepatah pernah berkata jika bantu saja siapa yang bisa kau bantu, mungkin balasannya bukan untukmu dan sekarang. Mungkin balasannya akan jatuh di keluargamu, nanti.

“Kek, saya mohon, jangan tolak permintaan saya Kek. Saya akan sangat senang bisa membantu Kakek.” Pria itu masih saja merayu pria berusia 70 yang tengah duduk di sampingnya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel