Bab 6 Bak Alien
Bab 6 Bak Alien
Perjalanan dari Jakarta menuju ke kota lumpia itu memakan waktu kurang lebih delapan jam, walaupun sudah ada jalur tol yang akan mempersingkat waktu namun, tetap saja jika di weekend begini jalanan akan berubah menjadi ramai. Dan melewati beberapa kota lagi mobil yang dikendarai Hanan akan tiba di perbatasan kota lumpia. Sejak kecil ia sudah tinggal di sana, besar dan lahir di kota lumpia membuat dirinya tumbuh menjadi pria yang pandai menggunakan bahasa jawa, walau ia selama delapan tahun terakhir tinggal di Ibukota semua itu tak akan membuatnya lupa akan jati dirinya.
“Kakek, sebentar lagi cucumu yang tampan ini akan segera datang!” ujar Hanan sepanjang jalan. Kini ia telah tiba di kota ngapak. Ia sempat memarkirkan mobilnya ke tepian jalan dan membeli buah tangan yang menjadi ciri khasdari kota ngapak itu.
“Kakek pasti akan sangat suka, apalagi jika dibuat sambal dan dimakan bersama dengan ikan yang dipancing di tambak dekat rumah!” Hanan sudah membayangkan ekspresi dan raut wajah Kakeknya yang sudah pasti dihiasi oleh keriput. Ia terbayang akan masa kecilnya yang selalu menikmati masakan dari sang Kakek. Walau tak kaya, Kakek Hanan memiliki beberapa hektar tanah yang ia tanami bahan-bahan pokok dan juga sayuran sehingga tak heran jika Hanan akrab dengan hal perkebunan.
Hanan dan Kakeknya bak anak dan ayah, sangat mirip mulai dari sifat hingga wajahnya. Namun, sayangnya kisah cinta mereka berbeda. Jika rumah tangga Kakek Hanan mampu bertahan hingga maut yang memisahkan mereka berbeda dengan Hanan yang berpisah karena pria lain. Hanan menghela nafas mengingat itu semua, ia memang sudah ikhlas namun, ikhlas tak semudah membalikkan telapak tangan. Bayangan masa lalu, kenangan dan juga masa-masa sulit yang mereka jalani berdua selalu saja terbayang di pelupuk ingatan Hanan membuat pria kelahiran Semarang itu semakin berat melepaskan wanita yang telah mengingkari janjinya.
Mobil Hanan terus melaju melintasi jalan yang terasa ramai namun lancar, ia menyalakan musik untuk menemani perjalanannya. Ia merasakan kesepian namun, ia mencoba mengabaikan itu semua dengan turut serta bernyanyi walau lirih. Tak terasa sebentar lagi ia akan memasuki kawasan kota lumpia. Ia begitu semangat bertemu dengan Kakeknya di kampung halaman. Seakan melupakan masalahnya, ia ingin merasakan ketenangan di kampung halaman sekaligus bertemu kembali dengan pria yang mengajarkannya banyak hal. Mulai dari ilmu agama, pendidikan bahkan keterampilan lainnya yang sampai saat ini sangat berguna untuk Hanan.
Mobil mewah Hanan mulai memasuki perbatasan kota Semarang, ia memperlambat laju mobilnya bergerak santai seraya menurunkan jendela mobilnya. Ia menikmati setiap hembusan angin yang menerpa wajahnya. Banyak yang berubah dari kota ini, batin Hanan.
Memang benar jika banyak yang berubah dair kota ini. Dulu kota ini sangat assri dan banyak pohon rindang yang menghiasi sepanjang jalan namun kini, pepohonan tersebut sudah berubah menjadi bangunan. Walau tak setinggi di kota Jakarta namun, tetap saja suasana kota ini terasa berbeda. Hanan menghela nafas ia jadi teringat akan kampung halaman. Ia mulai membuat taruhan pada dirinya sendiri, apakah kampungnya telah berubah atau tetap sama, asri dan tenang?
Tak terasa mobil yang dikendarai Hanan sesaat lagi akan sampai di gerbang yang akan membawanya semakin dekat dengan rumah sang Kakek. Ia sudah tak sabar bertemu dan melepas rindunya pada sang Kakek. Terlebih lagi ia merindukan partner in chrime-nya yaitu sang Keponakan.
Ia berhenti tepat di depan gerbang masuk pedesaannya. Ia menghela nafas panjang, seketika ia merasakan gugup dan gelisah. Mungkin ia gelisah pada pertanyaan yang mungkin saja akan ia terima karena secara tiba-tiba kembali ke rumah dan seorang diri. Terlebih lagi dirinya masih secara sah berstatus suami orang, akan menimbulkan opini negatif tentang rumah tangganya yang memang sudah tak berbentuk lagi.
“Ah sudahlah, tak akan ada gunanya memikirkan hal itu. Tujuanku ke mari untuk menenangkan diri bukan semakin memperkeruh suasana. Jadi sudahlah, mari kita hadapi semuanya,” ujar Hanan seraya merasakan hembusan angin desa yang begitu sejak.
Kini ia menarik kembali ucapannya yang berkata jika Semarang tak lagi seperti dulu, mungkin kalimat itu tepat untuk menggambarkan suasana perkotaannya tetapi jika menelisik ke pedesaan yang ada di Semarang ini sangatlah terjaga kelestariannya dan masih asri sama seperti saat dirinya kecil dulu. Mungkin saja, hanya beberapa perbedaan yang yah tidaklah terlalu signifikan.
Kedatangan mobil mewah milik Hanan tentu saja menarik perhatian warga kampung, terlebih lagi di sana memang jarang kedatangan tamu dari luar kota kecuali anak cucu mereka yang merantau di kota itupun hanya akan pulang ke kampung halaman saat hari raya saja. Sehingga mereka menatap bertanya siapa pemilik mobil mewah itu. Hanan hanya menggelengkan kepalanya kala ia melihat sikap para tetangga yang menatap mobilnya bak alien yang turun ke bumi dan membagikan nasi kotak.
Seratus meter lagi, Hanan akan segera sampai di halaman rumah Kakeknya. Ia sudah tak sabar untuk memberikan kejutan pada sang Kakek. Hanan bergegas memarkirkan mobilnya namun, ia menatap ragu rumah dengan corak berwarna coklat dan putih itu, pasalnya pintu rumah terkunci dan begitu juga dengan gerbang yang terbuat dari bambu itu. Hanan memutuskan untuk turun dari mobil dan memastikan keadaan. Ia mencoba mengingat-ingat alamat rumah sang Kakek namun, berulang kali ia mencoba mengingat hasilnya tetap sama rumah di depannya inilah yang menjadi rumah masa kecilnya.
“Perasaan benar kok, tetapi kenapa sepi ya?” tanya Hanan lirih.
“Loh Nak Hanan, nyari Pak Hadi?” sapa salah seorang warga yang entah sejak kapan telah berdiri di belakangnya.
Hanan terlonjak namun ia dapat kembali menormalkan raut wajahnya, ia tersenyum dan menjawab, “Ia, Pakde. Saya nyari Kakek saya. Di mana ya, Pakde?”
“Loh, apa Nak Hanan ndak dikasih tahu? Pak Hadi dan Hasan sedang ke rumah sakit. Hasan itu baru saja mengalami musibah.”
“Musibah?” tanya Hanan memastikan apa yang ia dengar.
“Iya, Nak Hanan. Apa Nak Hanan ndak dikasih kabar?” tanya tetangga yang sepertinya begitu dekat dengan Hadi –Kakek Hasan— pria itu menatap Hanan bingung. “Oh mungkin, karena Nak Hanan sibuk bekerja di kota jadi Pak Hadi ndak mau merepotkan, Nak Hanan. Jadi Pak Hadi memilih mengurus semuanya sendiri,” sambung pria itu seperti menampar Hanan menggunakan kata-katanya. Dan memang benar, kalimat yang terlontar dari bibirnya benar-benar menampar Hanan.
“Kalau boleh tahu, dibawa ke rumah sakit atau …?” tanya Hanan tak mau menebak karena ia takut membuat pria di depannya semakin menamparnya dengan kata-kata yang terkesan halus namun menyakitkan.