Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4 Insecure

Setelah percakapan yang emosional dengan James, Alesya pulang ke apartemennya sendiri. Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya, dan keheningan apartemennya membuat pikiran-pikirannya semakin liar. Dia duduk di sofa, menatap kosong ke arah jendela yang menghadap ke kota. Lampu-lampu kota yang berkelap-kelip tidak mampu mengusir perasaan tidak aman yang merasukinya.

Alesya menarik selimut tipis ke tubuhnya, mencoba mencari kehangatan. Namun, yang dia rasakan hanyalah ketidakpastian dan keraguan. Dia memikirkan James, pria yang begitu perhatian dan penuh kasih sayang, dan bagaimana keluarganya yang kaya dan berpengaruh tidak setuju dengan hubungan mereka. Pikirannya dipenuhi dengan berbagai macam skenario buruk.

"Apakah aku memang pantas untuk James?" gumamnya pada diri sendiri, suara hatinya penuh keraguan. "Dia bisa mendapatkan siapa saja, wanita yang jauh lebih baik dariku. Apa yang aku miliki selain masa lalu yang penuh luka?"

Alesya merasa air mata mulai mengalir di pipinya. Dia menutup wajahnya dengan tangan, berusaha menahan isak tangis yang semakin kuat. Hatinya berat dengan perasaan tidak berharga dan rasa takut kehilangan James. Tapi dia tahu bahwa James mencintainya, dan itulah yang membuat perasaannya semakin rumit.

Malam itu, dia hanya duduk di sofa, membiarkan pikirannya berlarian tanpa henti. Bayangan masa lalunya kembali menghantuinya, mengingatkan akan semua kesalahan dan keputusan yang pernah dia ambil. Rasa malu dan penyesalan menghantamnya seperti gelombang besar yang tak henti-hentinya.

"Kenapa harus aku?" tanya Alesya pada dirinya sendiri, suaranya hampir tak terdengar. "Kenapa James memilihku? Apa yang dia lihat dalam diriku yang tidak bisa aku lihat sendiri?"

Meski hatinya dipenuhi dengan keraguan, Alesya tahu bahwa dia tidak bisa terus-menerus meragukan diri sendiri. Dia harus menemukan kekuatan untuk menerima cinta James dan percaya bahwa dia juga layak untuk bahagia. Tapi malam itu, semua yang bisa dia lakukan hanyalah berdiam diri, membiarkan air mata mengalir dan berharap bahwa suatu hari nanti, dia bisa menemukan cara untuk mencintai dirinya sendiri seperti James mencintainya.

Keesokan paginya, Alesya bangun dengan mata yang sembab dan perasaan yang masih campur aduk. Dia merasa lelah secara emosional, tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang memutuskan untuk tidak menyerah. Setelah beres-beres sedikit, dia memutuskan untuk menghubungi James dan mengajaknya bertemu di sebuah kafe kecil di dekat apartemennya.

Ketika James tiba, dia langsung menyadari ada yang berbeda pada Alesya. Wajahnya tampak lebih pucat dan mata merahnya menandakan bahwa dia habis menangis. Mereka duduk di sudut kafe, mencoba mencari kenyamanan dalam kehangatan secangkir kopi.

James menatap Alesya dengan penuh perhatian. "Kamu baik-baik saja?" tanyanya, suaranya penuh kekhawatiran.

Alesya menghela napas panjang, mencoba menyusun kata-katanya. "James, aku... Aku merasa sangat tidak pantas untukmu," katanya akhirnya, matanya menunduk ke cangkir kopinya. "Masa laluku, semua yang pernah aku lakukan... Aku tidak ingin itu membebani hubungan kita."

James mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Alesya dengan lembut. "Alesya, dengarkan aku. Masa lalumu tidak mengubah perasaanku padamu. Kita semua punya masa lalu, dan aku mencintaimu apa adanya."

Alesya menatap James dengan mata berkaca-kaca. "Tapi keluargamu, mereka tidak setuju dengan kita. Mereka melihatku sebagai masalah, dan aku tidak ingin menjadi beban bagimu."

James tersenyum lembut, mencoba menenangkan Alesya. "Keluargaku mungkin tidak mengerti sekarang, tapi aku tidak peduli. Yang penting adalah apa yang kita rasakan satu sama lain. Kita bisa mengatasi ini bersama."

Alesya merasa sedikit lega mendengar kata-kata James, tetapi ketidakpastian masih menghantuinya. "Aku takut, James. Aku takut kehilanganmu karena semua ini."

James menatap Alesya dengan mata yang penuh tekad. "Kamu tidak akan kehilangan aku. Kita akan menghadapi semuanya bersama, apa pun yang terjadi. Aku di sini untukmu, selalu."

Alesya mengangguk pelan, merasakan dukungan dan cinta dari James. "Terima kasih, James. Aku akan berusaha lebih kuat. Aku hanya butuh waktu untuk benar-benar percaya bahwa aku layak mendapatkan cinta ini."

James mengangkat tangan Alesya dan menciumnya dengan lembut. "Kamu layak mendapatkan semua cinta di dunia ini, Alesya. Aku akan ada di sisimu setiap langkah."

Dengan itu, mereka berdua duduk dalam keheningan yang nyaman, saling menguatkan satu sama lain. Di tengah segala tantangan yang ada, mereka tahu bahwa cinta mereka adalah sesuatu yang layak diperjuangkan. Dan bersama-sama, mereka akan menemukan cara untuk melewati semua rintangan yang menghadang.

Setelah pertemuan yang menenangkan di kafe, Alesya dan James memutuskan untuk berjalan-jalan di taman kota yang tak jauh dari situ. Pohon-pohon rindang dan bunga-bunga yang bermekaran memberikan suasana yang menenangkan. Mereka berjalan berdampingan, tangan mereka saling menggenggam erat seolah-olah mereka tidak ingin terpisah.

"Aku selalu suka taman ini," kata Alesya sambil tersenyum tipis. "Memberikan rasa damai yang aku butuhkan."

James menatapnya dengan lembut. "Aku senang kita bisa berbagi momen ini. Aku tahu semuanya tidak mudah, tapi aku percaya kita bisa menghadapinya."

Alesya mengangguk. "Aku akan berusaha lebih kuat, James. Untuk kita."

Mereka terus berjalan, menikmati keindahan alam sekitar, sampai mereka menemukan bangku taman yang kosong. Mereka duduk di sana, menikmati keheningan dan suara burung yang berkicau di kejauhan.

"James, aku ingin tahu sesuatu," kata Alesya akhirnya, suaranya penuh rasa ingin tahu. "Apa yang membuatmu begitu yakin dengan kita, meski keluargamu menentang?"

James tersenyum, mengingat semua momen yang telah mereka lalui bersama. "Alesya, sejak pertama kali aku bertemu denganmu, aku tahu ada sesuatu yang istimewa dalam dirimu. Kamu bukan hanya wanita yang kuat dan berani, tapi juga penuh kasih sayang dan ketulusan. Itu yang membuatku jatuh cinta padamu."

Alesya menatap James, merasa tersentuh oleh kata-katanya. "Terima kasih, James. Aku hanya berharap keluargamu bisa melihat apa yang kamu lihat dalam diriku."

James menghela napas, menyandarkan punggungnya ke bangku. "Mungkin butuh waktu, tapi aku yakin mereka akan mengerti. Kita hanya perlu sabar dan terus berjuang bersama."

Tiba-tiba, sebuah pesan masuk ke ponsel James. Dia membuka pesan itu dan mendapati bahwa itu dari adiknya, Isabella.

"James, bisakah kita bertemu? Aku ingin bicara tentang sesuatu yang penting," tulis Isabella.

James menunjukkan pesan itu kepada Alesya. "Ini dari Isabella. Sepertinya dia ingin bicara."

Alesya mengangguk, mencoba menenangkan hatinya. "Mungkin ini kesempatan bagus untuk mulai memperbaiki keadaan."

James setuju dan segera membalas pesan Isabella, mengatur pertemuan di sebuah kafe yang mereka kenal baik. Setelah mengirim balasan, dia kembali menatap Alesya dengan penuh kasih sayang.

"Aku akan memastikan bahwa kita bisa melewati semua ini," katanya dengan tekad.

Alesya tersenyum, merasa sedikit lebih kuat dengan kehadiran James di sisinya. "Aku percaya padamu, James. Mari kita hadapi ini bersama."

Beberapa jam kemudian, mereka tiba di kafe tempat mereka akan bertemu dengan Isabella. James merasa sedikit gugup, tapi dia tahu bahwa ini adalah langkah penting untuk menjaga hubungan mereka.

Isabella sudah menunggu di sana, wajahnya penuh dengan campuran antara kekhawatiran dan tekad. Ketika James dan Alesya mendekat, dia berdiri dan menyapa mereka.

"Terima kasih sudah datang," kata Isabella, mencoba tersenyum meski terlihat canggung.

James meraih tangan Alesya dan memperkenalkannya dengan lebih formal. "Isabella, ini Alesya. Alesya, ini adikku, Isabella."

Alesya mengangguk sopan. "Senang bertemu denganmu, Isabella."

Isabella tersenyum lemah. "Senang bertemu denganmu juga, Alesya. Mari kita duduk dan bicara."

Mereka duduk di meja yang terletak di sudut kafe, memesan minuman dan mulai percakapan dengan hati-hati. Isabella membuka pembicaraan dengan nada serius.

"James, Alesya, aku ingin kalian tahu bahwa aku tidak bermaksud untuk menyinggung atau menyakiti kalian. Aku hanya khawatir tentang bagaimana reaksi orang tua kita terhadap hubungan ini."

James mengangguk, mencoba memahami perasaan adiknya. "Aku mengerti, Isabella. Tapi aku berharap kalian bisa melihat lebih jauh daripada hanya status sosial atau masa lalu."

Isabella menghela napas, terlihat sedikit tertekan. "Aku tahu. Tapi keluarga kita terpandang dikalangan orang orang terkaya."

Alesya merasa sedikit insecure mendengar kata-kata Isabella. "Maafkan aku, Isabella"

Isabella tersenyum lemah, mencoba menunjukkan niat baiknya. "Keluarga Smith menginginkan menantu yang memiliki status sosial yang tinggi, apa kau tahu Al?"

"Aku tahu Bella, James sudah hilang padaku!"

"Kalau begitu, bagaimana kalau buktikan saja pada orang tua kami jika kamu pantas untuk masuk ke dalam keluarga Smith?" tantangnya.

Deg

Isabella tersenyum miring melihat wajah pucat Alesya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel