Pustaka
Bahasa Indonesia

Takdir Cinta Wanita Malam

25.0K · Ongoing
Ayu Andita
67
Bab
186
View
9.0
Rating

Ringkasan

"Takdir Cinta Wanita Malam" mengisahkan perjalanan hidup Alesya Kinara Pramesti, seorang wanita malam yang bekerja di klub dan berusaha keras melepaskan diri dari bayang-bayang masa lalunya. Hidupnya yang penuh liku berubah ketika dia bertemu dengan James Milano Smith, seorang miliarder tampan dan kaya yang menawarkan cinta dan harapan baru. Di tengah gemerlap kehidupan malam dan konflik batin yang mendalam, Alesya menemukan dirinya di persimpangan jalan antara masa lalu yang menghantuinya dan masa depan yang penuh dengan cinta dan kebahagiaan. "Aku bukan wanita yang kau pikirkan, James. Aku punya masa lalu yang kelam," kata Alesya dengan suara bergetar. "Aku tidak peduli siapa kamu di masa lalu, Alesya. Aku hanya peduli siapa kamu sekarang dan siapa kita di masa depan," jawab James dengan tatapan penuh keyakinan. Apakah cinta James cukup kuat untuk menyelamatkan Alesya dari bayang-bayang masa lalunya? Temukan jawabannya dalam cerita penuh drama, romansa, dan kejutan ini yang akan membuat siapapun baper!

RomansaMetropolitanIstriBillionaireLove after MarriageKawin KontrakCinta Pada Pandangan PertamaPernikahanWanita CantikDewasa

Bab 1 Mimpi Buruk

Alesya Kinara Pramesti terlelap dalam tidurnya dengan tenang, tetapi kemudian dihantui oleh mimpi buruk yang familiar. Dia menemukan dirinya kembali ke dalam dunia yang telah lama ditinggalkannya—klub malam dengan sorotan lampu yang menyilaukan dan dentuman musik yang membahana. Gaun merahnya berkilauan di bawah cahaya, mengingatkannya pada hari-hari ketika dia harus menutupi kesedihannya dengan senyuman palsu.

Di tengah keramaian klub, Alesya merasakan kegelisahan yang tak terlupakan. Dia melihat sekeliling dengan tatapan penuh ketakutan, berusaha mencari jalan keluar dari belenggu masa lalunya yang terus mengikatnya. Tiba-tiba, suara langkah berat mendekatinya dari belakang.

"Alesya," panggil suara itu, berat dan mengancam.

Alesya berbalik dengan cepat, menemukan dirinya berhadapan dengan sosok yang selalu menghantuinya dalam mimpi-mimpi buruknya. Pria itu, dengan wajah yang dikenalnya terlalu baik, tersenyum sinis di hadapannya.

"Kau tidak bisa melarikan diri, Alesya," ucapnya dengan suara yang menggetarkan hati.

"Kau tahu betapa sulitnya untuk meninggalkan masa lalu."

"Aku telah mencoba dan berusaha mengubah tualan hidupku," balas Alesya, suaranya gemetar.

"Aku tidak ingin kembali ke sini lagi."

Pria itu mengangkat bahunya dengan acuh tak acuh, tetapi matanya menyimpan ancaman yang tak terucapkan. "Kau akan selalu menjadi bagian dari malam ini, Alesya. Tidak peduli seberapa jauh kau mencoba melarikan diri."

Alesya terbangun dengan napas terengah-engah, jantungnya berdebar keras di dadanya. Dia meraih telepon genggamnya di meja samping tempat tidur, menatap layar gelapnya dengan kebingungan. Keringat dingin masih membasahi kulitnya saat ia membiarkan kenyataan menggantikan mimpi buruknya.

Di dalam keheningan kamar gelap, Alesya merasa rasa keputusasaan yang mendalam. Dia tahu bahwa perjuangannya untuk melepaskan diri dari bayang-bayang masa lalu sebagai seorang wanita malam akan terus berlanjut.

Alesya menatap dirinya sendiri dalam cermin dengan perasaan campuran antara kelelahan dan keputusasaan. Cahaya pagi yang lembut memancar masuk ke dalam kamar kecil apartemennya, menerangi wajahnya yang pucat. Dia meraba-raba di dalam laci untuk menemukan pelembap wajah, sambil berusaha mengusir bayang-bayang mimpi buruk yang masih menghantuinya.

Sudah beberapa bulan sejak ia meninggalkan kehidupan sebagai seorang wanita malam, tetapi bekas-bekas masa lalunya tetap mengejar, bahkan di dunia yang baru ini. Setiap kali dia keluar dari apartemennya, tatapan-tatapan sinis dan bisikan-bisikan yang beredar di kalangan tetangga dan kenalan membuatnya merasa seperti ia tak pernah bisa benar-benar menghilangkan bayangan masa lalu.

Di tempat kerjanya sebagai asisten di sebuah kafe kecil, Alesya sering mendengar candaan dan olok-olok dari rekan-rekannya yang lebih muda dan lebih naif. Mereka tidak pernah tahu atau bahkan mencoba memahami Alesha. Tapi dia merasakan pandangan mereka yang menyelidik, pandangan yang penuh dengan prasangka dan kecurigaan.

Pada suatu hari, ketika sedang membersihkan meja di sudut kafe, Alesya mendengar seorang pelanggan laki-laki bercerita pada temannya dengan nada setengah tertawa, "Kamu tahu, ada seorang wanita di sini yang dulu bekerja di klub malam. Tidak percaya? Tanyakan saja pada beberapa orang, mereka tahu."

Kata-kata itu menusuk langsung ke dalam hatinya seperti pisau tajam. Dia merasa wajahnya memanas dan lututnya lemas. Alesya mencoba mengatur napasnya, mencoba menahan tangis yang hampir terjatuh.

Dia menutup mata sejenak, memaksakan diri untuk tidak merespons. Dia tidak boleh membiarkan kata-kata orang lain meruntuhkan semangatnya yang rapuh. Namun, rasa lelah dan kekecewaannya terasa begitu berat.

Ketika pekerjaan selesai dan dia pulang ke apartemennya malam itu, Alesya duduk sendirian di sofa kecilnya dengan pandangan kosong. Dia merenungkan apakah dia pernah akan bisa menemukan tempat di dunia ini di mana dia bisa benar-benar diterima tanpa dicap oleh masa lalunya.

Alesya membuka pintu apartemennya dengan gerakan lambat, langkah kakinya terdengar berat di lantai yang dingin. Dia melempar tas kerjanya dengan kasar ke sudut ruang tamu kecil dan duduk di sofa, wajahnya terlihat letih dan penuh dengan ekspresi kekecewaan.

"Apa yang aku lakukan dulu?" gumam Alesya pada dirinya sendiri, memandang kosong ke ruang kosong apartemennya. "Kenapa aku harus terjun begitu dalam ke dalam dunia malam?"

Di sudut ruangan, suaranya terdengar hampa. Dia membayangkan kembali bagaimana masa lalu yang kelam masih terus menghantuinya, meskipun sudah mencoba keras untuk melupakan semuanya.

"Dulu aku pikir aku tak punya pilihan," lanjutnya, suaranya penuh dengan ketidaksabaran.

"Tapi sekarang, aku melihat betapa bodoh dan lemahnya diriku sendiri. Mengapa aku tidak berjuang lebih keras untuk mencari jalan keluar?"

Alesya mengusap wajahnya dengan frustrasi, mencoba menahan air mata yang ingin mengalir. Perasaan penyesalan dan kekecewaan terus menggelayuti pikirannya, menghantui setiap langkahnya.

"Tidak ada yang bisa kubuat untuk mengubah masa laluku," ia berbisik, suaranya penuh dengan penghakiman pada dirinya sendiri.

"Tapi aku harus belajar untuk menerimanya, bahkan jika itu berarti menerima bagian tergelap dari diriku."

Dalam keheningan yang memenuhi apartemennya, Alesya berdiri dan berjalan menuju jendela. Dengan tatapan kosong, ia merenungkan tentang bagaimana hidupnya akan berbeda jika saja dia membuat keputusan yang berbeda dulu. Tetapi dalam kegelapan malam yang menyelimuti, satu-satunya suara yang terdengar adalah suara bisikan masa lalu yang tidak pernah bisa dihindari.

Keesokan harinya, Alesya berjalan cepat di trotoar yang sibuk, pikirannya masih dipenuhi oleh perasaan kecewa dan penyesalan. Tiba-tiba, dia mendengar suara yang sangat dikenalnya, suara yang membuat hatinya berdebar keras dengan campuran rasa takut dan marah.

"Alesya?"

Dia berhenti sejenak, lalu berbalik dan melihat mantan kekasihnya, Reza, berdiri di sana dengan senyum sinis yang sama seperti yang dia ingat. Dengan tatapan tajam, Reza melangkah mendekat, membuat Alesya merasa terjebak di tengah kerumunan orang.

"Reza," ucap Alesya, suaranya bergetar.

"Apa yang kamu lakukan di sini?"

Reza mengangkat bahunya dengan sikap acuh tak acuh. "Hanya kebetulan bertemu. Tidak kusangka akan melihatmu di sini, berbaur dengan orang-orang biasa."

Alesya menggertakkan giginya, berusaha menahan kemarahan yang mendidih di dalam dirinya. "Aku punya hak untuk berada di sini, sama seperti orang lain."

Reza tertawa kecil, nada suaranya penuh dengan penghinaan. "Kau pikir dengan meninggalkan klub malam itu, kau bisa menjadi seseorang yang berbeda? Orang-orang tidak akan pernah melupakan siapa dirimu sebenarnya, Alesya. Kau selalu akan menjadi wanita malam yang menjajakan tubuhmu pada pria kaya."

Alesya merasakan darahnya mendidih, tetapi dia mencoba tetap tenang. "Aku sudah berubah, Reza.

Aku sudah tidak lagi berada disana. "

Reza mendekatkan wajahnya ke arah Alesya, matanya menatap tajam dengan penuh kebencian. "Kau bisa mencoba bersembunyi, tapi kita semua tahu kebenarannya. Kau tidak akan pernah bisa lepas dari masa lalumu. Semua orang tahu siapa kau sebenarnya."

Alesya menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya meskipun hatinya terasa hancur. "Itu pendapatmu, Reza. Tapi aku berhak menentukan hidupku sendiri dan aku tidak akan membiarkan masa lalu atau pendapatmu menghalangi jalanku."

Reza tersenyum sinis sekali lagi sebelum berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Alesya dengan perasaan campur aduk antara marah dan sedih. Dia berdiri di sana sejenak, mencoba mengatur napasnya yang berat dan mengusir bayang-bayang keraguan yang mulai merayap kembali ke dalam pikirannya.

Dengan langkah pelan, Alesya melanjutkan perjalanannya, bertekad untuk tidak membiarkan kata-kata Reza atau masa lalunya menghentikannya dari mencapai kehidupan yang lebih baik. Wanita itu mengusir rasa sesak akibat ucapan Reza barusan.

"Aku juga berhak mendapatkan kesempatan kedua untuk menjadi orang yang lebih baik!" Alesya segera pergi dari sana, tak ingin menjadi bahan omongan orang lain.