Bab 2 Awal Pertemuan
Alesya memutuskan untuk menghabiskan sore di pusat perbelanjaan yang baru dibuka, berharap belanja kecil-kecilan bisa mengalihkan pikirannya dari pertemuannya yang tidak menyenangkan dengan Reza. Setelah berkeliling dan menikmati beberapa toko, dia menemukan dirinya di area kafe, tergoda oleh aroma kopi yang kuat dan kue-kue yang menggugah selera.
Dia memesan cappuccino dan sepotong kue red velvet, lalu mencari tempat duduk di sudut yang tenang. Saat baru saja mulai menikmati suap pertama kuenya, tiba-tiba terdengar suara gaduh dari arah pintu masuk kafe.
"Apa yang kau lakukan?!"
Alesya mengangkat kepalanya dan melihat seorang pria tinggi dengan jas mahal berdiri dengan kesal, seorang pelayan muda berdiri gugup di depannya, jelas-jelas telah menumpahkan kopi ke setelan pria itu. Pria itu, dengan wajah tampan tapi ekspresi arogan, memandang sekeliling seolah mencari sesuatu atau seseorang yang bisa mengubah nasib sialnya.
Alesya menggelengkan kepala, berpikir untuk kembali menikmati kuenya, tetapi pria itu tiba-tiba melihat ke arahnya dan dengan langkah cepat mendekat. "Kau!" katanya, menunjuk ke arah kursi di depannya. "Aku butuh tempat duduk."
Alesya mengerutkan kening, setengah bingung dan setengah marah. "Tempat duduk ini kosong, tapi kalau kau hanya ingin marah-marah, lebih baik cari tempat lain," jawabnya tegas.
Pria itu duduk tanpa menunggu undangan lebih lanjut, membersihkan setelan jasnya yang terkena tumpahan kopi. "Maaf," katanya dengan nada datar, seolah permintaan maaf itu keluar dari keterpaksaan. "Hari ini bukan hari terbaikku."
Alesya menatapnya dengan tatapan skeptis. "Dan kau pikir hari-hariku selalu menyenangkan?"
Pria itu menatap Alesya, tatapannya mulai melunak meski tetap arogan. "Aku James Milano Smith," katanya, seolah nama itu harus dikenali dan dihormati.
"Alesya Kinara Pramesti," balas Alesya, tanpa menunjukkan tanda-tanda terkesan. "Jadi, James, kau selalu mengintimidasi orang lain saat harimu buruk?"
James tertawa kecil, nada sinis tapi juga sedikit kagum. "Kau punya nyali, Alesya. Tidak banyak orang yang berani berbicara seperti itu padaku."
Alesya mengangkat bahu. "Mungkin karena aku sudah cukup lelah dengan orang-orang yang berpikir mereka lebih baik dari yang lain. Apalagi orang kaya dan arogan."
James tersenyum tipis, menatap Alesya dengan pandangan yang lebih lembut. "Mungkin aku butuh seseorang yang tidak takut menghadapiku. Bagaimana kalau aku traktir kau makan malam sebagai permintaan maaf?"
Alesya terdiam sejenak, menimbang tawaran itu. Ada sesuatu dalam cara James berbicara, meskipun arogan, yang membuatnya penasaran. "Baiklah," jawabnya akhirnya, dengan nada tenang tapi tegas. "Tapi jangan harap aku akan bersikap manis hanya karena kau membayari makan malamku."
James tertawa lagi, kali ini dengan nada yang lebih tulus. "Aku tidak mengharapkan yang lain."
Mereka berdua duduk di kafe itu, berbicara tentang banyak hal, membiarkan waktu berlalu tanpa mereka sadari. Mungkin ini adalah awal dari sesuatu yang tak terduga, sesuatu yang bisa mengubah hidup Alesya dan James dengan cara yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
Setelah obrolan yang mengejutkan di kafe itu, James dan Alesya memutuskan untuk bertemu lagi. Malam itu, mereka berdua menuju sebuah restoran eksklusif di pusat kota. Alesya mengenakan gaun hitam sederhana namun elegan yang berhasil ia temukan di lemari, sementara James tetap dengan gaya jasnya yang mewah dan rapi. Mereka duduk di meja yang terletak di dekat jendela besar, memberikan pemandangan kota yang gemerlap.
"Tempat ini benar-benar mewah," kata Alesya, mencoba mengalihkan perasaan canggung yang masih tersisa. "Kau sering makan di sini?"
James mengangguk, memandangnya dengan senyum tipis. "Kadang-kadang. Tempat ini nyaman dan makanannya luar biasa. Kau pasti suka."
Pelayan datang membawa menu dan mereka mulai memilih makanan. Setelah memesan, James menatap Alesya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Jadi, apa yang membuatmu memutuskan untuk meninggalkan dunia malam itu?" tanyanya tanpa basa-basi.
Alesya terdiam sejenak, menatap lilin yang berkedip di tengah meja. "Aku lelah hidup dalam bayang-bayang, merasa seperti tidak punya pilihan. Aku ingin hidup yang lebih baik, yang lebih bermakna."
James mengangguk, seolah memahami lebih dari yang dia katakan. "Mungkin aku tidak benar-benar bisa memahami apa yang kau alami, tapi aku menghormati keberanianmu untuk berubah."
Alesya tersenyum tipis, merasa sedikit lebih nyaman. "Bagaimana denganmu, James? Mengapa kau memilih menjalani hidup yang penuh kemewahan dan kekuasaan? Apa itu membuatmu bahagia?"
James terdiam, tatapannya berubah serius. "Kekuasaan dan uang memang memberikan banyak kebebasan, tapi kadang-kadang aku merasa terjebak dalam permainan yang tidak pernah benar-benar kuinginkan. Mungkin itulah sebabnya aku tertarik padamu, Alesya. Kau adalah pengingat bahwa ada lebih dari hidup ini selain kemewahan dan status."
Alesya merasa tersentuh oleh kejujuran James. "Kita semua punya masa lalu, James. Tapi yang penting adalah bagaimana kita melangkah ke depan."
Makanan mereka datang dan percakapan berubah menjadi lebih ringan. Mereka berbicara tentang minat dan hobi, tentang tempat-tempat yang ingin mereka kunjungi, dan hal-hal kecil yang membuat mereka tertawa. Alesya merasa lebih santai, menyadari bahwa di balik sikap arogan James, ada seseorang yang mungkin sama rapuh dan mencari makna seperti dirinya.
Setelah makan malam, James mengajak Alesya berjalan-jalan di sepanjang tepi sungai. Udara malam yang sejuk dan gemerlap lampu kota menciptakan suasana yang hampir magis. Mereka berjalan berdampingan, kadang-kadang berbicara, kadang-kadang hanya menikmati keheningan.
"Aku senang kita bertemu hari ini, Alesya," kata James tiba-tiba, suaranya rendah dan tulus. "Aku merasa seperti ada banyak hal yang bisa kita pelajari satu sama lain."
Alesya tersenyum, menatap James dengan mata yang bersinar. "Aku juga merasa begitu, James. Mungkin ini adalah awal dari sesuatu yang baik."
Mereka terus berjalan, meninggalkan jejak langkah di sepanjang trotoar tepi sungai, membuka lembaran baru yang mungkin akan membawa mereka ke arah yang belum pernah mereka bayangkan.
Setelah berjalan-jalan di sepanjang tepi sungai, Alesya dan James berpisah dengan janji untuk bertemu lagi. Hari-hari berlalu dengan cepat, dan mereka semakin sering menghabiskan waktu bersama. Hubungan mereka perlahan-lahan berubah dari ketertarikan awal menjadi sesuatu yang lebih dalam, meskipun masih ada banyak hal yang belum mereka ketahui satu sama lain.
Pada suatu sore, Alesya duduk di apartemennya, merenungkan semua perubahan yang terjadi dalam hidupnya. Tiba-tiba, ponselnya berdering. Nama James muncul di layar, membuat jantungnya berdebar sedikit lebih cepat.
"Halo, James," sapa Alesya dengan suara yang hangat.
"Alesya, apa kau sedang sibuk?" tanya James, suaranya terdengar ceria di seberang sana. "Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat."
Alesya tersenyum, merasa penasaran. "Tentu saja, ke mana kita akan pergi?"
"Biarkan ini menjadi kejutan. Aku akan menjemputmu dalam satu jam. Siap-siaplah!" jawab James sebelum menutup telepon.
Satu jam kemudian, James tiba di depan apartemen Alesya dengan mobil sportnya. Alesya keluar, mengenakan gaun kasual yang elegan, rambutnya tergerai bebas. James keluar dari mobil dan membukakan pintu untuknya, senyumnya penuh dengan antisipasi.
"Ke mana kita akan pergi?" tanya Alesya, tidak bisa menahan rasa penasarannya.
"Kau akan lihat," jawab James sambil menyalakan mesin dan melaju menuju tujuan mereka.
Setelah berkendara selama beberapa saat, mereka tiba di sebuah gedung tinggi yang megah. James memarkir mobil dan mengajak Alesya naik ke atas. Ternyata, tempat itu adalah sebuah restoran mewah di atap gedung dengan pemandangan kota yang menakjubkan.
"Aku pikir kau akan suka tempat ini," kata James saat mereka duduk di meja yang telah dipesan sebelumnya, di dekat jendela besar yang memperlihatkan panorama kota di bawah cahaya senja.
Alesya mengangguk, matanya berkilauan kagum. "Ini luar biasa, James. Terima kasih telah membawaku ke sini."
Mereka memesan makanan dan mulai menikmati makan malam sambil berbicara tentang banyak hal. Percakapan mereka mengalir dengan lancar, dari topik ringan seperti film favorit hingga hal-hal yang lebih dalam tentang impian dan harapan mereka.
"Aku ingin tahu lebih banyak tentangmu, Alesya," kata James di tengah-tengah makan malam, suaranya serius. "Aku merasa kita memiliki banyak kesamaan, meskipun dari luar kita tampak sangat berbeda."
Alesya mengangguk, menatap James dengan mata yang penuh rasa ingin tahu. "Aku juga ingin tahu lebih banyak tentangmu, James. Kadang-kadang kau tampak begitu sulit dijangkau, tapi aku bisa merasakan ada sesuatu yang lebih dalam di balik sikapmu."
James tersenyum tipis, mengangguk. "Mungkin kita bisa mulai dengan saling membuka diri lebih banyak. Aku ingin tahu tentang masa lalumu, Alesya, jika kau bersedia berbagi."
Alesya terdiam sejenak, menimbang kata-katanya. "Baiklah, aku akan bercerita," katanya akhirnya. "Tapi kau harus janji untuk tidak menghakimiku."
James mengangguk dengan serius. "Aku janji."
Alesya menarik napas dalam-dalam dan mulai bercerita tentang keluarganya yang hancur, namun tak mengatakan perihal masa lalu pribadinya.
James mendengarkan dengan seksama, tanpa menyela. Ketika Alesya selesai, dia meraih tangannya dan menggenggamnya dengan lembut. "Kau luar biasa kuat, Alesya. Aku sangat menghormatimu atas keberanianmu untuk berubah dan berjuang demi hidup yang lebih baik.Pasti orang tuamu menyesal telah egois hingga kamu harus kuat sendirian!"
Alesya tersenyum, merasa lega telah berbagi ceritanya namun tak semuanya. "Terima kasih, James. Aku juga ingin tahu lebih banyak tentangmu. Apa yang membuatmu menjadi seperti sekarang?"
James menarik napas, seolah mencari kata-kata yang tepat. "Keluargaku memiliki harapan yang sangat tinggi dan memintaku mencari pasangan dengan latar belakang bagus dan tanpa skandal apapun, dan itu membuatku merasa tersiksa.
Alesya menatap James dengan rasa empati yang mendalam. "Kau bisa berbicara dengan orang tuamu dengan kepala dingin, James!"
James mengangguk, matanya bersinar dengan harapan. "Ya, terimakasih atas nasihatmu Al."
Malam itu, di bawah langit kota yang penuh bintang, Alesya dan James merasa bahwa mereka telah menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar kebetulan. Mereka merasa telah menemukan harapan baru, dan mungkin, awal dari sebuah perjalanan bersama yang lebih berarti.