BAB 6
BAB 6
Sharon terpesona beberapa detik atas ucapan pria itu. Seketika jantung Sharon berdegup kencang lagi, ia tidak tahu akan berkomentar apa.
Sementara Marcel menatap wanita berparas menawan di hadapannya, dia memiliki postur tubuh proporsional sebagai seorang wanita, rambutnya hitam bergelombang, wajahnya bentuk v, matanya bening, alisnya terukir sempurna, bibirnya penuh sensual. Seketika Marcel mengulurkan tangannya kepada wanita itu.
“Saya Marcel, dan kamu siapa?”
Sharon menatap uluran tangan pria itu, “Saya Sharon Kennedy, panggil saja Shasha,” Sharon merasakan tangan hangat Marcel dipermukaan kulitnya. Sharon bergeming, ia nyaris tidak percaya karena ia benar-benar sudah berkkenalan dengan Marcel tanpa perlu repot-repot bersandiwara.
“Kamu mahasiswa di sini?” Tanya Marcel memperhatikan wanita di hadapannya.
“Tidak, maksud saya bukan mahasiswa.”
“Owh ya?”
“Tadi saya nemenin temen saya saja ke sini. Ada urusan, entah urusan sama siapa, katanya saya di suruh tunggu di sini sebentar.”
“I see, saya pikir kamu mahasiswa di sini.”
Sharon tertawa, “Emangnya saya masih pantas seperti mahasiswa.”
Marcel memperhatikan wanita bernama Sharon itu, dia mengenakan rok putih dan kemeja coklat, dia terlihat sangat elegan, kakinya sangat mulus,
“Masih dong, kamu terlihat sama dengan mahasiswa.”
“Oh God, padahal teman saya mengatakan kalau saya sudah terlihat tua.”
Marcel seketika tertawa, dia dapat mencium aroma Shasha perpaduan antara berry dan rose, sangat khas. Ia tahu kalau yang di kenakan Sharon parfume top tier, mengingatkannya pada Angel. Marcel lalu tersenyum.
“Di mana teman kamu?”
“Saya tidak tahu, katanya ke arah sana,” ucap Sharon menunjuk ke arah samping.
“Iya, sudah kerja?”
Sharon mengangguk, “Iya kerja. Kamu?”
“Saya tadi jadi speaker di kuliah umum tadi.”
“Pasti Dokter.”
Marcel tersenyum, “Itu tahu.”
“Kelihatan pinter sih,” ucap Sharon.
Marcel memperhatikan jemari Sharon di sana melingkar beberapa cincin di jemarinya, “Sudah menikah?”
“Belum, siapa juga yang mau nikah sama cewek jelek kayak saya.”
Marcel tertawa, “Coba jelaskan sama saya, cowok mana yang mengatakan kamu jelek,” ucap Marcel.
Sharon ikut tertawa, “Hemmmm.”
“Dokter Marcel!”
Sharon dan Marcel menoleh ke samping, Marcel tersenyum menatap dokter Jesper, “Hai, dokter Jesper,” sapa Marcel.
Sharon hanya diam memperhatikan pria-pria itu, ia sekarang tau yang menghampiri Marcel itu adalah temannya.
“Sama siapa?” Tanya dokter Sesper.
Marcel melirik Sharon, “Ini Sharon,” ucap Marcel memperkenalkan Jesper sama Sharon.
“Hai Sharon, salam kenal.”
“Salam kenal juga,” ucap Sharon kikuk.
“Kirain sama pacar tadi.”
Marcel tertawa, “Bukanlah, baru juga kenal.”
“Owh baru kenal, kenal di mana?”
“Di sini, tadi dia berdiri di sini, katanya nunggu temennya ada urusan di sana. Yaudah nggak sengaja kenalan. Iya kan, Sha?”
Sharon mengangguk, “Iya, bener.”
Jesper menatap Sharon dengan serius, “Udah nikah?”
“Saya?”
“Iya, kamu. Siapa lagi?”
“Belum.”
“Umur?”
“Tiga puluh tiga tahun.”
Jesper lalu menepuk bahu Marcel, “Mungkin kalian jodoh,” sambil tertawa.
Marcel seketika tertawa, “Ada-ada aja.”
“Yaudah, lanjutin obrolan kalian, saya ke sana. Jangan lupa minta nomor ponselnya,” bisik Jesper.
Marcel hanya tertawa dia melihat Jesper pergi meninggalkannya. Sementara Sharon hanya tersenyum, entah ia bingung dan speechless karena perkenalan tidak terduga ini. Ia merasa bahwa alam semesta mendukung dirinya untuk bersama Marcel.
“Jangan dengerin temen saya, dokter Jesper memang seperti itu.”
“Ah, enggak apa-apa kok.”
“Dokter juga?”
“Iya, tapi beliau lebih senior dari saya.”
“Kita ngobrolnya sambil ngopi aja ya.”
“Iya, boleh.”
“Ke Starbucks di depan mau? Sambil nungguin temen kamu?”
“Iya, boleh. Siang-siang gini enaknya ngchill sih,” ucap Sharon sambil terkekeh.
*****
*****
Sharon mengikuti langkah Marcel mereka berjalan menuju Starbuck yang berada di depan kampus. Tadi ketika di koridor ada mahasiswa yang menyapa Marcel. Sharon melirik ke belakang ia menatap Lauren dari kejauhan, wanita itu tersenyum dan mengacungkan jempol kepadanya. Sepertinya Lauren memang sengaja meletakan dirinya di samping ruang kuliah umum agar dia dan Marcel bisa berkenalan.
Sharon tersenyum penuh arti dan lalu melanjutkan langkahnya. Mereka masuk ke dalam, suasana di dalam coffee shop tampak lengang, ada beberapa orang mengisi table kosong. Angel dan Marcel menuju kasir.
“Selamat siang, ada yang bisa saya bantu.”
Marcel melirik Sharon berada di sampingnya. “Kamu mau pesan apa, Sha?”
“Samain aja sama kamu,” ucap Sharon.
“Yakin? Saya pesen Americano loh, Sha. Emang kamu mau?”
“Jangan deh, saya pesen cappuccino dan carrot walnut cake.”
Marcel menatap barista yang ada di hadapannya, “Saya pesan Americano, cappuccino, carrot walnut cake dan espresso brownies.”
“Baik ditunggu sebentar.”
Marcel dan Sharon melihat barista itu menyiapkan pesanan mereka, barista itu tidak sendiri melainkan bersama temannnya. Pelayanannya sangat cepat, barista itu mengambil cake yang ada di estalase, sambil prepare kopi pesanan mereka.
Tidak lama kemudian, akhirnya pesanan mereka selesai. Marcel membawa tray berisi pesanan mereka. Sharon dan Marcel memilih duduk di salah satu table kosong. Mereka duduk saling berhadapan, Sharon menatap Marcel, ia menyadari kalau Marcel itu sangat tampan.
“Kamu tinggal di mana?” Tanya Marcel memandang Sharon.
“Di Pondok Indah. Kalau kamu?”
“Di Pluit,” ucap Marcel.
“Pluit di mananya?”
“Pantai Mutiara.”
“Deket laut dong, ya.”
Marcel tertawa, “Kamu mau berenang di laut?”
“Mau aja, kalau ada yang jagain,” ucap Sharon terkekeh sambil menyesap kopinya.
“Nanti ada saya yang jagain.”
“Maunya,” Sharon tertawa geli.
“Serius?”
“Emang ini serius?”
“Bercanda, Sha.”
Marcel kembali tertawa, “Kamu udah kasih tau teman kamu, kalau kamu ada di sini?”
“Udah kok barusan,” ucap Sharon.
“Syukurlah kalau gitu, takutnya dia nyariin kamu.”
“Dia masih ada urusan sih katanya, tapi bentar lagi ke sini,” jelas Sharon mencoba menjelaskan.
Sharon mengambil cangkir berisi cappuccino lagi dia lalu menyesapnya secara perlahan, ia memandang Marcel yang masih memperhatikannya, rasanya tidak sia-sia ia ke sini karena apa yang ia inginkan menjadi kenyataan.
“Bagaimana rasanya menjadi dokter?” Tanya Sharon membuka topic obrolan berbeda, dia memakan cake nya secara perlahan sambil memperhatikan ekspresi Marcel.
“Yah, seperti biasa tidak sehijau yang terlihat di luar pagar.”
“Layaknya semua manusia dengan segala pekerjaan dan profesinya.”
“Bosen nggak?”
“Ya tentu saja, Sha. Rasa jenuh muncul setiap hari, karena rutinitas yang sama secara berulang-ulang. Tapi bisa teratasi, karena setiap hari bertemu dengan pasien yang berbeda. Saya menyempatkan waktu untuk berbicara kepada mereka, jadi mengurangi kebosanan saya.”
“Berapa lama pendidikan dokter spesialis seperti kamu?” Tanya Sharon lagi.
“Lumayan lama, saya menghabiskan waktu saya selama tiga belas tahun hanya untuk belajar kedokteran.”
Alis Sharon terangkat, “Selama itu?”
“Iya. Saya menempuh sarjana kedokteran selama 4 tahun, itu baru dapat gelar dokter tapi belum bisa praktik kedokteran. Lalu lanjut koasisten atau coas sekitar 2 tahun dan saat itu saya baru dapat gelar dokter, tapi belum bisa praktik sendiri. Saya harus naik level selanjutnya melalui intership selama 1 tahun, ini fase sudah menjadi dokter seutuhnya. Saya menjadi dokter umum, saya bisa benar-benar mandiri menentukan jalan karir saya, bisa bekerja di rumah sakit, klinik, atau yang lainnya.”