Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 5

BAB 5

“Kalaupun dia demek nanti, ya tinggalin aja. Enggak rugi kan!”

“Iya, sih bener kata lo. Menurut gue sih dia nggak jauh beda sama kakak-nya.”

“Lo pernah lihat kakak-nya?”

Sharon mengangguk, “Pernah namanya Christian, ganteng, charisma-nya kuat, tinggi, pokoknya keren abis. Tapi nggak tau sih Marcel-nya kayak apa, gue belum ketemu. Tapi kayaknya kurang lebih sama kayak si Christ itu. Biasa kalau di foto aja udah ganteng. Aslinya lebih ganteng lagi menurut gue.”

“Ya gas aja kalau gitu.”

“Kita coba aja dulu ya.”

“iya, sekali-kali lah jadi cewek gila.”

Sharon seketika tertawa, dan Lauren ikut tertawa, “Bener kata lo. Jodoh urusan belakang, yang penting usaha.”

“Bener banget.”

“Kalau gue jadi Marcel, bakalan terpesona kali liat lo.”

“Masa sih?” Sharon tertawa geli,

“Ye, siapa tau kan.”

“Lo tidur sini, atau tidur kamar lo?”

“Tidur kamar gue lah,” Lauren beranjak dari tidurnya, dia menatap Sharon yang masih di posisi yang sama. Ia melihat jam digital di ponselnya menunjukkan pukul 22.10 menit.

“Gue matiin lampu ya, Sha.”

“Iya.”

Lauren melangkah menuju nakas, dia menghidupkan lampu tidur dan lalu mematikan lampu utama. Seketika suasana kamar menjadi remang.

“Good night, Sha,” ucap Lauren, dia lalu keluar dari kamar Sharon dan lalu menutupnya dengan rapat. Ia berharap Sharon cepat mendapatkan jodohnya, semoga usaha kali ini tidak sia-sia.

****

****

Hari yang dinantikan tiba, jam sepuluh siang Sharon dan Lauren sudah bersiap-siap untuk pergi ke Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Sharon mengenakan rok span berwarna cream dan kemeja berwarna coklat muda. Rambut panjangnya yang bergelombang dan sehat itu, dia biarkan terurai. Di berdiri depan pintu utama, ia menunggu Lauren mengeluarkan mobil di gerasi.

Sharon menatap mobil bergerak ke arahnya, ia tahu kalau itu adalah Lauren. Ia memandang Lauren di kemudi setir. Sharon menarik napas, ia tidak menyangka kalau ia akan melakukan hal gila seperti ini, mengejar seorang dokter bernama Marcel di UI, karena saat ini dia menjadi speaker untuk anak-anak kedokteran.

Sharon masuk ke dalam mobil tidak lupa ia memasang sabuk pengaman. Mobil meninggalkan area rumah lalu meneruskan perjalanan mereka menuju fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Lauren focus dengan setir mobilnya, mobil membelah jalan bersama mobil lainnya.

Beberapa menit berlalu akhirnya mereka tiba di fakultas kedokteran Universitas Indonesia yang terletak di jalan Selemba, Jakarta Pusat. Lauren menghentikan mobilnya di parkiran, suasana kampus tampak lengang karena memang tidak ada aktivitas belajar mengajar hari Minggu, biasa kebanyakan weekday, tapi ada beberapa mahasiswa yang berseliweran di sana.

Sharon menatap Lauren, “Penampilan kita kayak mahasiswa nggak sih?”

Lauren menggelengkan kepala, “Cocoknya jadi dosen sih bukan mahasiswa Sha. Kita udah ketuaan.”

“Masa sih udahh tua?”

“Ye nggak percaya banget, udah tua nih kita udah kepala tiga, Sha. Jangan ngaku-ngaku mahasiswa, deh.”

Bibir Sharon maju satu senti, sebenernya ia tidak terima dikatakan tua, ia sudah perwatan top tier di kelasnya di kelinik kecantikan ternama, malah dikatain udah tua. Ya memang kenyataan seperti itu, umur tiga puluh tiga tahun tidak bisa dikatakan masih muda.

“Kita ke mana nih?” Tanya Sharon mengikuti Lauren.

“Udah ikut aja.”

“Emang kuliah umumnya udah di mulai?” Tanya Sharon.

“Iya, udah dari dua jam yang lalu.”

“Yang bener aja!”

“Iya emang bener Sha. Kita nggak jadi ikut kuliah umum, kita nggak ada kartu anggota mahasiswa, yang ikut itu wajib mahasiswa kedokteran.”

“Owh gitu.”

“Kirain kita ikut gabung, kan gue udah nyiapin pertanyaan cari perhatian sama si Marcel.”

“Ya nggaklah Sha, kita duduk di dekat ruangan seminar aja. Kalau kelas udah berakhir ya kita kenalan sama si Marcel,” ucap Lauren menuju ruangan di mana para kelas umum di buka.

Lauren sebelum ke sini, ia memang sudah mengobservasi dan mencari tahu di mana lokasi itu dilaksanakan. Ia tidak ingin drama sang majikan gagal untuk berkenalan dengan dokter Marcel.

Hingga akhirnya Lauren menghentikan langkahnya ke salah satu ruang tunggu, di dekat ruang kuliah umum.

“Lo tunggu sini ya, gue ke kantin dulu beli kopi sama roti.”

“Lama nggak?”

“Engga lama, tenang aja. Takut banget ditinggal.”

“Soalnya sepi nih, nggak ada orang.”

“Di sana ada security, tukang parkir, kalau ada apa-apa teriak aja, nanti kelas umum juga bakalan bubar kalau lo teriak.”

“Ah lo!”

“Di mana-mana kampus tuh bawaanya serem ya, kayak horror gitu.”

“Kalau nggak serem bukan kampus namanya, Sha. Gue cabut dulu ya.”

Sharon menatap Lauren pergi meninggalkannya, ia memilih duduk di kursi sambil menatap bangunan kampur. Sharon mengambil ponselnya di dalam tas, ia menarik napas sambil memperhatikan ruangan yang dominan berwarna putih.

Sharon melihat sebuah lukisan yang tergantung di dinding, ia beranjak dari duduknya. Ia melangkah mendekat dan mendongkan wajahnya. Ia memperhatikan “lukisan Memanah karya Henk Ngantung” Lukisan dengan medium triplek dengan gambar laki-laki yang sedang memanah digantung di pigura dalam kondisi yang sangat baik. Seketika suasana menjadi riuh, Sharon menoleh menatap mahasiswa yang baru keluar dari sebuah ruangan.

Sharon yang melihat itu hanya mematung, ia yakin kalau kelas umum sudah selesai dan Lauren belum tiba juga. Sharon hanya bergeming, menatap hiruk pikik mahasiswa yang keluar dari yang awalnya sepi, lalu berubah menjadi penuh keramaian, suara suara gelak tawa dan diskusi, obrolan menjadi satu. Beberapa menit berlalu dan suasana menjadi lengang, hanya ada beberapa mahasiswa saya yang berdiri di koridor.

Sharon tahu kalau ia akan gagal berkenalan dokter Marcel kali ini, karena kelas umum sudah bubar. Sharon menghela napas, dia kembali menatap lukisan.

“Suka lukisan?”

Sharon seketika menoleh ke samping, ia nyaris tidak percaya bahwa target utamanya sudah ada di depan mata justru kini menyapanya terlebih dahulu. Jantung Sharon hampir mau copot karena ia tidak tahu harus bertindak apa. Mereka saling berpandangan satu sama lain. Sharon menelan ludah, sambil mengobservasi wajah pria itu. Dia memiliki rahang yang tegas, hidung mancung, berkulit kuning langsat yang sehat, tubuhnya tinggi proporsional.

Jantung Sharon maraton hebat, dia menenangkan debaran jantungnya, “Lumayan,” jawab Sharon lalu ia berikan senyum terbaiknya kepada pria dihadapannya itu.

“Saya juga suka lukisan. Apa yang buat kamu suka?” Tanyanya, karena tidak semua orang mengerti tentang lukisan.

“Sebenarnya saya tipekal orang yang pemilih dalam melihat lukisan. Tidak sedikit saya bilang kalau lukisan itu membosankan. Tapi tidak untuk lukisan absrtak, contemporer, pasti akan saya datangi kalau ada di gallery seni.”

“Biasanya saya suka dalam komposisi warnanya, untuk style, saya lebih tertarik melihat lukisan jika memang style di interior yang saya perlukan dalam item pendukung, supaya terlihat wah. Saya suka interior classic modern dan contemporer, seperi classic style dan French style,” jelas Sharon.

“Kalau kamu apa?” Sharon balik bertanya, ia menatap pria yang tengah memperhatikannya itu.

“Saya suka semua lukisan, selama lukisan itu tampak ramai dan penuh seperti layaknya lukisan dimanapun saya akan tertarik. Seni seperti lukisan ini tidak harus dipahami, cukup dinikmati saja. Jika ada orang bertanya seni nya di mana? Saya selalu jawab dia bisa membangkitkan emosi pada pengamatnya.”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel