BAB 7
BAB 7
“Dokter umum menurut saya masih belum mapan, akhirnya saya melanjutkan pendidikan saya menjadi dokter spesialis selama 4 tahun karena saya bedah. Kalau non bedah biasa minor tiga tahun. Sampai jadi dokter spesialis ahli bedah.”
“Menjadi dokter spesialis, saya memiliki keahlian. Saya pun merasa puas sampai di titik ini karena pendidikan spesialis itu sangat berat. Sampai fase ini mulai ada kavling-kavling, misalnya saya di rumah sakit A, saya menjadi juru kunci. Saya ingin menjadi juru kunci itu.”
“Saya nekat mengambil subspesialis selama 3 tahun, saya belajar alat-alat yang lebih rumit. Saat ini saya bekerja di rumah sakit Corolus, Mitra Keluarga dan RSCM.”
“Kira-kira 14 tahun saya belajar terus menerus tanpa henti, dan menjadi dokterpun saya masih harus belajar.”
“Wow, amazing sih. Saya yang kuliah empat tahun saja, saya sudah mumet,” ucap Sharon.
Sharon memakan cakenya lagi, dan Marcel memperhatikan Sharon. Mereka saling berpandangan satu sama lain. Marcel menatap mata bening itu, mengingatkannya pada Angel. Sial, ia masih ingat sama Angel, padahal Angel sudah menikah dengan Lorenzo. Padahal dulu hubungannya dengan Angel belum terlalu lama, namun masih tetap saja teringat ingat wajah wanita itu.
“Kenapa kamu belum punya pacar? Padahal kamu sudah sangat mapan menurut saya, umur kamu sudah nggak muda lagi kan? Berapa sih umur kamu?” Tanya Sharon penasaran.
“Tiga puluh enam. Kamu sendiri juga belum punya kan.”
Sharon tertawa, “Jawab dulu pertanyaan saya Marcel.”
Marcel menarik napas, ia memandang Sharon dengan serius, “Sebenarnya ini pertanyaan berat buat saya,” ucap Marcel diselingi tawa.
“Bahkan teman-teman saya sering bertanya kepada saya, kamu nggak pengen nikah Cel? Jujur dalam hati saya ya ingin. Tetapi belum ada pandangan sama siapa? Saya masih trauma karena dulu pernah punya pacar tapi kandas begitu saja karena laki-laki lain. Saya juga ingin pedekate dengan wanita yang tipe saya, namun dia memilih pria lain.”
“Sekarang saya menikmati hidup saja sebagai pria lajang, ya memang tidak muda lagi, itu juga membuat saya tidak tertarik lagi untuk ngebet cari jodoh dan menikah. Yaudah jalanin aja kehidupan ini.”
“Mereka yang duluan nikah bukanlah pemenangnya. Bagaimana jika yang sudah menikah lalu cerai di atas 30, 40, 50 tahun. Bagaimana jika menikah ternyata ada perselingkuhan di situ?”
“Saya mengakui kalau saya termasuk telat dalam menikah. Sepupu-sepupu saya, teman saya, saudara saya, teman seusia saya sudah duluan menikah, tapi ini tidak melulu bahagia. Banyak malah menjadikan saya teman curhat masalah rumah tangga mereka. Ada yang ribut dengan pasangan, masalah ekonomi, keluarga, mertua yang suka perotes setiap tindakkan menantunya. Masalah mereka membuat saya berpikir ternyata menikah tidak semenarik itu, ya.”
“Sejujurnya saya tidak begitu terobsesi dengan namanya pernikahan dan memiliki anak. Tapi setidaknya saya ingin punya teman hidup dan ngobrol saat saya tua nanti. Dan siapa lagi yang mau bersedia jadi teman hidup dan ngobrol hingga akhir hayat kalau bukan pasangan saya.”
“Bagaimana dengan kamu? Kenapa belum menikah?” Marcel kembali bertanya kepada Sharon.
Sharon mengigit bibir bawah, “Di umur kepala tiga gini perasaan saya campur aduk, ada khawatir juga, bingung sekali, tujuh kali pacaran dan tujuh kali juga kandas. Mungkin saya memang kurang beruntung dalam percintaan, seperti ada pola berulang dalam kisah percintaan saya.”
“Saya saat ini menikmati hidup saya, so enjoy live while I can. Saya bisa focus dengan karir saya, mulai rajin traveling mandiri, menyibukkan passion hobi saya yang buat roti, karena memang saya senang baker, karena paling gampang di cari pas kalau lapar.”
“Menurut itu keputusan yang sangat penting buat saya, jadi tidak mungkin asal-asalan dalam mengambil keputusan. Kadang saya merasa bingung apa saja kira-kira yang harus saya lakukan setelah menikah? Apakah saya akan betah menghabiskan sisa waktu hidup saya dengan pasangan saya nantinya? Apa benar dia pilihan saya.”
“Saya memang santai untuk urusan menikah dan sama seperti kamu, bukan tipe yang akan sibuk bergalau ria karena di usia ini belum juga menikah.”
“Saat ini saya emang lagi nggak pengen dekat dengan siapa-siapa, lagi focus dengan kehidupan saya, untuk menikah dalam waktu dekat juga tidak ada kayaknya, kecuali sudah ketemu jodohnya kali ya.”
Marcel menyungging senyum, karena jawaban Sharon itu hampir sama dengan jawabannya. Cuma bedanya penjelasan saja, ia menatap wajah cantik itu.
“Kita pernah ketemu nggak sih sebelumnya?”
Sharon tertawa, “Enggak pernah lah.”
“Masa sih? Kayaknya wajah kamu pasaran deh, jadi kayaknya hampir-hampir sama,” Marcel terkekeh.
“Enak aja.”
Marcel tertawa geli, “Bercanda Sasha,” ucap Marcel.
“Iya, nggak apa-apa Marcel.”
“Kamu kerja di perusahaan mana?”
Sharon berpikir beberapa detik, “Perusahaan keluarga sih.”
Alis Marcel terangkat, “Owh ya? Punya perusahaan sendiri?”
Sharon mengangguk, “Iya. Tapi nggak seberapa sih,” ucap Sharon sambil tersenyum.
Marcel melirik tas yang di atas meja, ia menatap tas itu dengan seksama. Tas yang di atas meja itu berbentuk mini namun ia tahu kalau itu high end brand. Ia yakin kalau Sharon bukan wanita sembarangan, Marcel meletakan tangannya di atas meja dengan siku tertahan di meja. Ia menyerumput kopi sambil memperhatikan Sharon.
“Teman kamu sudah datang?”
“Belum tau nih, belum di bales. Enggak enak jadinya sama kamu,” ucap Sharon pura-pura membuka ponselnya.
“Enggak enaknya di mana?”
“Enggak enaknya, kamu jadi lama kan pulangnya, gara-gara nemenin saya.”
Marcel tertawa, “Saya nggak apa-apa Sha. Lagian ini juga hari libur saya, saya di rumah nggak ngapa-ngapain.”
“Sama dong,” ucap Sharon dia memakan cakenya lagi.
“Temen kamu kalau masih lama, kamu pulang sama saya aja. Nanti saya anter.”
“Beneran kamu mau anter?”
“Iya beneran.”
“Kalau sayanya males pulang gimana? Nanggung banget masih siang gini mau pulang.”
“Emang kamu mau ke mana?”
“Ke mana ya, enaknya.”
Marcel memandang Sharon dengan serius, “Mau nonton bioskop?”
“Pengennya sih ke pantai gitu di PIK, kayaknya seru.”
“Siang Sha, panas banget di pantai. Kalau sorean dikit nggak apa-apa sih ke sana. Kalau kamu mau lihat laut ya ke rumah saya aja, di belakangnya ada dermaga, duduk duduk di gazebo sambil minum beer.”
“Emang boleh?”
Marcel tertawa, “Kamu emangnya nggak takut saya bawa ke rumah saya?”
“Emangnya kamu mau apain saya sampe saya takut?”
“Kita baru kenal loh Sha, kalau misalnya saya orang jahat gimana?”
“Dokter spesialis nggak ada yang jahat, beliau mengayomi masyarakat,” ucap Sharon.
Marcel yang mendengar itu lalu tertawa, “Yakin nih?”
“Kamu yakin nggak?”
“Kalau saya sih ayok aja, kalaupun terjadi buka-bukaan baju, sama-sama enak kan.”
“Marcel!”
Marcel lalu tertawa geli, dia beranjak dari duduknya, namun Sharon masih tertahan di kursi, “Jadi nggak?”
Sharon menatap Marcel, ia menelan ludah, “Oke.”
*****