Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 6

HAPPY READING

***

“Permisi pak,” ucap Luna, ia berdiri di depan ruangan pak Wiga.

“Oh ya, masuk,” ucap Wiga.

Ia memperhatikan ruang kerja pak Wiga masih sama seperti teraKhir yang ia lihat. Ruangannya tampak terang, bernuansa putih dan abu-abu, di dinding ada terdapat lukisan abstrak, dan rak buku tersusun rapi.

Luna duduk di kursi kosong tepat di hadapan pak Wiga, ia menatap ke depan, sambil memandang pria berwajah bak dewa Yunani itu. Ia memperhatikan pria itu mentapnya, ia ingin tahu bagaimana komentar pria itu tentang penampilannya hari ini. Namun sepertinya bos nya itu tidak peduli,

“Mana berkas yang harus saya tanda tangani?” Tanya Wiga, ia berusaha setenang mungkin menghadapi Luna, entahlah ia merasa kalau dia begitu sexy hari ini. Padahal dia hanya mengenakan dress hijau emerald. Rambut itu biasa lurus, kini bergelombang, matanya yang bening tertutup dengan softlens berwarna coklat terang.

“Ini pak,” ucap Luna, ia menyerahkan maps itu kepada pak Wiga.

Luna melihat pria itu menandatangani berkas-berkasnya. Perdetik ini dia, tidak mengomentari penampilannya. Padahal ia berharap pria itu memuji penampilannya, walau mengatakan hal sederhana misalnya ‘Luna pakaiannya kamu bagus’. Namun selama penandatanganan, pujian itu tidak kunjung datang datang dari mulutnya.

“Ini sudah saya tanda tangani,” ucap Wiga memasukan berkas itu kembali ke dalam map.

Wiga menatap Luna, mungkin ia terkesan narsis jika ia memuji penampilan wanita itu. Well, let’s just be clear, ia tidak munafik bahwa di sini Luna memang sangat cantik. Ia tidak pernah mengatakan kalau cewek cantik di mata cowok itu dari inner beauty saja dan attitude were always more than enough! Ah, total bullshit! We have standards of beauty, tho! So emberace that! Setidaknyanya bagi dirinya ada beberapa hl yang mempertimbangkan membuat wanita cantik di mata dirinya.

Ia harus mengakui kalau mantan dirinya itu cewek-cewek pintar, berprestasi, punya goal and determined. Tapi jujur terkadang cewek pintar versi dirinya misunderstood, karena terlalu pintar hingga ada rasa sisi yang tidak cocok, kerap kejadian, hubungan putus nyambung karena terlalu banyak perdebatan. Hubungan bukan menjadi proses healing justru at the end. Ia akhirnya menyerah diri, I just could not help anymore, this killed me.

Jelas, fisik itu nomor satu baginya, walau dia tidak terlalu pintar, tapi cukup cerdas dan nyambung di ajak bicara itu sudah cukup. Hanya dengan komunikatif, enak diajak bicara, open minded, tipe seperti ini sudah ideal untuknya. Kembali lagi ia dengan Luna, wanita itu baru beberapa hari kerja dengannya.

“Kamu sudah prepare malam ini ke Bali?” Tanya Wiga.

“Sudah pak.”

“Nanti jam dua kita pulang, karena jika pulang jam kerja, kita akan telat menuju bandara.”

“Baik pak.”

Luna memperhatikan pak Wiga, ia sedikit kecewa karena pria itu tidak memuji penampilannya, ia beranjak dari duduknya, dan pria itu tidak memandangnya justru membuka leptopnya. Oh Tuhan, kenapa dia tidak komentar apa-apa tentang penampilannya, apakah ini lebih baik atau tidak.

“Maaf pak,” ucap Luna, sebelum meninggalkan ruangan pak Wiga.

Wiga mendongakan wajahanya menatap Luna, “Iya. Ada apa?”

“Bagaimana dengan penampilan saya? Apa bapak tidak perotes seperti kemarin?” Tanya Luna.

Wiga memperhatikan Luna, ia tidak menyangka kalau wanita itu ingin ia berkomentar soal penampilannya.

“Sudah lebih baik dari kemarin,” ucap Wiga.

“Terima kasih, pak.”

Luna lalu keluar dari ruangan pak Wiga. Padahal ia sudah melakukan hal yang terbaik versi dirinya. Namun ia mengakui kecantikan itu tergantung siapa yang melihatnya. Setidaknya hari ini lebih better dari kemarin. Walau komentar pak Wiga tidak membuatnya terlalu senang. Ia harus berpenampilan apa lagi untuk buat dia senang. Apa ia harus mengenakan bikini, agar bisa menunjukan aset-asetnya. Rasanya itu mustahil juga, buat pak Wiga tertarik.

Ia duduk di ruang kerjanya lagi, hari ini ia mengosongkan semua meeting pak Wiga. Jadi hari ini mereka di kantor saja. Luna menarik nafas beberapa detik, ia menyandarkan punggungnya di kursi, mengistirahatkan punggungnya. Ia membuka email perusahaan, membalas email-email yang masuk. Ia juga mengarsip berkas-berkas yang ada di laci sesuai dengan tempatnya.

Suara intercomnya berdering, ia mengangkat panggilan itu,

“Iya, selamat siang, dengan Astra Grup, ada yang bisa kami bantu?”

“Lun, ini gue Manda. Lo udah makan belum?” Tanya Manda.

“Belum, kenapa?”

“Gue bawain sushi buat lo.”

“Serius. Beli di mana?”

“Kebetulan tadi ketemu klien, eh kliennya ngasih gue sushi. Yaudah, ini ada dua, buat gue satu, buat lo satu. Untuk lo makan di kantor. Lo keluar ruangan deh, gue mau ke ruangan lo,” ucap Manda.

“Oke, gue keluar nih.”

Luna beranjak dari kursinya setelah menutup panggilan Manda, ia melangkahkan kakinya keluar dari ruangan. Ia melirik pintu ruangan pak Wiga masih tertutup, ia yakin pria itu masih di jalan. Ia tidak perlu meminta ijin jika hanya keluar sebentar.

Ia keluar dari office, ia melangkah menuju koridor, ia menatap Manda di sana. Wanita itu tersenyum sumeringah melihat kehadirannya. Dia memperlihatkan paperbag bertulisan Sushi tei,

“Sumpah demi apa! Lo cantik parah hari ini!” ucap Manda memandang penampilan sahabatnya.

“Seriusan?”

“Iya serius. Gue aja pangling lihat lo,” Manda nyaris memekik.

“Pak Wiga komentar apa sama penampilan lo?” Tanya Manda penasaran.

“Enggak ada komentar apa-apa.”

“Masa sih! Lo kece banget hari ini.”

“Percuma, gue udah capek-capek all out kayak gini, nggak dilirik juga. Bahkan nih, gue udah potong urat malu gue di hadapan pak Wiga. Gue sampe bilang, ‘pak penampilan saya hari ini gimana?”

“Lo tau dia bilang apa sama gue?”

“Apa?”

“Dia cuma bilang, ‘lebih baik dari kemarin’ malesin banget kan.”

“Hemmm, seleranya bukan lo kali. Jadi lo mau tampil stand out dia memang nggak bakalan peduli.”

“Kayaknya sih, nggak level lah, ngelirik sekretaris kayak gue. Apalah gue, yang remahan gini,” Luna tertawa geli.

“BTW, thank’s ya sushi-nya.”

“Iya. Lo jadi ke Bali hari ini?”

“Jadi lah. Jam dua gue udah balik.”

“Oke. Salam ya buat pak Wiga, semoga lo berdua di Bali dapat chemistrynya. Lumayan kan jalan-jalan sambil dinas anu-anu.”

“Mimpi deh kayak gitu, tau sendiri pak Wiga gimana. Dingin abis, kayak freezer, kalau nyentuh dia, bakalan jadi beku endingnya,” Luna terkekeh.

“Yaudah, gue ke office dulu ya. Takut pak Wiga nyariin,” ucap Luna, ia melangkahkan kakinya masuk ke ruangannya lagi, dan sementara Manda kembali ke kubikelnya.

Luna masuk ke dalam office, ia membuka hendel pintu. Langkahnya terhenti memandang pak Wiga sudah berada di depan ruangannya. Ia menelan ludah, sejak kapan pria itu berdiri di sana. Sedetik kemudian mereka saling menatap satu sama lain.

“Kamu dari mana?” Tanya Wiga, memandang sekretarisnya yang baru masuk.

“Dari depan pak, ambil ini dari teman saya,” ucap Luna memperlihatkan paperbag itu kepada Wiga.

Menarik nafas, “Kalau kamu keluar atau ke mana, kasih tau saya. Soalnya saya bingung nyariin kamu,” ucap Wiga.

“Maaf pak. Bapak nyariin saya?”

“Iya.”

Luna melirik jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 11.00, ia melangkah mendekati pak Wiga, ia harus kembali ke ruangannya.

“Bapak ada apa nyari saya?” Tanya Luna bingung, padahal tadi berjam-jam di ruangan, bos nya itu tidak menyarinya, sedangkan ketika ia keluar hanya beberapa menit, pria itu malah mencarinya.

“Kamu temani saya brunch.”

“Di mana pak?”

“Di tempat kemarin saja.”

“Baik pak. Saya simpan ini dulu di ruangan saya,”

Luna masuk ke ruangannya kembali, ia meletakan paperbag itu di meja. Ia membawa ponselnya dan lalu keluar dari ruangannya. Mereka lalu pergi meninggalkan ruangan office, mereka berjalan berdampingan, ia melirik pak Wiga seperti biasa dia dengan gaya coolnya. Wibawanya tidak bisa terbantahkan.

“Luna.”

“Iya, pak.”

“Saya suka penampilan kamu hari ini.”

Luna tidak bisa menahan rasa bahagianya mendengar ucapan itu langsung dari bibir pak Wiga. Ingin rasanya ia melompat-lompat karena terharu, rasanya sangat luar biasa. Harusnya ia merecord pembicaraan itu, agar menjadi pembicaraan hangat bersama Manda, karena orang nomor satu di perusahaan ini sudah memujinya.

“Terima kasih pak, saya akan berpenampilan terbaik di hadapan bapak.”

***

Hari ini tepat jam 16.20 Luna sudah berada di lobby apartemen, menunggu jemputan, ia duduk di sofa. Ia menatap penampilannya di cermin di lobby, ia mengenakan blezer dan celana jogger, tidak lupa sepatu sneaker putih menambah kesan kasual. Rambut panjangnya ia ikat ke belakang. Ia dengan sabar menunggu jemputan yang tidak kunjung datang.

Beberapa menit kemudian ia menatap sebuah mobil alphrad berwarna hitam berhenti di depan lobby. Luna beranjak dari duduknya, ia tahu bahwa itu adalah mobil kantor. Ia menyeret kopernya mendekati mobil. Ia memandang driver keluar, dan tersenyum kepadanya.

“Selamat sore ibu Luna.”

“Selamat sore juga pak.”

“Kopernya saya taruh bagasi.”

“Baik pak.”

Luna memandang driver membuka pintu samping. Di dalam mobil ternyata ada pak Wiga. Beberapa detik kemudian pandangan mereka bertemu. Ia memperhatikan penampilan pak Wiga, dia mengenakan jaket kulit dan celana jins. Penampilan kasulanya justru membuatnya jauh lebih keren dari pada pakaian kakunya di kantor. Ia melangkah masuk ke dalam. Lalu mendaratkan pantatnya di kursi, ia duduk di samping pak Wiga.

Dari jarak dekat seperti ini, ia dapat mencum aroma parfum perpaduan aroma woody dan musk, kesan modern yang mewah. Ia menutup hendel pintu, ia mengistirahatkan punggungnya di kursi. Semenit kemudian driver meninggalkan area tower apartemen. Mereka datang lebih awal dari yang di jadwalkan karena tau sendiri kalau jam pulang kantor macetnya tidak terkendali.

Sepanjang perjalanan menuju bandara mereka hanya diam. Mereka terjebak macet satu jam lamanya, ke bandara Soekarno Hatta memakan waktu 2 jam lamanya, padahal biasa dengan jarak tempuh 45 menit. Setibanya di bandara tepat pukul 18.20 menit.

Luna dan Wiga masuk ke lounge sebelum melakukan penerbangan. Mereka memilih mengisi perut dengan makanan yang ada di lounge. Luna mengambil nasi lengkap, karena macet tadi menguras tenaganya, begitu juga dengan pak Wiga. Setelah itu mereka duduk di salah satu table kosong.

Luna mengedarkan pandangannya kesegala penjuru lounge, ada banyak turis mengisi kursi kosong. Ia meneguk air mineralnya.

“Kamu kemarin booking hotel di mana?” Tanya Wiga memandang Luna.

“Di Hotel Sheraton pak. Nanti setibanya bandara, kita dijemput oleh pihak hotel,” ucap Luna, ia memasukan makannnya ke dalam mulut.

Wiga memandang Luna, selama bekerja beberapa hari ini, Luna menjalankan pekerjaanya dengan sangat baik, dia sangat cekatan,

“Sahabat saya baru menikah. Menurut kamu nasihat seperti apa untuk pasangan yang baru menikah?”

“Teman bapak mana yang sudah menikah?” Tanya Luna, ia inginn tahu siapa sahabat-sahabat bos nya ini. Siapa tahu, ia dikenalkan salah satu sahabatnya.

“Maikel dan Rara.”

“Sahabat bapak yang Maikel?”

“Iya.”

“Maikel itu bisnisnya apa pak?”

“Dia pemilik summercon.”

Luna mengangguk paham, ia pernah mendengar istilah orang kaya berteman dan bergaul dengan orang kaya. Setelah ia sadari bahwa memang seperti itulah adanya. Ia pernah diajak salah satu klienya menaiki kabin kelas bisnis dari Jakarta ke Kuala Lumpur, di salah satu maskapai asing. Karena itu penerbangan kelas bisnis pertamanya.

Saat chek in memasuki ruang tunggu yang mewah, khusus penumpang kelas bisnis dan satu. Ruang tunggu tidak terlalu banyak penumpang, tidak ada yang berbicara keras-keras. Banyak dari mereka sibuk dengan leptop, membaca buku, tidak seperti orang yang menghabiskan waktu berisik untuk bergosip. Kabin kelas bisnis tidak banyak penumpang, tampak senyap, tidak berisik seperti kelas ekonomi yang riuh dengan penumpang. Ia merasakan prilaku-prilaku khusus yang hampir tidak mengeluarkan energy sama sekali, hanya perlu duduk manis saja.

Kesimpulannya yang ia dapat dari pengalaman tersebut, kebanyakan orang kaya mengurangi pergaulan dengan orang miskin, selain mempengaruhi negative seperti suka mengeluh dan ngomongin orang lain. This is true… low class people talk about people, average people talk about events, brilliant people talk about idea.

I know, orang kecil seperti dirinya dan Manda biasa membahas tentang diskon online shop di shopee karena membeli skin care dengan harga murah. Sedangkan sekelas pak Wiga tidak mengerti akan hal itu, dia pasti membahas tentang modifikasi mobil, dan mereka mikir itu how to have fun, dan orang miskin tidak tahu bagaimana bayarnya. It’s hard get in kalau tidak open minded, pasti mikirnya percuma habis-habisin uang untuk hal itu. Mereka juga kebanyakan mikir dan bertukar ide untuk mengembangkan bisnis masing-masing.

Luna menatap pak Wiga, “Skandal video kemarin?” Ucap Luna, ia tahu tentang kabar berita yang berhembus tentang pernikahan pemiliki Summarcon dan selebrity papan atas. Video itu berhembus kecang, namun kabarnya hilang begitu saja setelah mereka menikah. Ia tidak tahu siapa yang merekam, namun ia yakin diantara mereka berdualah yang mengambil video, itu dalam keadaan sadar.

“Menurut kamu bagaimana?” Tanya Wiga, ia ingin tahu pandangan Luna seperti apa, ia meraih cangkir berisi teh hangatnya.

“Jika ikrar janji sudah diucapkan, mereka berdua tidak ada jalan untuk kembali. Detik itu juga mereka akan menyusun kepingan puzzle kehidupan. Bisa jadi mereka salah menempatkan potongan itu, walau salah tetap bisa diperbaiki dan melanjutkan. Kalau tidak bisa, akan berantakan.”

“Begini, ketika menikah, pasti menurunkan ego masing-masing, pernikahan bukan permainanan yang isinya siapa menang dan siapa salah. Jika ingin memiliki anak, itu berarti harus memiliki tanggung jawab yang besar.”

“Menurut saya menikah itu, yang penting kesabaran, tidak ada batas hingga ajal menjemput. Kalaupun ada batas, maka ujungnya perceraian.”

“Kalau kita bahas ini, sama juga berbicara tentang komitmen. Terlalu klasik jika menikah karena cinta. Cinta itu relative, perasaan berdebar hanya bertahan beberapa bulan atau satu tahun paling lama. Suka tidak suka, mau tidak mau, isi pernikahan itu komitmen. Jangan sampai salah pilih pasangan.”

Wiga menyungging senyum, ia menyudahi makannya, ia setuju dengan pendapat Luna. Semua yang dia ucapkan terdengar realistis.

“Kalau untuk kamu sendiri bagaimana?” Tanya Wiga.

“Saya tidak punya ambisi untuk itu. Menikah itu butuh kerja keras dan tidak selalu tentang gambar bahagia di feed insta. Intinya jangan buru-buru, karena there is no happy ending,” ucap Luna.

“Saya suka kata-kata kamu terakhir. Tidak ada yang berkahir bahagia.”

“Bagaimana menurut bapak?” Tanya Luna, ia menatap pria tampan itu.

“Saya juga tidak berekspetasi lebih tentang pernikahan, benar kata kamu there is no happy ending,” ucap Wiga, ia melirik jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 19.15 menit. Sebentar lagi mereka akan flight.

“Kamu sudah selesai makan?”

“Iya, sudah.”

“Kita sudah di panggil untuk berangkat.”

“Baik pak.”

****

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel