Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 5

HAPPY READING

***

‘Demi apa! Pak Wiga mengatarnya pulang!’ Ucap Luna dalam hati.

Sepanjang perjalanan menuju apartemennya mereka mendengarkan lagu dari audio. Ia juga bingung bagaimana memulai percakapan berada di dalam mobil, karena ini merupakan pertama kali. Ia melirik pak Wiga sedang memanuver mobil. Sungguh ketampanannya bertambah, karena kemejanya sedikit terangkat hingga siku, jam tangan mahalnya terlihat jelas di sana. Ia yakin jam tangan yang dikenakan itu dihargai dengan fantastis.

Setelah ia observasi, pak Wiga memiliki perubahan mood yang cukup cepat. Tadi pagi dia sempat berbicara sinis tentang penampilannya. Sekarang dia berbaik hati mengantarnya ke apartemen. Jika di lakukan seperti ini terus menerus maka dia akan baper. Sekelas pak Wiga, mengantar seorang sekretaris itu sesuatu kehormatan besar baginya. Kapan lagi kan seorang bos rela mengantar karyawan seperti dirinya, setidaknya ini jadi bahan gibahan bersama Wanda bahwa ia pernah diantar pak Wiga dengan mobil mahalnya.

Ia tidak memungkiri pak Wiga tidak hanya cerdas dan tampan, namun dia juga memiliki sisi baik bak malaikat. Modalnya besarnya dia bisa di gilai wanita dikantor dan selalu menjadi pembicaraan hangat, dia itu good looking, hot dan mungkin hot di ranjang. Tidak ada wanita yang menolak jadi trophy pak Wiga, walau bergilir. Apa ia ikut serta jika ada kompetisi mendapatkan hati pak Wiga? Ya tentu saja, walau ia yakin tidak menang.

Ia tidak bisa membayangkan bagaimana mereka di Bali, apa memungkinkan melakukan adegan ranjang? Minimal bisa kissing merupakan suatu yang ingin ia rasakan. Rasanya tidak mungkin, mana mungkin pak Wiga tertarik dengannya.

“Kamu memperhatikan saya?” Tanya Wiga, melirik Luna.

“Ah, tidak pak,” Luna ia menyadarkan pikirannya.

“Apa yang kamu pikirkan?”

“Saya tidak memikirkan apa-apa pak. Beneran!” Ucap Luna mencoba mengelak, yang benar saja pak Wiga bisa bisa mengetahui isi kepalanya.

Luna mendengar suara ponselnya bergetar, otomatis Wiga menoleh memandang Luna. Luna membuka tas nya, ia menatap nama ‘Alfred Calling’ ia hampir saja melupakan Al, karena biasanya pria itu pulang kerja bersamanya.

“Siapa?” Tanya Wiga, jujur ia tidak suka ketika berdua seperti ini ada gangguan telfon.

“Teman saya pak. Saya angkat dulu sebentar.”

Luna menggeser tombol hijau pada layar ia letakan ponselnya di telinga, “Iya, halo Al.”

“Kamu sudah pulang?”

“Iya, ini udah pulang. Lagi di jalan.”

“Nanti aku ke apartemen kamu ya, kita makan bareng.”

“Yaudah kalau gitu.”

“Kamu hati-hati di jalan.”

“Iya.”

Luna mematikan sambungannya, ia memasukan lagi ponsel itu ke dalam tas nya. Ia memandang pak Wiga yang menatap lurus ke depan, dia fokus memperhatikan jarak mobil dan motor di hadapannya.

“Pacar kamu?” Tanya Wiga.

“Bukan pak, cuma teman kok. Saya sudah cerita sama bapak, kalau saya tidak punya pacar.”

“Saya pikir pacar kamu. Soalnya saya tidak suka, ketika bersama saya, kamu sibuk dengan panggilan lain.”

What! What! Apa-apaan ini! Kenapa dengan panggilan lain? Toh, saat ini mereka sudah bukan jam kerja lagi! Lagian ia berbicara hanya dalam hitungan beberapa detik, lalu mati begitu saja. Duh! Pantasan semua resign! Ternyata dia sudah seperti pria posesif yang tidak memperbolehkan kekasihnya berlama-lama menelfon.

“Baik pak, lain kali saya tidak mengangkat telfon dihadapan bapak.”

Wiga tidak bertanya lagi, ia meneruskan perjalanannya. Beberapa menit kemudian ia tiba di depan gedung tower apartemen Tamansari Sudirman. Luna membuka sabuk pengamannya,

“Terima kasih pak sudah mengantar saya, pulang. Bapak hati-hati di jalan,” ucap Luna.

“Sama-sama,” ucap Wiga, ia memperhatikan gedung bangunan itu. Ia memandang Luna sudah melangkah meninggalkannya. Ia melanjutkan perjalanan lagi menuju rumahnya.

***

Malam harinya,

Wiga tidak tahu apa rencana ke depannya setelah ini. Ia tahu bahwa kedua orang tuanya masih mengkhawatirkan jodoh anaknya, apalagi umurnya bisa dikatakan tidak muda lagi. Sebenarnya ini bukan sekali, namun sudah dilakukan berkali-kali. Ia sama sekali tidak pernah menolak atas perkenalannnya dengan wanita A dan wanita B.

Orang tuanya pernah mendesak dan menyodorinya lebih dari satu dari empat kandidat untuk dirinya. Yang menurut mereka sangat ideal. Ia tahu niat baik orang tuanya dengan alasan masih sendiri, karena takut anaknya tidak bahagia mendapatkan pasangan yang tidak cocok. Ia paham tentang itu, namun tetap saja, apapun yang dijodohkan tetap saja berakhir begitu saja. Ia tidak ada chemistry yang kuat dalam ikatan itu.

Ia sebenarnya cukup tertekan dengan pertanyaan kapan menikah terus menerus, mulai dari orang tua dan keluarga besarnya lalu terakhir adiknya menanyakan hal yang sama. Ia tahu bagaimana terbaik untuk versinya sendiri bukan versi orang lain. Berpasangan itu bukan tolak ukur kebahagiaan. Seluruh kehidupan 100% merupakannya haknya. Kadang ia menyadari bahwa orang tuanya terlalu mengomentari hidup dan terkesan mengurusi hidupnya.

Wiga menyemprotkan minyak wangi ke lehernya. Ia mengambil kunci mobilnya di nakas. Ia keluar dari kamar. Ia menuruni tangga, melihat bibi yang sedang menutup pintu samping.

“Malam pak.”

“Malam juga bi,” ucap Wiga.

“Mau keluar ya pak?” Tanya bibi menatap pak Wiga yang sudah rapi.

“Iya, bi.”

Wiga meneruskan langkahnya menuju pintu utama, ia membuka pintu, melihat pak Arif berada di depan pagar. Setiba di rumah tadi, ia mengatakan kalau ia akan keluar malam ini. Mobilnya masih terparkir di plataran halaman. Ia masuk ke dalam mobil, menyalakan mesin dan tidak lupa memasang sabuk pengaman.

Apapun hasilnya nanti, ia akan lihat dulu. Wanita bernama Willo itu seperti apa, jika dilihat dari informasi yang ia lihat di beranda google, ia yakin kalau wanita itu nyaris sempurna, dia cantik, seorang entrepreneur, pendidikan tinggi, elegan, anggun, dan yang pasti berasal dari keluarga terpandang.

Ia tahu bahwa kedua orang tuanya sejak dulu mengatakan kalau mereka cari menantu yang tidak sembarangan. Secara turun temurun keluarga besarnya sudah melewati asam garam perjalanan mencari menantu.

Apalagi keluarganya pasti menyelidiki latar belakang si calon istrinya, mereka pastikan memiliki track record calon menantunya bersih dari tindak kekerasan dan criminal. Ia mengenal beberapa temannya menikah dengan cara seperti ini. Bertemu, lalu ngajak menikah. Kenapa si pria bercaya dan mau saja menikah, karena si calon anak dari salah satu pemilik hotel, demi kelancarana bisnis dan membangun dinasti bisnis mereka. Alasan yang lain, karena si temannya ini cinta dengan gadis itu, jadi hubungannya sangat harmonis dan harta mereka bertambah besar.

Ia memanuver mobilnya dan mobil keluar dari plataran rumah. Tadi ayahnya mengatakan kalau dia akan bertemu Willo di Amuz yang terletak di The Energy Building lantai 11. Sepanjang perjalanan ia mendengarkan music dari audio.

Beberapa menit kemudian akhirnya ia tiba di sana. Ketika masuk ke lobby, dan security mengarahkan dirinya masuk ke dalm lift dan lift membawanya menuju lantai atas. Jujur ia sudah lama tidak fine dining seperti ini. Terakhir beberapa bulan yang lalu itu pun dengan kasus yang sama. Ia merogoh ponselnya, menatap sebuah pesan dari sang ayah.

Papa : Willo sudah tiba. Kamu sudah sampai?

Wiga tidak membalas pesan itu, ia melihat pintu lift terbuka. Ia meneruskan langkahnya menuju restoran. Di depan pintu restoran ada seorang server yang berjaga. Server itu tersenyum ramah kepadanya.

“Dengan bapak Wiga?”

“Iya, benar,” ucap Wiga.

“Ibu Willo sudah menunggu bapak di dalam. Mari saya antar bapak ke table.”

“Terima kasih,” ucap Wiga, ia mengikuti langkah server.

Ia mengedarkan pandangannya ke area restoran, table-table di restoran ini sudah dipenuhi oleh tamu. Interior Amuz sangat lux, warm dan cozy. Furniture berkelas juga tertata sempurna, alunan music halus dengan playlist Prancis menambah kesan romantis. Lampu Kristal menggantung sepanjang dining area, jarak dining area juga tidak terlalu jauh.

“Itu ibu Willo-nya pak.”

Tatapan Wiga ke depan, ia memandang seorang wanita mengenakan dress berwarna merah dengan tali spaghetti strap dress. Dengan rambut rambut yang diikat ke belakang. Wiga memandang server itu pergi meninggalkannya.

Beberapa detik kemudian pandangan mereka bertemu, mereka saling menatap satu sama lain. Wanita itu berdiri dan ia melangkah mendekatinya. Ia mengakui kalau wanita bernama Willo itu cantik, warna dress yang dia kenakan berbahan satin itu sangat kontras dengan kulit putihnya.

“Hai, saya Wiga,” ucap Wiga, ia mengulurkan tangan kepada wanita itu.

Willo menahan nafas beberapa detik, pria inilah yang bernama Wiga. Ia tidak berhenti manatap, pria itu memiliki wajah yang rupawan, rahangnya tegas, hidungnya mancung, alisnya tebal dan tatapannya tajam. Caranya mengulurkan tangan, terlihat sangat professional.

Ia membalas uluran tangan itu, “Saya Willo Angelina, panggil saja Willo,” ucapnya, ia merasakan tangan Wiga menggenggam tangannya. Sedetik kemudian tangan mereka terlepas.

“Silahkan duduk,” ucap Willo.

Wiga lalu duduk tepat di hadapan Willo, ia melihat server menyajikan hidangan mereka. Dia atas meja tersaji complimentary bread hangat lengkap dengan butter dan olive oil. Dan di sampingnya ada mini cheese croissant lembut dan buttery.

Ia tahu bahwa ini set menu utama, still water, foie grass dan white wine. Server menuangkan white wine di gelas bertangkai tinggi itu, sebelum meninggalkan mereka. Wiga memandang wanita bernama Willo, dia cantik secara fisik, namun ia tidak tahu apakah mereka bisa memiliki chemistry yang kuat dalam hubungan ini.

“Kamu sudah lama menunggu saya?” Tanya Wiga, karena ia merasa kalau ia tidak tidak telat sesuai dengan yang dijadwalnya.

“Tidak, saya baru datang sepuluh menit yang lalu. Saya yang datang sedikit lebih awal dari yang di janjikan, karena apartemen saya dekat dari sini.”

Wiga meraih gelas bertangkai tinggi itu, ia menyesapnya secara perlahan, ia mengambil garpu dan pisaunya, ia memakan makanannya dengan tenang, sebelum memulai topik pembicaraan.

“Kamu berada di sini karena siapa?”

“Mama yang nyuruh saya ke sini.”

“Jadi kamu sudah tau, kenapa kamu berada di sini?” Tanya Wiga, ia memasukan makanannya ke mulut.

“Iya, sudah.”

“Bagaimana tanggapan kamu?” Tanya Wiga penasaran.

“Tidak masalah, selama kita cocok,” ucap Willo, ia meraih gelas bertangkai tinggi berisi wine dan ia menyesapnya secara perlahan. Karena ia yakin, cinta itu tumbuh karena terbiasa. Ia tahu banyak sekali orang di luar sana tidak mau di jodohkan dengan alasan tidak kenal, bahkan tidak cinta dengan calonnya.

Sehingga mereka takut bahwa pernikahan dari dua pihak yang tidak saling kenal akan rentan dengan perceraian. Saat ini, ada ratusan penyebab perceraian sekalipun pernikahan didahului pacaran dengan orang dicintai. Ia yakin ada jutaan cara membina rumah tangga dan menjauhkan itu dari perceraian bila sama-sama memiliki pandangan yang baik dan dewasa mengenai masa depan.

Wiga menyungging senyum, melirik Willo, “So, kamu menerima perjodohan kita.”

“Iya.”

“Alasannya?” Tanya Wiga.

“Saya tidak tahu, apakah ini alasan terburu-buru atau tidak. Buat apa menolak kalau pasangannya itu tampan seperti kamu.”

Wiga menghentikan makannya, ia menatap Willo, ia lalu tertawa. Ia tidak menyangka kalau wanita itu secara blak-blakan mengatakan kalau dia menerima perjodohan ini karena dia tampan.

“Karena saya tampan kamu terima?”

“Tidak seperti itu,” ucap Willo, ia memasukan makanannya ke dalam mulut.

“Terus apa?”

Willo menatap Wiga, “Saya pikir kalau perjodohan itu tidak selamanya kuno dan buruk. Saya dan kamu hanya perlu menyesuaikan kondisi percintaan saja jika ingin.”

“Memang sih kita punya pilihan. Namun apa salahnya di coba, di sini saya lebih logis melihat. Saya paham mana pria yang bisa bertanggung jawab untuk masa depan saya.”

“Saya juga sudah malas untuk bertemu mr. Right yang tidak kunjung datang.”

Wiga menyungging senyum, ia menatap Luna, “Apa kamu seperti ini? Blak-blakan?”

“Tidak, saya hanya terbuka saja dengan keadaan saya.”

“Harusnya kita melakukan PDKT terlebih dahulu sebelum memulai hubungan. Saya belum tahu siapa kamu, karakter kamu, apakah kamu cocok dengan saya.”

“Kita bisa melakukannya setelah pertunangannya. Saya yakin kamu sudah mencari tahu tentang saya,” ucap Willo, ia meraih wine-nya lagi dan menyesapnya secara perlahan.

Wiga menatap Willo, ia tertawa lagi, “Kamu cukup interest. Tidak ada salahnya di coba. Kalau kita tidak cocok?”

“Yasudah bubar saja, saya tidak memaksakan pria yang tidak menyukai saya.”

“Ok, saya mengerti.”

“Apa salahnya membahagiakan orang tua sekali-kali memenuhi permintaanya, karena selama ini saya terlalu pembangkang,” Willo tertawa geli.

“Kamu memangnya melakukan apa?”

“Hemmm misalnya saya tidak fokus dengan pekerjaan di kantor orang tua. Saya sudah beberapa kali menolak perjodohan. Saya biasa kabur ke luar negri kalau lagi sibuk berat, menghilang sejenak tidak bisa dihubungi.”

“Ketika di kantor papa, saya hanya sesekali saja datang karena saya pikir perusahaan itu sudah berjalan cukup lama. Justru saat ini, saya fokus bisnis skincare saya kesenangan saya. Kenapa saya menerima bertemu kamu? Alasannya simpel karena saya putus dengan pacar saya yang dokter bulan lalu. Oke, apa salahnya di coba. Mungkin kamu bisa lebih baik dari dia.”

“Jadi perjodohan ini, kamu buat ajang coba-coba?”

“Iya kamu benar. Di coba dulu, apa salahnya kan? Siapa tau cocok kalau kita menjalin kedekatan.”

Wiga menyungging senyum, ia mengerti dan paham, “Ok, kalau itu mau kamu. Tapi, saya tidak menjamin kalau kita bisa menjalin hubungan dengan baik, ” Setidaknya di sini ia bisa menunjukan sisi gentelmennya.

***

Keesokan harinya,

Kemarin pulang kerja, ia mengobrak abrik lemarinya. Ia mencari dress yang pantas untuk ia kenakan ke kantor, karena pak Wiga menyarankan agar ia harus berpenampilan menarik. Ia juga mempersiapkan nanti malam akan ke Bali.

Ia melihat kopernya sudah berdiri di dekat lemari, ia hanya membawa beberapa baju yang ringan, satu bikini untuk berjaga-jaga, karena tidak sah rasanya jika ke Bali ia tidak berbikini, karena di Jakarta tidak memungkinkan ia mengenakan pakaian seperti itu kecuali di Bali. Dan ia membawa beberapa peralatan makeup dan sandal.

Hari ini, pilihannya jatuh ke sheath dress berwarna hijau emerald, rambut panjangnya ia blow, ia mengenakan softlens coklat terang, bibirnya ia oles seperti biasa berwarna nude, ia mengurungkan niatnya untuk mengenakan lipstick merah, karena terlalu mencolok. Ia mengenakan stiletto berwarna hitam. Ia merasa kalau hari ini ia sudah tampil cantik. Benar kata pak Wiga, kalau pakaiannya kemarin terkesan seperti anak magang dibanding penampilannya hari ini.

Hari ini ia memutuskan untuk pergi menggunakan mobilnya sendiri, karena ia yakin ia dan pak Wiga pulang kerja lebih awal karena persiapan ke Bali. Ia tadi sudah mengirim pesan kepada Alfred agar jangan menjemputnya. Ia memegang handbag, dan masuk ke dalam lift. Lift membawanya menuju lantai basement.

Luna masuk ke dalam mobilnya, mobil ini hasil dari nyicil. Ia masih memiliki 3 tahun lagi untuk melunasi mobil ini. Dalam artian, ia harus bekerja di perusahaan harus bertahan 3 tahun lagi.

Beberapa menit berlalu,

Luna sudah tiba di office lebih awal, karena ia agak sedikit trauma atas kejadian kemarin, tiba-tiba pak Wiga datang lebih awal darinya. Padahal kantor masih sepi, kecuali karyawan yang rumahnya jauh seperti di Bogor, Depok,Tangerang atau Bekasi, biasa mereka datang dari subuh menghindari macet. Luna menatap office boy membersihkan ruangannya.

“Ibu cantik sekali hari ini,” ucapnya ramah.

“Masa sih pak?” Luna tersenyum.

“Beneran bu, lebih seger.”

“Makasih ya pak sudah muji saya. Ruangan bapak udah di semprot pengharum?”

“Sudah bu.”

“Makasih ya pak.”

“Sama-sama bu.”

Luna menatap office boy, keluar dari ruangannya. Sebelum pak Wiga datang, Ia mempersiapkan berkas-berkas yang untuk di tanda tangani kepada pak Wiga. Ia memastikan sekali lagi, bahwa tiket pesawat dan kamar hotel sudah di pesannya dari kemarin.

Beberapa saat kemudian, ia mendengar derap langkah, ia beranjak dari kursinya, sambil mengambil maps berisi berkas, ia keluar dari ruangan, untuk memastikan kalau ia sudah datang. Ia harus sodorin muka terlebih dahulu agar, ia di cap sebagai karyawan teladan.

Langkah Wiga terhenti, ia menatap Luna di sana. Tatapannya terfokus dengan wanita yang berada tidak jauh darinya, penampilannya kemarin dan sekarang sangat berbeda. Sekarang jauh lebih cantik bahkan ia mengatakan kalau penampilan wanita itu sempurna.

Wanita itu sepertinya tahu bagaimana cara berpakaian yang baik. Mungkin kemarin ia membaca dari segi penampilan, dia terlihat polos dan lugu, karena terlalu formal. Namun sekarang dia menjelma menjadi wanita seksi dan elegan. Ia tidak menyangka kalau dia wanita yang sama.

“Selamat pagi pak.”

“Selamat pagi juga,” Wiga meneruskan langkahnya, masuk ke dalam ruangan. Oh Tuhan, kenapa dia bisa secantik itu.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel