BAB 4
HAPPY READING
***
Luna menyeimbangi langkah pak Wiga menuju lantai tujuh. Ia tahu di gedung ini memiliki restoran fancy. Ia pernah beberapa kali makan di restoran ini, katanya Kila Kila nama restoran ini memiliki makna suara kebahagiaan. Sesuai dengan arti namanya, kalau restoran ini menawarkan banyak makanan khas Indonesia. Sepanjang jalan menuju restoran ia hanya diam.
Pintu lift terbuka, mereka menuju restoran. Ketika di restoran mereka di sambut hangat oleh server yang berjaga. Luna dan Wiga masuk ke dalam, ia melihat ada beberapa table terisi oleh tamu. Di counter kasir di sana ada cake dan pastry yang terlihat lezat yang terpajang di estalase.
Tempat restorannya luas, dekornya unik dengan tembok dengan tembok dipenuhi kincir angin dan ornament tradisional. Di sini ada area smoking dan non-smoking. Ia juga bisa melihat pemandangan kota Jakarta. Mereka duduk di salah satu table, dan server menghampiri mereka.
Server memberikan menu berbahan kulit itu kepada Luna dan Wiga.
“Bapak dan ibu, mau pesan sekarang atau nanti?” Tanya nya ramah.
“Pesan sekarang saja,” ucap Wiga.
Wiga menatap server itu, “Saya pesan kopi tubruk long black, air mineral dan sandwich. Kamu apa?” Tanya Wiga kepada Luna.
“Saya hot tea dan cheese cake,” ucap Luna.
“Terima kasih pesannya, lima menit lagi kita antar.”
“Teriima kasih,” ucap Wiga.
Luna memandang server pergi meninggalkannya. Ia yakin pak Wiga sering makan di sini, karena dia terlihat sudah terbiasa memesan menu yang sama di restoran ini tanpa membuka buku menu. Ia tadi sudah breakfast di apartemen, jadi tidak terlalu lapar. Tugasnya di sini menemani bos nya.
Wiga memandang Luna, “Kamu sudah paham bagaimana lisensi ekspor?” Tanya Wiga membuka topik pembicaraan.
“Sudah sedikit pak. Bukan-nya lisensi ekspor di perusahaan kita sudah di urus dengan legal ya pak, karena sudah tercantum dengan izin usaha perusahaan.”
“Iya, tapi ini untuk usaha saya yang lain.”
“Apa yang kita ekspor pak?”
“Obat-obatan.”
“Obat apa pak?” Karena setahunya perusahaan mereka bergerak dibidang operations dengan produk sepeda motor.
“Obat tradisional.”
“Kemana kita akan mengekspor pak?”
“Maroko, Libiya, Iran dan Mesir. Kebetulan saya sudah kerja sama dengan salah satu perusahaan obat-obatan, dan itu milik teman saya,” ucap Wiga.
“Jadi bapak kerja samanya lebih ke perdagangan Internasional. Merujuk perdagangan barang dan jasa antar negara?”
“Iya, kamu benar.”
“Baik pak.”
Wiga melipat tangannya di dada, ia menyungging senyum, dari percakapan ini, ia tahu bagaimana kualitas Luna bekerja. Sekretarisnya yang dulu kalau di tanya, dengan jawaban tidak mengerti.
“Kamu lulusan universitas mana?”
“Kalbis Institute, pak.”
Server datang menghampiri mereka dengan membawa tray berisi pesanan mereka. Luna tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada server tersebut.
“Kalau boleh tau bapak datang ke kantor jam berapa?” Tanya Luna penasaran.
“Tadi jam tujuh lewat. Suka-suka saya sih sebenarnya. Saya bisa datang pagi, dan saya juga bisa datang agak siang. Tidak tentu, karena saya merasa kalau kerjaan saya lagi banyak saya akan datang lebih awal seperti saat ini.”
Wiga menatap penampilan Luna, “Apa kamu ke kantor berpakaian seperti itu?” Tanya Wiga, melihat penampilan Luna, yang sudah dua hari ini dia mengenakan blouse dan rok span, hanya warna saja yang berbeda.
Alis Luna terangkat, “Memang kenapa dengan penampilan saya pak?”
“Flat.”
Luna nyaris menganga, sejak kapan pak Wiga mengomentari penampilan sekretarisnya. Ia tahu penampilan itu penting, tapi kinerja karyawan juga lebih penting. Dan mengatakan kalau selera fashionnya flat. Ia harus berpakaian seperti apa? Tidak mungkin kekantor mengenakan bodycon dress atau penampilan yang sering ia kenakan ke club.
“Bukannya seperti ini harusnya saya pergi ke kantor?” Ujar Luna mempertanyakan kembali.
Jujur ia agak tersinggung dengan dengan pernyatan tentang penampilannya. Di komentari seperti ini, ia seperti memiliki selera fashion yang payah, padahal sebagian orang mengatakan kalau ia memiliki selera fahion yang baik.
Ia berpenampilan seperti ini, mengikuti gaya busana artis papan atas Korea selatan, Park Min Young, yang menjadi sekretaris Kim yang sudah beberapa episode yang tonton. Harusnya pak Wiga bisa berbicara lebih sopan, karena ia pergi kerja dengan manner yang baik, tidak berlebihan. Ia tekankan menjadi sekretaris itu pure untuk bekerja bukan menggoda.
“Jika kamu bukan sekretaris saya, saya tidak akan berkomentar seperti ini. Karena kamu sekarang menjadi sekretaris professional, tampilah gaya dengan sukses setiap hari, bukan bergaya seperti anak magang. Karena ketika saya bertemu kamu kemarin, saya tidak memiliki kesan pertama.“
“Kamu tidak bisa hanya bisa mengandalkan kalau kamu yakin akan penampilan kamu saja, kalau kamu merasa nyaman sudah cukup bagi kamu. Buang istilah when you look good feel good. Tidak semua orang senang dengan melihat penampilan kamu.”
Wajah Luna merah padam, ia ingin perotes keras. Ia ingin membantah namun ia cepat mengontrol emosinya, apa daya ia hanya seorangs sekretaris, ia lebih baik mengalah dari pada berdebat.
“Dengar ya pak Wiga yang terhormat! Pertama saya sangat mengerti bagaimana goorming dan menjaga penampilan. Saya sangat paham bagaimana merawat diri. Saya sudah tegaskan kalau penampilan seperti inilah yang harus dipakai ketika saya bekerja. Saya tahu bagaimana menata rambut, memakai softlens, bergaya, tapi sesuai tempat! Ini perusahaan, bukan ke pesta!” Teriak Luna dalam hati, ia menahan amarahnya agar tidak meledak.
“Baik pak,” ucap Luna, lihat aja besok ia tidak akan lagi berpenampilan seperti ini.
Setelah ia simpulkan kalau sekretaris ideal itu harus berpenampilan menarik, di tambah dengan memahami berwenang, bertanggung jawab, mampu menjaga rahasia, menguasai tekhnologi, cekatan, terampil, cermat, pintar, mamahami karakter si bos, memiliki etika yang baik, pandai berbicara dan terkahir patuh. Ingat harus patuh! Karena ia melihat moodnya si pak Wiga orangnya tidak suka di bantah. Sabar … sabar … harus sabar.
“Kalau boleh tau berpenampilan seperti apa y pak?” Tanya Luna.
“Terserah kamu. Yang pasti terlihat menarik di mata saya.”
“Masalahnya saya tidak tahu selera bapak seperti apa!” Teriak Luna dalam hati, ia hanya mengangguk dan tersenyum.
“Baik pak,” ucap Luna.
Apa ia harus berpenampilan seperti Risa? Bukannya Risa berpenampilan seperti ini juga kemarin terakhir mereka bertemu. Apa ia harus berpenampilan sedikit lebih centil, misalnya dress. Ok, ia bisa mengikuti kemuan pak Wiga seperti apa. Ia harus membongkar isi lemarinya lagi, mana yang layak untuk pergi ke kantor apa tidak.
Wiga menyesap kopinnya secara perlahan, ia lalu memakan sandwich-nya ia menatap Luna. Wanita itu meneguk teh hangatnya.
“Kita berpa hari di Bali pak?” Tanya Luna.
“2 hari, Minggu sore kita pulang.”
“Baik pak.”
“Umur kamu berapa 29tahun pak.”
“Sudah menikah?”
“Belum pak.”
“Sudah punya pacar?”
“Belum. Kenapa pak?”
“Bagus kalau begitu. Saya sebenarnya tidak peduli kamu punya pacar atau tidak. Saya tidak mau ingin tahu tentang urusan pribadi staff saya. Saya hanya takut beberapa bulan ini kita akan berpergian keluar kota, jadi kamu harus diskusikan matang-matang dengan kekasih kamu. Resiko pekerjaan dan mobiltas yang tinggi, karena kebanyakan sekretaris sebelumnya resign karena ini juga. Dan ini menghambat pekerjaan saya.”
“Nanti ribetnya sedikit-sedikit kamu angkat telfon, tidak konsen, kamu bakalan jadi moody. Kalaupun sudah punya pacar, harusnya bisa memanajemen dirinya dengan baik di mana dia harus kerja dan tidak.”
“Baik pak, untuk saat ini saya memang belum memiliki pacar apalagi berencana untuk menikah.”
“Kenapa?”
“Saya netral saja. Kalau bisa menikah ya menikah, kalau tidak ya sudah. Harusnya tidak masalah, saya belum menemukan seseorang yang membuat saya ingin menikahinya dan menyambut keinginan saya. Saya tidak urgensi dalam memutuskan menikah. Hidup sendiri lebih bebas, kadang penat juga dengan berbagai ikatan di dunia ini.”
“Dulu waktu umur saya masih muda, saya normal pingin punya pasangan dan anak. Apalagi saat itu saya pingin nikah muda, pemikirannya lebih simpel, ingin mempersiapkan pernikahan dan ilmu pengasuhan anak. Tapi setelah saya ketahui kalau menikah dan menjalin hubungan tidak sesimpel itu.”
“Menjalin hubungan pacaran saja sudah banyak konflik. Apalagi sudah memiliki pasangan dan anak.”
“Banyak orang yang bilang kalau tidak menikah akan kesepian, tidak ada yang mengurus bla ... bla .. bla. Iya sih mungkin ada benarnya. Saya sudah pernah merasakan sakit sendiri, apa-apa sendirian. Tapi lebih sakit akibat bersama orang yang salah. Perdetik ini banyak sekali perceraian terjadi.”
“Sampai saat ini saya belum paham tentang esensi menikah demi menjalankan ibadah, ibadah yang mana? Atau saya yang belum paham dengan konsep itu.”
Ohh shit! Wiga menyungging senyum, ia meraih cangkir dan menyesapnya lagi, ia menatap Luna. Ia tidak menyangka kalau jawaban yang diberikan Luna sangat lugas, seperti mewakili isi hatinya, ‘I feel you somehow’. Wiga menarik nafas beberapa detik.
“Harusnya bapak sudah menikah, nggak muda lagi kan?” Ucap Luna.
Wiga tertawa, lalu tawanya terhenti ia berpikir berpikir serius, “Menikah itu karena pilihan, saya belum menikah belum menemukan pasangan yang tepat. Saya itu bangun rumah tangga bukan rumah sakit jiwa.”
Sumpah demi Zeus! Ketampanan pak Wiga bertambah ketika tertawa walau hanya beberapa detik. Giginya rata dan senyumnya sangat menawan dan dia sangat menggoda, poker face is best face. Selama ia bekerja di perusahaan ini, ia jarang sekali berhubungan dengan laki-laki. Dan sekarang ia berkerja fulltime dengan seorang pria dan itu bos nya. Sebenarnya banyak yang memiliki ketertarikan kepadanya, namun ia tidak pernah tertarik apalagi menjalin hubungan dengan sekantor.
Sebenarnya soalnya orang tuanya di rumah sejak dulu menyuruhnya menikah, “Kapan kamu menikah Lun? Nanti kamu dilangkahi adik kamu? Umur sebentar lagi 30 puluh?” Kata-kata itu terbayang dalam ingatannya. Setiap pulang ke rumah selalu di tanya, ‘kapan menikah?’ ‘mana pacarnya?’ karena sepupu-sepupunya nyaris semuanya sudah menikah. Oleh sebab itu ia tidak pulang ke rumah kecuali keadaan mendesak. Meski niat awal hanya basa-basi sebagai bentuk kepedulian, tapi tetap saja hal itu menjadi hal yang membosankan. Oleh sebab itu ia meminimalisir tinggal sendiri di apartemen untuk menghindari pertanyaan itu.
Wiga melirik jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 09.00, “Kita sudah harus balik ke kantor.”
“Baik pak.”
Wiga dan Luna beranjak dari kursinya, mereka keluar dari restoran setelah Wiga membayar tagihan bill. Mereka masuk ke dalam lift dan lift membawa mereka menuju lantai atas. Di dalam langkahnya menuju office, ia berpikir, pakaian apa yang akan ia bawa nanti ketika berada di Bali? Apa ia bawa bikini? Rasanya tidak usah bawa bikini, karena ke Bali urusan bisnis bukan berkencan dengan pak Wiga. Namun ia ingin mencuri start untuk berbikini di pantai.
***
Hari ini sesuai dengan jadwal pak Wiga, Luna mempersiapkan meeting, meeting hari ini mengevaluasi keuangan dan menindak lanjuti hasil audit. Dan jam tiga sore rapat seluruh manajer dan devisi di ruang pertemuan perusahaan. Setelah ia tangkap, selama beberapa jam kerja dengan pak Wiga. Ia tidak bisa memungkiri kalau pak Wiga itu keren. Dia sangat cerdas dan bisa mengambil keputusan sangat baik. Pak Wiga memiliki ketajaman dalam berpikir, dia memiliki control yang baik, bijak dalam melihat segala sesuatu dan mampu menghadapi persoalan.
Setelah meeting ia masuk ke ruangannya, ia melihat jam di tangannya menunjukan pukul 16.20 menit. Interkomnya berbunyi, ia mengambil ganggang telfon.
“Lun, ini gue Manda,” ucap seorang di balik speaker.
“Iya, Man,” ucap Luna.
“Gimana kerja sama pak Wiga hari ini?”
“Yah, tau sendiri lah gimana. Ini aja baru istirahat.”
“Lo balik jam berapa?” Tanya Manda.
“Kalau pak Wiga belum balik, gue juga belum balik lah, sebenernya udah capek banget sih ini,” ucap Luna, jam kerjanya memang jam 08.00 -16.30 tapi jangan harap bisa pulang on time. Cuma hari pertama kemarin aja ia pulang awal. Sebenarnya bisa saja pulang saat ini juga, tapi prinsipnya menjadi sekretaris tidak boleh pulang sebelum bos pulang.
“Jumat ini gue ke Bali,” ucap Luna, ia menatap ke arah layar leptop, ia mencari tiket ke Denpasar mencari kelas bisnis dengan penerbangan langsung dari jam 19.35–22.35, ia mengisi form pemesanan sesuai dengan namanya dan nama pak Wiga.
“Dengan pak Wiga?”
“Iya, ketemu klien.”
“Enaknya yang baru kerja udah di ajak ke Bali.”
Luna tertawa, “Gue kerja tau, bukan buat honey moon. Lagian pak Wiga nggak mungkin lah ngelirik gue yang remahan kacang gini, nggak selevel.”
“Beda kelas,” sahut Manda tertawa geli.
“Lo dulu sering ketemu Risa nggak sih?” Tanya Luna.
“Risa sekretaris pak Wiga dulu?”
“Iya. Enggak terlalu sih, cuma beberapa kali aja lihatnya di lobby. Kenapa?”
“Tanya aja, penampilan Risa kayak gimana sehari-hari kantor. Soalnya pak Wiga complain gitu soal penampilan gue.”
“OMG! Demi apa!”
“Suer!”
“Penampilan lo yang mana di complain? Lah kan kerja ya, pakek baju kerja dong. Emang mau dugem, pakek gaya-gaya.”
“Nah itu!”
“Maunya lo pakek dress dress gitu nggak sih?”
“Dia bilang gue kayak karyawan magang.”
Manda lalu tertawa geli, “Sumpah ya! Gue nggak habis pikir dengan pak Wiga, bisa-bisanya komentar seperti itu.”
“Sama! Yang penting kan kinerja ya, bukan penampilan.”
“Mungkin pak Wiga mau penampilan lo kayak Risa dan seperti sekretaris-sekretaris-nya yang dulu. Pakek sheat dress bukan blouse dan rok span.”
“Iya, sih ada benernya juga.”
“Lagian lo kan citranya sekretaris harusnya kayak gitu. Rambut lo di blow gitu jangan lurus, agak menor nggak apa-apa lah lipstick merah merona sekali-sekali. Siapa tau kan pak Wiga langsung trun on.”
“Uh, dasar lo ya,” Luna tertawa geli karena itu sangat mustahil baginya.
“Ke Bali, bawa bikini buat jaga-jaga, siapa tau diajak pak Wiga berenang.”
“Ide yang bagus, mumpung di Bali.”
“Gue balik dulu ya,” ucap Manda, ia melihat beberapa anak marketing sudah bersiap pulang.
“Enaknya yang pulang tenggo. Gue boro-boro balik, pak Wiga aja ada di ruangannya.”
“Selamat menikmati jadi sekretaris. Gue doain deh, biar lo sama pak Wiga cinlok, jadi kalau balik malam enggak sia-sia bisa makeout dan kissing di office.”
“Mimpi kalau gue kayak gitu.”
Luna mematikan sambungan telfonnya, ia sudah memesan tiket pesawat dengan penerbangan bisnis. Ia melihat bayangan pak Wiga berada di depan ruangannya, ia lalu berdiri dan lalu keluar dari ruangan, ia menatap pak Wiga memegang tas kerjanya. Jika sudah memegang tas kerja itu tandanya dia bersiap untuk pulang. Dalam hatinya bersorak gembira.
“Kita pulang sekarang,” ucap Wiga, karena malam ini akan bertemu dengan seorang wanita bernama Willo, jadi ia harus mempersiapkan diri sebelum bertemu.
“Baik pak. Saya matikan leptop saya dulu.”
Wiga memandang Luna masuk ke dalam ruangannya, ia melihat bayangan wanita itu berada di meja kerjanya. Beberapa menit kemudian dia kembali dengan tangan memegang handbag. Luna dan Wiga keluar dari ruangan. Ia menatap Wanda sahabatnya, wanita itu tersenyum penuh arti kepadanya, ternyata hari ini ia bisa pulang tepat waktu bersama.
Luna dan Wiga masuk ke dalam lift, lalu lift membawa mereka munuju lantai basement,
“Besok kamu datang jangan telat.”
“Baik pak.”
“Saya harap plan kerja sama kamu bisa lebih baik,” ucap Wiga memperhatikan Luna.
“Baik pak.”
“Kamu sudah pesan tiket ke Bali?”
“Sudah pak.”
Pintu lift terbuka, Luna dan Wiga keluar menuju basement, Luna mengantar Wiga hingga ke pelataran parkiran.
“Hati-hati, pak pulangnya,” ucap Luna.
“Kamu tidak bawa mobil?”
“Enggak pak, saya tadi pergi dengan teman saya.”
“Jadi kamu pulangnya …”
“Saya pakai gojek saja pak, kebetulan dekat.”
Wiga menatap Luna, “Apartemen kamu di Sudirman kan?” Tanya Wiga.
“Iya, pak benar.”
“Kebetulan saya lewat saya, saya antar hingga depan apartemen kamu.”
“Apa nggak ngerepotin pak?”
“Tidak. Lagian dekat dari sini.”
“Terima kasih pak,” ucap Luna, ia mengikuti langkah pak Wiga menuju mobilnya. Demi langit dan seluruh isinya! Ia tidak menyangka kalau pak Wiga akan mengantarnya.
Luna memandang pak Wiga menekan tombil central lock,
“Kamu duduk di depan, jangan di belakang. Saya bukan supir kamu.”
“Baik pak.”
***