BAB 3
HAPPY READING
***
Luna mematikan lampu kantor, ia memegang handbag-nya. Ia menyeret kakinya menuju lift, dengan perasaan kesal yang luar biasa, karena di hari pertama menjadi sekretaris, ia mendapatkan tugas yang menjelimet. Beban menjadi sekretaris itu sangat menguras energy. Ia tidak mengerti kenapa menjadi seperti ini. Dia memang bos, namun kerjaan 3 orang dijadikan satu orang itu sangat tidak masuk akal.
“Dasar ! Bos, gila!”
“Brengsek !” Umpatnya kesal.
Ia menekan tombol menuju lantai basement. Ia tersadar kalau disebelahnya ada seorang memakai sepatu hitam mengkilat, ia memperhatikan bahwa bahwa sepertinya hanya dirinya dan dia berada di dalam lift. Ketika ia mendongakan wajah, ia bergeming dan shock. Karena umpatan dan ungkapan rasa kesalnya di dengar oleh pria itu. Ia melihat pria itu menatapnya tanpa senyum.
“Bagaimana kamu bisa bekerja dengan baik? Belum apa-apa kamu sudah mengeluh!”
“Sebaiknya lebih menjaga bicara kamu, karena kamu sekretaris saya. Kalau tidak sanggup dengan pekerjaan ini, kamu boleh ambil surat pengunduran diri ke HR.”
Luna tidak bisa berkata-kata, dan jujur ia masih shock luar biasa. Pintu lift terbuka, ia melihat pria itu keluar dari lift, dan meninggalkannya begitu saja. Ia hanya termenung di dalam lift menatap punggung itu menghilang dari balik pintu lobby.
Luna tersadar dan ia keluar dari lift, mengikuti jejak si evil itu, karena mobilnya berada di sana juga. Ia padahal tadi menelfon Manda sudah cukup lama, kenapa pria itu baru ada di lift? Ia pikir bos nya itu sudah pulang.
Apa dia ke atas dulu? Ke atas ke mana? Bertemu temannya? Luna memandang bos nya itu masuk ke dalam mobil BMW yang terparkir tidak jauh darinya. Pria itu tanpa senyum, lalu masuk ke dalam mobilnya mahalnya. Setelah itu, mobil mewah itu meninggalkan area tower.
****
“Iya, Al,” ucap Luna, ia masuk ke dalam apartemennya, dengan handphone yang berada di telinganya.
“Kamu di mana?” Tanya Alfred.
“Aku baru aja nyampe apartemen,” ucap Luna.
“Cepet banget udah pulang?” Tanya Alex, ia melirik jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 02.30 menit, ia tahu bahwa ini merupakan hari pertama Luna menjabat sebagai sekretaris. Sebenarnya ia tidak setuju kalau Luna mengambil jabatan itu. Karena banyak sekali mengatakan menjadi sekretaris itu memiliki sisi gelap.
Namun dikantornya ada seorang wanita yang menjabat sebagai sekretaris pure, benar-benar sekretaris, tidak ada tindakan aneh di sana. Karena dia bekerja selama 10 tahun, tidak ada tindakan sekretaris nyambi jadi selingkuhan. Lagian jika sekretaris menjadi selingkuhan kualitas kerjaan menjadi tidak jelas.
Justru kerjaan sekretaris itu banyak, sering menjadi tumbal kemarahan bos nya. Banyak karyawan yang tidak jelas, menghembuskan gossip bos, suka dengan sekretaris. Ia tahu bahwa soalnya kesenjangan itu ada, level bos pasti akan bermain dengan wanita yang sekelas dengannya. Dia mau dengan yang artis atau sesama pemilik usaha. Kalau sekretaris tidak ada seujung kuku dia dengan Luna. Ia akan melupakan tentang skandal itu, karena itu mustahil terjadi.
“Tadi pak Wiga baru pulang dari Singapur, ke kantor sebentar. Kamu tau apa yang dia kasih ke aku?” Tanya Luna.
“Apa?”
“Dia ngasih aku tugas tambahan, aku bertugas ngurus export license hingga dokumen-dokumennya dan aku disuruh mengurus keuangan di perusahaan barunya. Dengan alasan itu perusahaan kecil.”
“Terus kamu mau?”
“Ya mau nolak gimana, Al. Kamu tau lah ini kan hari pertama aku kerja. Kerjaan itu untuk tiga orang, malah aku yang hendel. Parah banget nggak sih?”
“Iya, parah banget.”
“Kamu lagi apa?” Tanya Luna kepada Alfred, pria itu menjalin PDKT kepada sudah beberapa Minggu ini, dia bekerja di bank central posisinya sebagai manager finance.
“Lagi kerja, kerjaan lagi banyak-banyaknya. Kamu sudah beli makan?”
“Udah, tadi aku beli di lobby.”
“Beli apa?”
“Dimsum, dan ramen,” ucap Luna, ia menaruh makanan dan tas nya di meja.
Luna melepaskan jasnya, ia menyandarkan punggungnya di kursi sambil menatap ke arah jendela. Ia duduk di sofa. Ia mengambil remote dan menekan tombol power. Tv pun seketika menyala.
Luna menarik nafas beberapa detik, ia ingin sekali membenturkan kepalanya ke dinding. Ia tidak habis pikir kalau ia akan bertemu dengan pak Wiga di lift. Pria itu bahkan menyuruhnya mengundurkan diri, yang benar saja ia akan mengundurkan diri baru pertama kali kerja!
“Are you oke?” Ucap Alfred.
“Of course okay,” ucap Luna.
“Nanti malam kamu mau makan apa? Aku beliin.”
“No. Jangan dibeliin, takutnya aku udah kenyang, makan dimsum sama ramen ini.”
“Oke, yaudah kalau gitu.”
“Kamu semangat kerjanya,” ucap Luna, ia memejamkan mata beberapa detik, menenangkan kegelisahannya.
Luna membuka bungkus makanannya, sambil melihat ke arah TV. Entahlah, hatinya semakin rasah dan gelisah. Hari ini seakan berlalu lebih lama dari biasanya, bahkan langit masih cerah. Luna menatap makanannya di atas meja tanpa sedikitpun memakan makanannya. Ia hanya mengacak-ngacaknya dengan menggunakan sendok dan garpu, sambil membayangkan pak Wiga saja, ia sudah kesal. Ia tidak dapat membayangkan bagaimana kerja dengan bos nya itu.
Ia menatap ke arah layar persegi, searching dengan mengertik export license, tadinya ingin mencari informasi tentang export dan mempelajari menggunakan kas besar dan kecil. Ini di dasari dengan dengan mencari ide, namun entahlah ia merasa kesal sendiri karena ide itu tidak kunjung datang.
Sekarang rasanya ingin berteriak, namun ia tidak ingin menjadi gila karena bos barunya itu. Ia menyesal mengambil pekerjaan ini. Ia harus berhadapan dengan pak Wiga besok, apa yang harus ia lakukan setelah ini? Apa ia harus resign? Yang benar saja resign secepat ini!
***
Wiga keluar dari kamar mandi, rasa lelahnya sedikit berkurang. Ia melihat ke arah jendela cuaca Jakarta hari ini cukup cerah. Ia bekerja cukup melelahkan, ia asumsikan kalau ini adalah manusia biasa bukan olahragawan. Kemudian orang tuanya meminta dirinya untuk melakukan lari maraton dengan jarak yang sama tetapi dibebaskan untuk memilih rute yang ia suka. Waktu tidak dibatasi, namun yang penting untuk sampai ke tujuan.
Ia bersyukur bisa bertahan hingga sejauh ini. Ia melangkah menuju walk in closet, mengganti pakaiannya dengan kaos dan celana pendek. Seketika ia teringat dengan sekretaris barunya. HR mengatakan kalau, kandidat sekretarisnya itu merupakan karyawan teladan, tapi tidak bisa diasumsikan kalau dia memiliki kerja yang bagus tidak menutup kemungkinan kalau dia menyebalkan. Ia mendengar sendiri bagaimana wanita itu mengatakan dirinya gila dan brengsek.
Seumur hidupnya baru kali ini ada karyawan mengumpat tepat di hadapannya dan itu sekretarisnya. Mulutnya sangat berani, padahal tidak ada yang special darinya, ia juga belum tahu kinerjanya seperti apa, sudah berani dia berkata seperti itu.
Ia mendengar suara ponselnya berdering, ia melihat nama “Maikel Calling” ia tersenyum melihat nama sahabatnya di sana.
“Iya, Maikel,” ucap Wiga.
“Lo udah balik ke Jakarta?”
“Iya, udah. Baru nyampe rumah,” ucap Wiga.
“Gue udah lama nggak ngajak lo minum, nanti malam lo minum nggak?”
“Boleh, di mana?”
“Camden.”
“Oke, agak malam aja ya, soalnya mau tidur dulu. Capek banget soalnya.”
“Ok.”
Sambunganpun terputus begitu saja, ia membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Ia teringat dengan ucapan papa tadi. Ia akan bertemu dengan wanita bernama Willo, ia mengambil ponselnya dan memandang ke arah layar itu. Ia mengklik nama Willo Angelina di branda google.
Di layar seketika muncul nama Willo Angelina, dia seorang CEO Avosa, membangun bisnis perawatan wajah atau skincare. Dia memiliki brand yang cukup diminati oleh masyarakat luas dan banyak penghargaan yang dibangun. Dia mendapatkan pernghargaan dari banyak pihak, salah satunya jajaran Forbes 30 under 30 Indonesia maupun Asia. Tidak hanya itu dia juga menjabat sebagai founder PT. Avosa Technology.
Wiga menyungging senyum, ia menarik nafas beberapa detik. Ia melihat wajah wanita itu di sana, dia berparas cantik, tubuhnya ideal dan kulitnya putih sehat. Di foto itu dia mengenakan kemeja putih dan rok span berwarna hitam, namanya tertulis founder.
“I got it,” ucap Wiga, biasanya wanita seperti ini sangat membosankan, mau di manapun pembicaraan mereka bisnis. Tapi ia ingin lihat nanti, apakah wanita ini membosankan atau tidak. Tapi tidak apa-apa jika hanya sekedar berkenalan, ia hanya perlu bersenang-senang untuk meringankan beban di pundaknya.
***
Keesokan harinya,
Pagi ini Luna workout seperti biasa di apartemennya. Ia memiliki jadwal rutin setiap hari mengikuti 2 video yang ada di smart TV nya. Ia mempertahankan bagaimana caranya kalau badan tetap ringan dan perutnya tidak buncit. Jika weekend biasanya ia menyempatkan diri untuk jogging. Ia merasa kalau workout practice yang dilihat di youtube lebih pas untuk dirinya, sekali action selama 30 menit sudah basah semua.
Setelah workout Luna meneguk air mineralnya. Kenapa ia perlu workout? Karena baginya tubuh sehat dan stamina yang kuat adalah investasi. Intinya ia cinta tubuhnya dan itu harus di jaga dengan baik. Ia melihat jam menggantung di dinding menunjukan pukul 06.30 menit.
Luna mengambil oat instan dan memasukan beberapa sendok di dalam mangkuk. Ia menyeduh oat itu dengan air panas. Ada beberapa cara ia mengomsumsi oats dengan menjadikannya smoothies atau terkadang overnight oats. Ia menambahkan buah pisang dan madu untuk memenuhi energy di pagi hari dan itu tidak mambuatnya lapar hingga makan siang.
Setelah breakfast, Luna mandi. Hari ini ia harus menghadapi bos nya. Ia menjadi uring-uringan sendiri jika mendengar nama pak Wiga. Pria itu sekan memenuhi ruangan apartemennya tipe studio ini. Ia membuka lemari, memilih mengenakan outfit blouse polos dengan bawahan rok pastel yang lembut. Rambut panjangnya ia ikat ke belakang. Ia menarik nafas beberapa detik, ia harus kuat menghadapi hari ini bertemu pak Wiga. Tapi tetap saja, jantungnya hampir mau copot setiap kali mendengar namanya. Suara beratnya terngiang-ngiang dalam ingatannya.
Ia memegang handbagnya, ia melihat pesan masuk dari Alfred di layar ponselnya, ia membaca pesan itu.
Alfred : Aku bentar lagi sampai di lobby kamu.
Luna membalas pesan singkat itu, “Ini mau turun apart.” Jujur ia suka dengan Alfred karena tehnik PDKT nya tidak menggunakan kata gombal, yang membuat dirinya risih, apalagi baru kenal lansung menggunakan emot love, padahal belum kasih lampu hijau. Ia juga bukan tipe wanita yang senang di posesifin, karena ia terbiasa apa-apa sendiri dan ia tidak suka dengan tipe yang suka pamer. Ia tidak peduli dengan tukang pamer dan membuatnya ilfeel. Yang ia tahu kalau Alfred itu pria yang dewasa, komunikasi mereka sangat intens, bahkan banyak hal yang mereka bicarakan selain hubungan. Mereka membuat hubungan itu mengalir begitu saja.
Luna keluar dari apartemennya, ia melangkah berjalan dari koridor menuju lift. Ia masuk ke dalam dan lift membawanya menuju lobby. Ia melihat security dan receptionis berjaga di sana. Ia menatap mobil SUV milik Alfred sudah berada di lobby.
Pria itu membuka power window, ia menatap wajah tampan Alfred yang sedang berada di kemudi setir. Ia membuka hendel pintu dan mendaratkan pantatnya di kursi, tidak lupa memasang sabuk pengaman.
“Morning Lun,” ucap Alfred.
“Morning juga Al,” ucap Luna.
Alfred memperhatikan wajah Luna, seperti biasa dia sangat manis seperti gula. Dia bukan tipe wanita yang berwajah cantik, apalagi kalau tersenyum.
“Hari kedua kamu menjadi sekretaris, bagaimana perasaan kamu?”
“Campur aduk. Aku sebenarnya menyesal ambil tawaran ini.”
Alfred mengangguk paham, “Jadi keputusan kamu apa?”
“Jalanin aja. Kalau nggak kuat ya resign juga.”
“Kalau mau resign ya, ya nggak apa-apa. Aku setuju dengan pilihan kamu.”
Alis Luna terangkat, ia menoleh memandang Alfred, ia tidak menyangka kalau pria itu justru mendukunngnya untuk resign.
“Kita tunggu satu bulan ini, kalau nggak kuat seperti sekretaris sebelumnya, aku lebih baik cari kerjaan lain,” gumam Luna.
Alfred tersenyum ia sangat setuju jika Luna resign dari pekerjaanya, ia memanuver mobilnya ia memperhatikan jarak mobil dan motor di hadapannya. Sepanjang perjalanan menuju office mereka mendengarkan lagu dari audio, sambil bercerita tentaang pekerjaan.
***
Akhirnya mobil Alfred tiba di lobby, “Thank’s ya, Al. kamu hati-hati di jalan.”
“Iya,” ucap Alfred.
Luna membuka hendel pintu dan masuk ke dalam lobby. Ia menatap mobil SUV itu meniggalkannya. Ia melihat ada beberapa karyawan di sana, ia masuk ke dalam lift yang sama. Ia harus kuat menghadapi pak Wiga, karena perangainya super menyeballkan. Setiap ucapannya seakan tidak bisa dibantah sedikitpun.
Pintu lift terbuka, ia menuju ruangannya. Ia melihat beberapa karyawan sudah berada di kubikel, dan sebagian belum datang karena ada yang masuk jam sembilan. Ia menatap office boy keluar dari ruangannya, tersenyum menatapnya.
“Pagi ibu Luna.”
“Pagi juga pak.”
“Bapak sudah sudah datang.”
Alis Luna terangkkat, “Bapak siapa?” Tanya Luna.
“Pak Wiga.”
Luna menutup mulutnya dengan tangan, ‘Demi apa! Pak Wiga udah datang jam segini? Luna memekik dalam hati. Ia merasa berdosa kalau bos nya datang lebih dulu dari dirinya. Luna melirik jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 07.45 menit. Padahal ini sangat pagi, dan bos nya itu datang jam segini. Datang jam berapa dia? Apa yang dia lakuin jam segini? Apa dia serajin itu?
Luna membuka pintu, tubuhnya bergeming, ia menatap seorang pria yang berdiri di dekat ruangannya. Pria itu tanpa senyum memandangnya.
“Kamu baru datang?” Ucap Wiga, memperhatikan sekretarisnya yang berada di depan pintu.
“Iya, pak.”
“Kalau bisa datang lebih awal dari saya,” ucap Wiga.
“What!” Teriak Luna dalam hati, ia harus datang jam berapa kalau dia datang sepagi ini. Dulu selama menjadi PR saja ia masuk jam sembilan, kemarin HR dan Risa mengatakan kalau ia masuk jam delapan, dan katanya pak Wiga datang ke kantor jam sembilan atau jam sepuluh pagi. Lalu sekarang ia mendapati bos nya itu datang sebelum jam delapan. Sungguh ia tidak bisa berkata-kata.
“Iya, pak,” ucap Luna.
Wiga menatap Luna, “Jadwal saya hari apa?” Tanya Wiga.
Luna mengambil ponselnya di tas, ia mencatat semua kegiatan pak Wiga di ponselnya, “Hari ini, jam 09.00 sampai jam 11.00, bapak ada meeting di kantor cabang. Evaluasi keuangan dan menindak lanjuti hasil audit.”
“Terus?”
“Jam satu siang hingga jam tiga sore rapat seluruh manajer dan devisi, di ruang pertemuan perusahaan.”
Wiga melipat tangannya di dada, ia memandang Luna, “Nanti lain kali ingatin saya ya kalau ada meeting seperti ini.”
“Ingatin lewat whatsapp pak?”
“Iya.”
“Baik pak.”
“Oiya, weekend ini kita melakukan penerbangan ke Bali ya.”
Luna melihat jadwal yang ada di ponselnya, jadwal hari sabtu jam 12.00 pak Wiga bertemu dengan ibu Lenny pemilik PT. Alam Residence, di Denpasar Bali,
“Baik pak. Bapak mau penerbangan pagi atau siang.”
“Saya mau malam.”
“Berarti berangkat jumat malam pak?”
“Iya.”
“Baik pak.”
“Kamu ikut juga,” ucap Wiga.
“Baik pak,” mata Luna terbelalak kaget bahwa ia ikut ke Bali bersama pak Wiga. Oh Tuhan, sudah berapa kali ia terkejut di jam yang sama seperti ini. Lama-lama ia bisa jantungan.
Wiga menarik nafas, ia menatap sekali lagi wanita itu, “Saya belum breakfast. Kamu temani saya breakfast.”
“Baik pak.”
Luna menelan ludah, pria itu bahkan tidak mengijinkan dirinya duduk sejenak di kursinya. Ia melihat tubuh pak Wiga sudah melangkah meninggalkan ruangan. Ia menyeimbangi langkah pak Wiga, jujur ia merasa terhormat menjadi PR bertemu banyak klien dari pada sekretaris. Benar, kata Raisa kalau sekretaris siap-siap menjadi kacungnya bos.
***