BAB 2
HAPPY READING
***
“Bapak langsung ke kantor?” Tanya driver, sambil memanuver mobil
“Iya,” ucap Wiga.
Ia hanya ke kantor sebentar, ada beberapa berkas yang harus ia ambil di sana. Sebenarnya ia bisa saja menyuruh sekretaris, namun Risa sekretarisnya kemarin sudah resign dan penggantinya seorang public relation yang sudah bekerja beberapa tahun di perusahaanya. Ia tidak tahu pasti siapa wanita itu.
“Sekretaris bapak ganti lagi?” Tanya driver membuka topik pembicaraan, ia mendengar sekretaris pak Wiga yang dulu resign.
“Iya, pak. Sekarang sekretaris saya namanya Luna.”
“Mba Luna yang dari divisi PR itu ya pak?”
“Iya, bapak kenal?” Tanya Wiga.
“Kenal pak, kebetulan dulu sering nganterin mba Luna ketemu klien.”
Wiga mengangguk paham, ia tahu driver-nya ini tidak hanya bertugas mengantar dirinya, namun juga mengantar divisi lain yang sedang memerlukan jasanya selama jam kerja. Ia tidak bertanya lagi prihal wanita bernama Luna, karena menurutnya tidak terlalu penting.
Wiga mengistirahatkan punggungnya di kursi, ia memejamkan mata sejenak, karena penerbangan dari Singapur menuju Jakarta sangat melelahkan. Ia memastikan semuanya pekerjaanya berjalan dengan lancar. Dulu dalam pemilihan sekretaris ia interview langsung. Namun saat ini, ia mempercayakan pihak HR untuk memilih kandidat menjadi sekretarisnya.
Sebenarnya tidak cukup interview langsung dari HR, biasa ketika tahap akhir, akan dilanjutkan interview kepadanya. Karena bagaimanapun sekretaris akan bekerja dengannya. Tapi ia terlalu banyak kerjaan, ia memberitahu pihak HR bahwa ia mempercayakan mereka mencarikan sekretaris yang sesuai untuk dirinya.
Beberapa menit kemudian akhirnya mobil driver berhenti di depan lobby. Wiga merapikan kemeja dan jasnya.
“Terima kasih ya pak,” ucap Wiga kepada driver.
“Sama-sama, pak.”
Wiga memegang tas kerjanya, ia melangkah menuju lobby utama. Ia melihat lobby tampak sepi hanya security yang berjaga. Security itu mengucapkan selamat siang kepadanya. Ia melirik jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 14.01 menit. Lift membawa mereka menuju lantai atas.
Suara ponselnya berdering, Wiga melihat ke arah layar ponsel, “Papa Calling” ia menggeser tombol hijau pada layar, ia letakan ponsel di telinga.
“Iya, pa,” ucap Wiga.
“Kamu sudah di Jakarta?”
“Iya. Kenapa pa?”
“Sekarang ada di mana?”
“Lagi ke kantor sebentar. Ada beberapa berkas yang harus aku tanda tangani. Kenapa pa?” Tanya Wiga.
“Papa mau ngenalin kamu dengan seseorang.”
Wiga mengerutkan dahi, “Siapa?”
“Namanya Willo anaknya pak Dirga pemilik stasiun MNCI TV,” ucap papa.
“Kenalan saja dulu.”
Wiga tahu betul siapa pak Dirga teman ayahnya. Dia merupakan pendiri dari MNCI Grup. Beliau menjabat sebagai komisaris utama di MNCI Grup. Banyak sekali anak perusahaan MNCI grup bahkan menjadikan stasiun TV nasional yang banyak di minati. Dia mengabadikan dirinya sebagai pembicara di berbagai media di tingkat nasional dan internasional, serta mengajar di program pascasarjana diberbagai universitas di bidang corporate finance, investasi dan strategi manajemen.
“Willo? Kapan?” Sejujurnya baru kali ini, ia mendengar nama Willo, ia tidak mempersalahkan jika orang tuanya memperkenalan wanita-wanita dari anak temannya, karena ini tidak terjadi sekali, namun berkali-kali.
“Lusa. Kamu mau?”
“Iya, pa boleh. Asal jangan weekend aja, soalnya aku mau ke Bali weekend ini, ada kerjaan yang harus dikerjakan di luar kota.”
“Papa suka kinerja kamu.”
Sambungan terputus begitu saja. Wiga memasukan ponsel ke saku celananya. Pintu lift terbuka, ia memandang beberapa pekerja berada di kubikel, ada yang tersenyum memberi salam kepadanya. Ia meneruskan langkahnya menuju ruangannya.
Wiga tahu kalau ia menjabat di posisi ini karena privilege. Setidaknya ada power yang sangat berdampak dalam kehidupannya. Ia memiliki kekuasaan, banyak orang yang hormat dan respek kepadanya, karena dia memilikinya.
***
Luna duduk di meja kerjanya, ia merapikan rambut sambil menatap wajahnya di cermin. Banyak sekali issue di luar sana, profesi sebagai sekretaris seperti itu menjadi selingkuhan bos. Ini sudah kesekian kalinya pak Wiga mengalami pergantian sekretaris, dan tentu saja fisik sekretarisnya jauh di atas rata-rata. Di banding dirinya.
Selama bekerja di sini, tentu saja ia tahu kalau sekretaris pak Wiga itu good looking or sometimes sexy. Apalagi gossip perselingkuhan alis cheating sering terdengar di seluruh penghuni kantor. Apalagi bos dan sekretaris, di mana lebih banyak moment berdua, kesempatan bersama, dan factor-faktor mendukung lainnya.
Kemarin Risa memberi beberapa list kebiasaan pak Wiga. Kata Risa, ia harus siap menjadi pelampiasan amarah. Kadang tidak tahu penyebab dia marah, jadi sekretaris ketularan imbasnya juga. Ia juga membiasakan diri bisa menghendle banyak hal, mulai dari jadwal rapat, milih menu makan siang, milih menu snack, isi ovo, tukar uang receh sampai complain ke martketplace.
Dan harus diingat, jadwal kerja sekretaris fleksibel. Artinya ia harus bisa dihubungi jam berapapun, bahkan hari libur sekalipun. Handphone harus selalu stanby, tidak boleh lambat balas pesan atau angkat telfon. Ia harus dituntut pandai menyusun kata agar dapat menyampaikan pesan/informasi secara singkat, padat dan tepat. Harus bisa jaga rahasia, apalagi bersilat lidah, karena ia harus bisa memilih topik pembicaraan sesama karyawan agar kehidupan pak Wiga tidak terekspose. Tidak peduli gossip perselingkuhan selama menjadi sekretaris karena itu sama sekali tidak benar. Dan terakhir Ia juga dituntut membaca situasi, mood dan raut wajah bos, kira-kira jika moodnya di bawah 30 %, maka lebih baik kurangi intensitas bertanya.
Jadi sekretaris ternyata sesulit itukah, karena ia melihat lebih enak menjadi PR? Risa juga mengatakan gossip bos tidur dengan sekretaris itu sama sekali tidak benar, itu hanya rumor dikalangan kantor, diamin saja, karena nanti merkea akan lelah sendiri, jika ditanggapi justru membuat prespektif selingkuh menjadi benar. Katanya juga, pak Wiga itu sedikit arogant yang banyak nuntut, karena biasa sekretaris lupa dengan ngasih info yang setengah-setengah. Kadang ngasih kerjaan di luar jobdesk itu yang sangat melelahkan.
Luna mendengar derap langkah, ia yakin yang masuk itu ada presiden direktur anak dari pak Thomas Belmore yang bernama Wiga Belmore. Presiden direktur bernama pak Thomas itu memutuskan untuk mewariskan jabatannya kepada anak sulungnya sudah lima tahun belakangan ini. Katanya beliau memiliki anak satu lagi bernama Sebastian yang sedang berada di New York, katanya bekerja di salah satu perusahaan terkemuka di New York. Gosipnya seperti itu yang ia dengar, ia yakin Sebastian bekerja untuk mencari relasi atau pengalaman kerja saja. Untuk apa bekerja sementara uang mereka tidak berseri, dan pasti mengalir deras di ATM nya.
Luna bergegas keluar dari ruangan, ia mendengar pintu ruangan terbuka. Ia menarik nafas dalam-dalam, dan lalu pintu itu terbuka. Ia menatap seorang pria mengenakan kemeja putih yang ditumpuk dengan jas hitam, kemeja itu sudah terbuka satu kancing di atas. Ia sedikit terlonjak memandang seorang pria bak dewa Yunani.
Ia terpana, satu kata di dalam hatinya, ‘He’s hot!” ia tahu bahwa Zeus adalah makhluk yang paling kuat di mitologi Yunani. Ia menelan ludah, seumur hidupnya ia bekerja di sini, baru kali ini ia berhadapan langsung dengan pak Wiga. Ternyata dia se-sexy itu, rahangnya tegas, alisnya tebal dan matanya tajam. Terlebih tubuhnya tinggi proporsional.
Ia bahkan bisa melihat orang-orang seperti dia di film-film yang ia tonton. Dia mirip dengan Keanu Reeves saat masih muda, yang sekarang masih menjadi idolanya. Otaknya masih membayangkan bagaimana sexy nya wajah itu. Ia merasakan seseorang memanggil namanya.
“Kamu sekretaris saya, yang baru?” Tanyanya.
“Iya, pak,” Luna sadar dari lamunannya.
“Nama kamu Luna?”
“Iya, pak.”
Wiga memperhatikan wanita berada tidak jauh darinya, dia mengenakan baju berwarna putih dan rok span. Wajahnya manis, hidungnya kecil mancung, matanya bening karena dia tidak menggunakan softlens, rambutnya panjang lurus. Ia mencium aroma parfum black opium perpaduan antara vanilla dan coffee dari tubuh wanita itu, selera parfume nya sangat baik, tidak terlalu menyengat, jadi ia suka.
“Bawa note kamu, ada beberapa yang harus kerjakan.”
“Baik pak.”
Wiga lalu masuk ke dalam, ruangannya. Ia meletakan tas kerja di atas meja, ia menyandarkan punggungnya di kursi. Ia tidak masalah sekretarisnya siapa, yang penting kerjaanya bagus. Dan yang terpilih, ternyata wanita itu. Tidak ada yang special dari wanita bernama Luna, kelebihannya hanya berwajah manis, bukan seperti sekeretarisnya yang dulu yang memiliki wajah rupawan.
Luna mengambil bukunya di atas meja kerjanya, ia lalu masuk ke dalam ruangan pak Wiga. Ia menahan debaran jantungnya. Ia duduk di kursi kosong dihadapan pak Wiga, ia melihat pria itu membuka leptop tanpa memperhatikanya. Ia duduk di sini, seperti sedang melakukan sidang skripsi, yang tidak dapat mengeluarkan pendapatnya.
Wiga mengistirahatkan punggungnya di kursi, di atas meja kerjanya terdapat map bening, ia melihat di dalamnya sebuah CV karyawan, ia melihat foto profil wanita itu di sana dengan latar berwarna biru.
“Ini punya kamu?” Tanya Wiga, memperhatikan wanita bernama Luna.
“Iya, pak. Itu dari HR.”
Wiga mengambil CV itu, ia memandang wanita itu sekali lagi, “Nama kamu Luna Sadie?”
“Iya, pak, benar.”
“Sekarang tinggal di mana?”
“Tinggal di apartemen Tamansari Sudirman?” Ucap Wiga, ia melihat alamat tertera di sana.
“Iya, pak.”
Wiga melihat ke arah bawa, “Dulu kamu public relationship.”
“Iya, pak.”
“Asli Jakarta?”
“Iya, pak. Rumah orang tua saya di Kelapa Gading. Karena jarak rumah dan kantor jauh, saya putuskan untuk sewa apartemen dekat kantor.”
Ia tahu kalau public relationship adalah bertugas mengelola citra dan reputasi public melalui langkah komunikasi strategis terhadap informasi yang disebarluaskan untuk mendapatkan keuntungan dalam bentuk persepsi public yang positif. Yang jelas keahiliannya, mampu berkomunikasi, menganalisis, observasi, kemapuannya manajerial, berpikir kreatif dan menguasai bahasa asing. Oleh sebab itu, wanita itu menjadi kandidat terkuat untuk menjadi sekretarisnya.
Wiga memasukan CV itu ke dalam map nya lagi. Ia memandang wanita bernama Luna, ia melihat di tangannya ada pulpen dan kertas.
“Saya mau memberi kamu joddesk tambahan.”
“Baik pak.”
“Kamu mengatur export license dan menyiapkan dokumen-dokumen untuk keperluan export.”
Jujur ia belum pernah memegang jobdesk ini, baik di sini atau di perusahaan-perusahaan sebelumnya. Sekarang mendapat tugas mengurus export license.
“Baik pak.”
“Oiya, satu lagi, saya sedang membangun perusahaan kecil.”
“Perusahaan yang mana pak?”
“Sekolah bakat, Cantata yang ada di Kelapa Gading. Nanti kamu ya, yang hendel kas kecil dan kas besar. Dan semua keuangan di sana.”
“Karyawannya tidak banyak hanya 10 orang. Nanti mereka ngasi laporan ke kamu, dan periksa terlebih dahulu, baru kasih ke saya laporannya.”
“Kas harian juga pak?”
“Iya.”
Ia tidak menyangka kalau ia mendapat tugas tambahan diluar jobdesk nya, dan itu perkejaan yang sulit untuknya. Ia sama sekali tidak ada besic finance ataupun accounting. Pekerjaan ini di luar exspetasinya. Ia pikir pekerjaanya hanya mengurus dokumen dan jadwal meetin saja, ternyata ia mendapatkan pekerjaan di luar itu. Jika seperti ini, ia harusnya mendapatkan gaji tambahan.
“Kamu bersedia?”
“Bersedia.”
“Oke, itu saja,” ucap Niko.
Luna beranjak dari duduknya, ia memejamkan mata beberapa detik. Oh Tuhan, ia tidak tahu apakah nanti ia akan menyusul Risa resign apa tidak, karena melihat perhari pertama ia bekerja saja sudah seperti ini, apalagi nanti.
“Luna,” ucap Wiga, sebelum wanita itu meninggalkan ruangannya.
Luna menoleh ke belakang, “Iya, pak.”
Wiga mengambil berkasnya di dalam laci, ia masukan ke dalam tas kerja-nya. Tubuhnya sangat lelah, ia perlu istirahat karena dari perjalanan jauh. Ia beranjak dari duduknya, ia membawa tas nya kembali.
“Saya akan pulang sekarang. Kalau kamu mau pulang juga tidak apa-apa.”
“Baik pak.”
Luna memandang pak Wiga pergi meninggalkan ruangannya. Pria itu menghilang dari balik pintu, ia masuk ke dalam ruangannya lagi. Sepertinya ia bisa mengeluarkan pendapatnya tentang bos nya yang satu ini. Secara fisik dia memang sempurna. Namun setelah ia pelajari, bahwa bos nya itu tidak punya hati dan memiliki ego selangit. Pantas saja tidak ada yang betah menjadi sekretarisnya, karena dia seenak jidanya memberi pekerjaan di luar nalarnya. Dan itu pekerjaan yang sangat tidak masuk akal, yang seharusnya dikerjaan oleh satu pegawai, kenapa ia harus menghendel juga perusahaan lain.
Ia mengambil ponselnya, ia harus menelfon Manda memberi tahu apa yang telah terjadi sini. Ia meletakan intercom di meja,
“Halo, dari divisi marketing, ada yang bisa saya bantu?”
“Manda, ini gue Luna,” ucap Luna duduk di kursinya, ia tidak perlu basa-basi lagi untuk menceritakan keluh kesahnya.
“Iya, Lun. Kenapa?” Tanya Manda.
“Lo tau, apa yang gue alami hari ini, pertama kali ketemu pak Wiga?”
“Kenapa?”
“Gue udah dikasih jobdesk di luar kerjaan gue sama pak Wiga. Padahal di catatan Risa kemarin, juga banyak banyak kerjaan di luar dari jobdesk sekretaris. Gila nggak sih pak Wiga! Sumpah parah banget. Pulang-pulang dari Singapur ngasih kerjaan sebanyak ini!”
“Kerjaan apa sih?”
“Gue yang ngatur export license.”
“OMG! Serius?”
“Serius lah. Enggak hanya itu gue di suruh hendel kas kecil dan kas besar di perusahaan barunya. Sumpah ya, gedeg banget gue. Itu kan kerjaan yang seharusnya dikerjain satu karyawan, kenapa gue yang di suruh?”
“Iya, sih. Apalagi itu keuangan. Parah banget nggak sih pak Wiga. Pantesan banyak yang resign.”
“Lo sanggupin nggak?”
“Iya.”
“Lo sih, pakek sanggupin segala!”
“Gue nggak enak mau Man! Kan lo tau sendiri gue baru di sini! Sumpah ya, sengak banget, dia!”
“Sabar, Lun. Pak Wiga mungkin orangnya emang kayak gitu, nikmati aja.”
“Harusnya nggak boleh gitu dong Man! Ini tuh, nggak bisa di normalisasikan, ini namanya penyiksaan!”
“Coba jalanin dulu, kalau nggak sanggup, ngomong langsung sama pak Wiga.”
“Haduh, sumpah ya. Dari pada kayak gini, mending gue jadi PR lagi deh!”
“Lo udah tanda tangan kontrak. Mau nggak mau lo harus terima. Enggak ada jalan untuk balik lagi jadi PR.”
Ester memejamkan mata, menahan amarah, “Oh Jesus! Semoga gue kuat kerja sama pak Wiga.”
“Amen.”
Luna menarik nafas beberapa detik, ia menenangkan hatinya. Tapi tetap saja hatinya masih mengumpat, ingin berteriak. Ia berusaha setenang mungkin, ia dibayar mahal posisi ini untuk menghadapi pak Wiga. Ia harus membayar cicilan apartemen dan kehidupannya. Mau bagaimanapun ia tetap harus bertahan di posisi ini.
“Gue kayaknya mau balik aja deh, ngebetin di kantor.”
“Cepat amat. Baru juga jam 2.”
“Pak Wiga nya udah balik. Ke kantor cuma ngasih gue kerjaan gila, biar gue bisa resign kayak si Risa dan sekretaris-sekretaris dia yang dulu!” Dengus Luna.
“Bisa jadi, itu rencana dia buat lo nggak betah.”
“Tuh, kan gue bilang apa! Pasti tujuannya gitu,” ucap Luna.
“Pokoknya lo jangan nyerah aja. Harus kuat mental, entar lo malah diketawain sama si Ana.”
“Bener sih itu!”
“Yaudah deh, gue balik aja. Lagian bos juga udah balik.”
“Pak Wiga nyuruh balik tadi?”
“Iya.”
“Oke. Lo hati-hati ya.”
Luna mematikan komputernya, ini merupakan pertama kalinya dia kerja sebegai sekretaris. Dan bos nya mempersilahkan dirinya pulang lebih awal dan itu merupakan hal mutlak yang harus ia lakukan. Jarang-jarang ia pulang awal seperti ini, tapi yakinlah setelah ini ia pulang lebih lama dari karyawan lainnya.
****