Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 7

HAPPY READING

***

Penerbangan dari bandara Internasional Soekarno Hatta pukul 19.35 dan setibanya di bandara Internasional Ngurah Rai pukul 22.35 menit. Mereka melangkahkan kakinya menuju pintu kedatangan bersama turis lainnya. Mereka akan berada di pulau ini dua hari tiga malam demi kepentinngan pekerjaan, bukan berkencan. Ia menyeimbangi langkah pak Wiga sambil menarik kopernya.

“Kamu pernah ke Bali?” Tanya Wiga membuka topik pembicaraan.

“Pernah pak,” ucap Luna.

“Di mana tempat favorit kamu ketika di Bali?”

Luna melirik pak Wiga yang meneruskan langkahnya, “Bali itu terkenal dengan pantainya, tapi saya lebih suka kawasan perbukitannya yang dingin. Sebenernya banyak tempat yang bagus, kalau saya sebutkan salah satunya saya akan memilih Ubud.”

“Saya suka pemandangan sawah yang indah, di sana benar-benar membuat saya merasa betah berlama-lama menikmatinya. Saya ke Monkey Forest, Pura Taman Saraswati yang sering dijadikan tempat pertunjukan tari kecak dan tidak lupa ada pasar Seni Ubud, belum lagi banyak café dan restoran yang menarik untuk sekedar duduk menikmati kopi atau menyantap makan siang dengan menu ala Bali.”

“Menu apa yang kamu sukai?”

“Saya punya restorann favorit di daerah sana, namanya restoran bebek bengil, rasanya enak sekali. Bapak mau coba ke sana?”

“Sama kamu?”

“Iya, dong sama siapa lagi. Kan bapaknya sama saya di sini.”

Wiga tertawa, ia melirik Luna, wanita itu menawarkan makanan favorit nya di Bali, “Baik, apa salahnya besok setelah meeting kita makan di restoran bebek bengil pilihan kamu.”

Luna tersenyum sumeringah, “Baik pak.”

Akhirnya mereka sudah berada di depan pintu kedatangan, ia melihat banyak orang yang sedang menunggu jemputan. Luna mencari keberadaan mobil milik hotel Sheraton, ia tadi melihat ponselnya, katanya sang driver sudah berada di depan pintu kedatangan menunggu mereka. Ia melihat sebuah mobil Alphard berwarna hitam dengan list di sampingnya bertulisan Hotel Sheraton Denpasar.

“Itu pak mobilnya,” tunjuk Luna.

Wiga mengarahkan pandangannya ke arah mobil Alphard, ia menatap driver mengenakan seragam hitam sedang menunggu. Driver itu menyadari kahadiran mereka dan pria itu tersenyum melangkah mendekat.

“Selamat malam, pak Wiga dan ibu Luna?” Sapa nya ramah.

“Selamat malam juga pak. Iya benar, saya ibu Luna dan ibu bapak Wiga,” ucap Luna memperkenalkan diri.

“Mari pak, ibu, saya bantu bawa kopernya.”

“Baik pak.”

Luna dan Wiga menyerahkan kopernya kepada driver. Pria itu membuka pintu samping, ia dan pak Wiga masuk ke dalam. Luna mengistirahatkan punggungnya di kursi, inginnya segera tiba di hotel dan beristirahat, karena perjalanan dari Jakarta menuju Jakarta tetap saja sangat melelahkan. Ia perlu air hangat untuk menyegarkan tubuhnya lalu setelah itu ia tidur, agar besok pagi tubuhnya segar.

Beberapa menit kemudian mobil meninggalkan area bandara. Wiga melirik jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 23.00, ia memandang Luna yang berada di sampingnya. Wanita itu menatap ke arah jendela.

“Kamu capek?” Tanya Wiga.

“Ah, nggak terlalu, kenapa pak?” Tanya Luna, padahal di dalam lubuk hatinya paling dalam, ia ingin menjawab ‘iya pak, sangat lelah. Bapak tau kan kita dari Jakarta saja itu sore, lalu terjebak macet, sampai di Bali jam 11 malam, kebayang dong pak, capeknya di perjalanan’ ngaco nih bapak kalau bilang ini nggak capek.

“Nanti sampai hotel, setelah bersih-bersih, kamu temani saya makan. Saya tiba-tiba lapar ingin makan.”

“Baik pak,”

Padahal jika dipikir-pikir apa gunanya layanan service room, dia bisa memesan makanan lewat kamar. Cari di mana makan malam-malam begini, emang restoran ada buka. Ya pasti buka 24 jam di restoran hotel, apalagi bar dan loungenya. Ah, ya makan di bar, mungkin pak Wiga niatnya nyantai sejenak di Bar sambil cerita-cerita dan minum bir, dengan alasan makan.

Mumpung berada di Bali, nginap di hotel bintang lima dengan fasilitas yang memadai, maka ia akan menikmati hari-harinya di sini sebaik mungkin. Jika membicarakan tempat rekreasi, ia punya tempat kesayangan, salah satunya pulau Bali ini. Ia bukan wanita yang banyak gaya, asal ia bisa bengong menikmati pemandangan, itu sudah menjadi suatu yang membuatnya tenang.

***

Akhirnya mereka tiba di hotel Sheraton, ia melihat lobby hotel yang tampak lengang, ada beberapa tamu hotel duduk di sofa. Ia melangkah menuju meja counter receptionis melakukan transaksi chek in. Setelah itu receptionis memberikan kunci akses kepadanya dua. Ia menatap pak Wiga berada tidak jauh darinya. Ia sekretaris di sini, dan ini memang tugas dirinya. Ingat di sini ia bekerja untuk pak Wiga, syukur-syukur kerja nyambi liburan.

“Sudah?” Tanya Wiga, memandang Luna.

“Iya sudah, pak.”

Luna dan Wiga masuk ke dalam lift, koper mereka dibawa oleh bellboy hotel. Mereka masuk ke dalam lift dan lift membawa mereka menuju lantai atas. Ia kemarin memesan dua kamar suit ocean view, dengan balkon, dengan tempat tidur king.

Pintu lift terbuka, mereka melangkah menuju koridor, kamar mereka berada di lantai paling atas, ia berhenti di kamar nomor 5120 ia berikan kunci akses itu kepada pak Wiga.

“Ini kunci akses-nya pak.”

“Terima kasih,” ucap Wiga, ia mengambil kunci itu dari tangan Luna.

“Setengah jam lagi bertemu saya di sini.”

“Baik pak.”

Luna memandang pak Wiga menempelkan kartu akses di depan daun pintu, setelah itu pria itu menghilang dari pandangannya. Ia masuk melangkah masuk ke dalam kamarnya, tepatnya di samping kamar pak Wiga.

Ketika ia masuk ke dalam kamar, ia menempelkan kartu itu di dekat pintu, seketika lampu kamar menyala. Pertama kali ia masuk, ia di sambut walk in closet dan kamar mandi. Ia meletakan kopernya di lemari, dan melihat ke arah kamar mandi, di dalamnya ada bathtub. Ia ingin menghamburkan dirinya ke tempat tidur, betapa rindunya dengan Kasur.

Inginnya segera tidur, namun apa daya pak Wiga mengajaknya makan malam ini. Padahal ia sama sekali tidak lapar karena di pesawat ia tidak bisa tidur. Sementara pak Wiga sepanjang perjalanan menuju Bali, di pesawat dia tidur, bahkan makanan yang di sediakan oleh pihak maskapai, tidak dia sentuh sama sekali. Pantas saja dia lapar dan masih on jam segini.

Luna membuka blezer dan ia juga membuka sepatu, ia bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Karena pak Wiga memberinya waktu setengah jam untuk mengajaknya keluar. Andai pak Wiga bukan bos nya, maka ia lebih baik memilih tidur saja.

Ia pernah membaca sebuah artikel, menurut healthiline mengatakan mandi air hangat dapat menonaktifkan system saraf parasimpatis yang membuat seseorang lelah. Ini sebabnya di bawah guyuran air hangat tubuhnya menjadi rileks.

Setelah mandi, ia membuka kopernya, ia hanya membawa pakaian beberapa helai saja. Ia mengambil mini dress floral berwarna merah, ia mengambil sandal yang sudah ia siapkan dari Jakarta. Ia mengoles makeup tipisnya, yang penting ia tetap berpenampilan menarik, karena tau sendiri pak Wiga itu seperti apa. Dia tidak suka dengan wanita yang berpenampilan asal-asalan, walau malam seperti ini ia tetap berpenampilan stand out.

Setelah sempurna ia keluar dari ruangan, karena ini sudah setengah jam lamanya, ia tidak ingin pak Wiga menunggunya. Luna keluar dari kamar, ia mendapati pak Wiga sudah di depan kamarnya. Ia terpana beberapa detik, saat ini ia melihat pak Wiga dengan pakaian santainya. Dia mengenakan celana putih pendek dan kaos berwarna hitam. Lihatlah walau mengenakan pakaian seperti itu, tidak mengurangi ketampanannya. Dia seperti benar-benar turis yang menakmati liburannya di Bali.

Jantungnya seketika berdegup kencang, entah apa maksudnya hatinya menjadi maraton seperti ini. Padahal kemarin-kemarin ia tidak jantungan seperti ini. Ia berusaha setenang mungkin dan melangkah mendekati pak Wiga.

Wiga menatap penampilan Luna, kali ini dia jauh lebih sexy, mungkin karena dia mengenakan mini dress dengan bahu terbuka, kulit dan kaki jenjangnya terlihat. Entahlah, ia merasa kalau Luna terlihat sangat menarik di matanya.

Luna menyeimbangi langkah pak Wiga berjalan menuju koridor, “Kita makan di mana pak?” Tanya Luna.

“Di bar lantai tiga,” ucap Wiga.

Luna dan Wiga masuk ke dalam lift dan lift membawanya menuju lantai lantai tiga. Ia melirik pak Wiga yang berada di sampingnya, jam 12 malam seperti ini, enaknya tidur, beneran deh ia tidak bohong.

Ketika tiba di bar, ia melihat banyak tamu berada di sana, dentuman music terdengar dari berbagai sisi. Bar ini view nya langsung ke laut, dan kolam renang yang berada di bar menambah kesan glamor. Bar di sini, ada indoor dan ada juga aoutdoor. Mereka duduk outdoor, posisinya dekat kolam.

Server datang menghampiri mereka membawa buku menu, Wiga menatap menu itu, “Kamu bisa minum bir?” Tanya Wiga.

“Bisa pak.”

Wiga mendongakan wajahnya menatap server, “Saya pesan dua botol beer Heineken, air mineral, beef wellington dan calamari. Kamu apa?” Tanya Wiga.

Luna membawa buku menu, “Saya, pesan paccheri dan wagyu meatballs, air mineral dan mac and cheese,” ucap Luna.

“Ada tambahan lainnya pak.”

“Tidak itu saja,” ucap Wiga.

Luna melihat server pergi meninggalkan mereka, suasana bar sangat nyaman, angin malam berhembus menerpa wajah mereka. Menikmati angina pantas dan view kolam seperti ini sungguh menenangkan. Rasa lelahnya tadi hilang begitu saja.

“Besok ketemu ibu lenny di restoran ini jam 12, pak,” ucap Luna membuka topik pembicaraan.

“Ok.”

Wiga menarik nafas, menatap iris mata Luna, rambut panjangnya diterpa angin, dia bergerak secara natural merapikan rambut dengan jari tangannya. Ah, betapa cantiknya di, semakin hari dilihat semakin menawan, bahkan ia betah berlama-lama menatap wanita bernama Luna. Mungkin wajahnya yang manis jadi tidak ada bosan. Ia mengalihkan tatapannya ke arah bibir penuh itu, ia ingin tahu bagaimana rasanya wanita itu menciumnya balik.

“Kapan terakhir kamu pacaran?” Tanya Wiga membuka topik pembicaraan.

“Dua tahun lalu pak.”

“Kenapa putus?”

“Yah, karena sudah waktunya. Sudah waktunya berpisah dan berkembang di jalan masing-masing. Karena awalnya berbeda lalu beberapa titik tertentu tidak satu frekuensi. Saya merasa kalau mantan itu merupakan suatu pelajaran, sebuah tangga yang memudahkan saya meraih apa yang saya mau dan versi terbaik saya.”

“Saya selalu percaya bahwa setiap pasangan yang hadir di hidup saya datang untuk memberikan pelajaran dan pengalaman.”

“Sebenarnya banyak alasan lain di balik itu, intinya ya memang sudah time out dan yang terbaik adalah berpisah. Kalau ganteng sekalipun, kalau hatinya tidak satu frekuensi, bagaimana?”

Wiga menyungging senyum, ia melihat server menyajikan bir kepada mereka. Wiga menyerahkan satu botol bir dihadapan Luna. Luna mengambil bir itu, dan meneguknya secara perlahan, begitu juga dengan Wiga.

“Kalau tidak satu frekuensi, putar balik.”

Luna tertawa, ia menatap pak Wiga, kali ini mereka benar-benar ngobrol santai. Ia suka obrolan mereka, karena jika ngobrol tentang pekerjaan rasanya kurang tepat, di tengah malam seperti ini.

“Buang-buang waktu dan perasaan,” Luna tertawa geli.

“Exactly,” ucap Wiga.

Wiga memandang ada pasangan turis sedang berciuman di dekat table mereka. Pria itu bule dan si wanita sepertinya warga local. Jika berbicara klub malam banyak sekali kejadian orang berhubungan seks di area terbuka seperti ini. Tinggal dan tibur bersama dengan lawan jenis tidak terikat hubungan suami istri adalah hal biasa. Terlalu biasa hingga orang tidak peduli. Bicara tentang klub malam, komunitas-komunitas seperti LGBT juga banyak, banyak pria sinyal SOS berupa missed call, I’m sorry ia masih suka wanita seperti Luna. Lagi-lagi ia berpikiran kalau ia suka wanita seperti Luna. Apa ia tertarik? Sulit dijelaskan, mungkin karena dia ada ketika ia butuhkan, makanya ia berpikiran seperti itu. Tapi tidak menutup kemungkinan kalau ia tertarik.

“Bapak lihat apa?” Tanya Luna, karena seketika pembicaraan mereka terhenti, ia menoleh ke belakang, ternyata ia melihat sepasang kekasih sedang berciuman.

“Just kiss …,” ucap Luna.

Wiga kembali mengalihkan pandangannya ke Luna, “When did you last kiss?” Tanya Wiga penasaran.

“Maybe, two years ago with my ex.”

“Really? Selama itu? Kamu pasti lupa bagaimana berciuman.”

Luna tertawa, “Ya nggak lah, ngaco deh bapak. Itu sih bapak kalau lupa!”

“Saya justru ingin cium kamu.”

Luna mengerutkan dahi, ia menatap pak Wiga, “Bapak, bercanda kan,” ucap Luna.

“Sejak kapan saya bercanda Luna.”

Luna menelan ludah, ia menatap iris mata tajam itu. Oh God, ia baru sadar, sejak kapan pak Wiga senang bercanda? Pak Wiga mau menciumnya? Serius? Kalau serius ya hayukkk! Saya nggak akan nolak bapak! Mereka saling berpandangan satu sama lain di bawah lampu temaram, tatapan itu tidak ada keraguan atas ucapannya. Pandangan mereka teralihkan dengan server yang sudah menyajikan hidangan di meja.

Ia mengambil botol beer dan meneguknya, “Jadi ucapan bapak serius?”

“Iya.”

“Alasannya?”

“Karena kamu satu-satunya wanita yang saya kenal di sini.”

“Jadi alasan itu bapak mau cium saya?”

“Ada alasan lain.”

“Apa?”

“Mungkin karena kamu menarik.”

Bibir Luna terangkat, ia mengambil garpu dan sendok dan memakan makananya dengan tenang. Dengan makan seperti ini, membuatnya melupakan sejenak atas pak Wiga ingin menciumnya? Mimpi apa ia semalam, pak Wiga ingin menciumnya?

Apa bisa seorang pria mencium wanita yang tidak disukai? Ia memikirkan jawaban itu. Ini arahnya ke mana ya? Ia sendiri belum tentu bisa berciuman dengan pria yang tidak ia sukai, aneh saja rasanya. Kalau ia di suruh cium pak Wiga, ia mau saja, karena kapan lagi bisa berciuman dengan orang nomor satu di Astra Grup, apalagi dia ganteng, dan wangi, semua akan termaafkan walau tidak suka.

Jika dari sisi pria, tidak disukai tidak sama dengan benci, terlalu luas untuk dijabarkan. Jawabannya mungkin iya, karena bisa dilakukan, buktinya banyak sekali penjaja seks komersial yang masih laris manis di luar sana, dan itu dilakukan tanpa cinta. Apa bawaan biologis? Karena baru saja pak Wiga melihat adegan hot kissing di table sebelah.

“Saya menarik, lalu bapak ingin cium saya?”

“Kalau kamu mau. Kalau tidak, ya tidak apa-apa, saya tidak memaksa,” ucap Wiga, ia memotong dagingnya dengan pisau, lalu memasukan makanan itu ke dalam mulutnya.

Wiga menatap Luna, wanita itu hanya diam. Ia juga fokus dengan makanannya, ia menunggu reaksi wanita itu.

“Kamu diam, jadi kamu tidak mau.”

Luna mendongakan wajahnya, ia menatap Wiga, pria itu memperhatikannya, “Saya diam bukan berarti tidak mau.”

“Jadi itu tandanya kamu mau?”

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel