Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB. 4 Janji Untuk Tak Akan Pernah Menyerah

Sesaat setelah acara reuni selesai,

Sinar matahari yang hangat menyapu wajah Zera ketika dia berdiri di dekat dermaga Pantai Ancol, menatap ombak yang tenang berkejaran di tepian. Di sampingnya, Farez tersenyum lembut, memperhatikan raut bahagia Zera. Mereka baru saja memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama, mengenang masa-masa SMA yang penuh kenangan. Hubungan mereka yang sempat kandas kini terajut kembali dengan indah.

"Aku nggak pernah bosan lihat laut ini, Kak Farez," ujar Zera sambil menghela napas panjang.

"Rasanya tenang banget di sini. Jadi ingat saat dulu kita masih duduk di bangku SMA. Kita sering menghabiskan waktu di sini," tutur sang gadis lagi.

Farez mengangguk.

"Aku tahu. Laut ini juga saksi waktu kita sering kabur habis pulang sekolah, ingat nggak?"

Zera tertawa kecil, mengangguk.

"Ha-ha-ha. Kamu dulu sering banget ngerayu aku buat ke sini, padahal kita tahu bakal dimarahin sama guru BK kalau ketahuan."

"He-he-he. Tapi mereka nggak pernah tahu, kan?" jawab Farez sambil terkekeh.

"Tapi yang paling aku ingat, waktu kita duduk di pasir, kamu ngomong kalau suatu hari kamu pengin jadi pengusaha sukses."

Zera menoleh, tersenyum penuh makna.

"Dan sekarang aku masih kejar mimpi itu. Tapi kamu, Kak Farez? Apa cita-citamu dulu sudah tercapai?"

Farez menunduk sebentar, lalu menatap Zera dengan serius. "Cita-cita terbesarku sekarang cuma satu, yaitu bikin kamu bahagia."

Kata-kata Farez membuat Zera terdiam sejenak, lalu tersenyum sambil menyembunyikan wajahnya yang sedikit memerah.

"Gombalan kamu nggak pernah berubah ya, Kak."

“Ha-ha-ha! Semuanya hanya untukmu, Zera. Apapun itu. Kali ini aku akan memperjuangkan hubungan kita, apapun yang terjadi!” ucapnya penuh harap.

Mereka pun lalu berjalan menyusuri pantai, kaki keduanya menyentuh pasir yang mulai terasa dingin. Angin sore meniup lembut, membawa aroma laut yang khas. Zera dan Farez memutuskan untuk berhenti sejenak, duduk di sebuah batu besar yang menghadap ke laut.

"Kamu tahu nggak, Kak?" ucap Zera sambil menatap horizon indah di depannya.

"Aku sempat berpikir kita nggak akan pernah bertemu lagi, Kak Farez."

"Aku juga," jawab Farez pelan.

"Waktu kita pisah dulu, jujur aku nyesel banget. Tapi sekarang, aku janji, aku nggak akan sia-siakan kesempatan ini," ucapnya lagi.

Zera lalu menatap Farez. "Janji?"

"Janji!" seru Farez dengan nada meyakinkan.

Hari mulai gelap. Matahari perlahan tenggelam di cakrawala, menciptakan warna jingga keemasan yang memantul indah di permukaan laut. Farez berdiri dan mengulurkan tangannya kepada Zera.

"Ayo, aku ada kejutan kecil buat kamu," katanya.

"Kejutan apa?" Zera memandangnya curiga.

"Kamu ikut aja dulu. Percaya sama aku," ujar Farez dengan senyum khasnya.

Mereka pun berjalan menuju sebuah kafe kecil di tepi pantai. Lampu-lampu kafe yang remang menciptakan suasana romantis. Di salah satu sudut kafe, Farez memilih meja yang menghadap langsung ke arah laut.

"Tempat ini baru, ya?" tanya Zera sambil duduk.

"Iya, aku baru tahu juga. Tapi pas lihat tadi siang, aku pikir ini tempat yang pas buat kita."

Seorang pelayan datang dengan buku menu, dan Farez memesan jus jeruk untuk Zera serta kopi hitam untuk dirinya sendiri. Sambil menunggu pesanan datang, mereka melanjutkan obrolan.

"Kamu masih ingat lagu favorit kita waktu SMA?" tanya Farez tiba-tiba.

Zera mengangguk. "Tentu saja. Lagu itu masih ada di playlist-ku sampai sekarang."

Farez tersenyum, lalu mengeluarkan ponselnya. Dia lalu memutar lagu yang dimaksud, dan nada-nada lembut mulai mengalun. Zera tersenyum mendengarnya.

"Masih suka lagu ini?" tanya Farez.

"Banget," jawab Zera.

"Kamu selalu tahu cara bikin aku terharu ya, Kak."

“Ha-ha-ha! Tentu saja, Zera. Karena kamu adalah tambatan hatiku,” ucap Farez dari kesungguhannya hatinya.

Minuman mereka pun datang, dan keduanya mulai menikmati suasana malam. Angin laut yang sejuk menambah kesan damai.

"Kak Farez," ucap Zera pelan, memecah keheningan.

"Hmm?"

"Terima kasih," ucap Zera sambil menatap lurus ke mata Farez.

"Terima kasih sudah memilih untuk nggak menyerah dengan hubungan kita."

Farez menggenggam tangan Zera yang berada di atas meja.

"Aku yang harusnya berterima kasih. Karena kamu masih mau kasih aku kesempatan kedua."

Obrolan mereka terhenti sejenak ketika pelayan datang membawa makanan dua piring pasta seafood. Farez tahu Zera suka makanan laut, dan sang pria sengaja memesan menu favorit Zera.

"Kamu benar-benar merencanakan ini semua ya, Kak?" ucap Zera sambil tersenyum.

"Tentu saja. Aku mau hari ini jadi kenangan indah buat kita berdua," jawab Farez sambil menyendok makanannya.

Setelah makan, mereka memutuskan untuk berjalan kembali ke dermaga. Laut malam yang tenang, ditemani suara ombak dan lampu-lampu kapal di kejauhan, menciptakan suasana yang sulit dilupakan.

"Aku senang banget hari ini, Kak Farez," ucap Zera sambil menggenggam lengan Farez erat.

"Aku juga," jawab Farez.

"Dan aku berharap ini bukan yang terakhir buat kita."

Zera mengangguk, lalu bersandar di bahu Farez. Keduanya berdiri di sana cukup lama, menikmati malam tanpa perlu banyak bicara. Dalam hati mereka, masing-masing merasa bahwa momen ini adalah awal dari perjalanan baru yang akan mereka jalani bersama.

Malam di Pantai Ancol semakin indah dengan suara deburan ombak yang tenang. Farez dan Zera duduk bersebelahan di bangku kayu dekat dermaga, menikmati sisa-sisa suasana romantis setelah makan malam di kafe tepi pantai. Angin laut yang sejuk menyapu wajah mereka, membuat malam itu terasa sempurna.

"Kamu tahu, malam ini benar-benar mengingatkanku pada masa-masa SMA kita, Kak." ujar Zera, tersenyum sambil menatap Farez.

Farez mengangguk, balas menatap Zera.

"Aku juga merasa begitu. Seolah-olah nggak ada yang berubah, ya? Kamu tetap jadi orang yang paling bikin aku nyaman."

Zera tersenyum kecil, lalu mengalihkan pandangannya ke laut.

"Aku harap kita bisa terus seperti ini, Kak Farez. Tanpa ada yang mengganggu kebahagiaan kita."

Namun, suasana hangat itu tiba-tiba terusik oleh suara ponsel Farez yang berdering pelan. Pria tampan itu mengambil ponselnya dari sakunya, membuka layar, dan melihat pesan singkat dari ayahnya.

“Jangan lupa hari Sabtu. Kamu harus hadir di pertemuan keluarga untuk bertemu dengan calon istrimu. Ini penting, Farez. Jangan buat kami malu.”

Farez terdiam. Jantungnya serasa berhenti sesaat saat membaca pesan tersebut. Matanya terpaku pada layar ponselnya, pikirannya bercampur aduk antara bingung dan cemas.

"Kak Farez?" suara Zera membuyarkan lamunannya.

"Hmm?" Farez buru-buru mematikan layar ponselnya dan mencoba tersenyum.

"Ada apa Zera?"

"Kamu kenapa? Kok tiba-tiba diam?" tanya Zera sambil menatap wajah Farez dengan khawatir.

Sang pria pun menarik napas dalam-dalam, lalu menghela napas panjang. Dia tahu jika ini adalah momen yang tepat untuk jujur pada Zera. Namun, lidahnya terasa berat untuk memulai.

"Ada sesuatu yang harus aku omongin sama kamu," ucap Farez akhirnya, suaranya sedikit bergetar.

Zera mengernyit.

"Apa? Kamu kelihatan serius banget."

Farez lalu memandang Zera dengan tatapan penuh kesungguhan.

"Aku nggak tahu gimana cara bilangnya. Tapi aku nggak mau ada rahasia di antara kita."

Zera duduk tegak, menunggu penjelasan Farez.

"Okay, ngomong aja, Kak Farez. Apa yang sebenarnya terjadi?"

Farez mengusap wajahnya, mencoba mengumpulkan keberanian.

"Tadi ... aku dapat pesan dari Papiku. Hari Sabtu nanti, keluargaku sudah mengatur pertemuan untuk menjodohkan aku dengan seorang wanita."

Zera terdiam. Ekspresi wajahnya yang semula santai berubah menjadi serius. Dia menatap Farez, mencari kepastian.

"Apa? Kamu dijodohkan? Sejak kapan, Kak?"

Farez buru-buru menjelaskan. "Dengar dulu, Zera. Ini semua keputusan orang tuaku, bukan keinginan aku. Aku nggak pernah setuju, tapi kedua orang tuaku terus memaksa. Dan sekarang mereka sudah mengatur pertemuan itu."

Zera menunduk, mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya.

"Jadi ... apa rencanamu? Kamu bakal nurut sama mereka?"

Farez menggeleng keras. "Tidak. Aku nggak akan biarkan mereka menentukan masa depanku tanpa persetujuan dari aku. Makanya aku ingin kamu ikut denganku hari Sabtu nanti."

Zera mengangkat wajahnya, menatap Farez dengan mata penuh pertanyaan.

"Maksud kamu, aku ikut ke pertemuan itu? Buat apa?"

Farez menggenggam tangan Zera erat.

"Aku mau jujur di depan kedua orang tuaku. Aku mau mereka tahu kalau aku sudah punya seseorang yang aku cinta, dan itu kamu, Zera."

Zera membeku sejenak, lalu melepaskan genggaman tangan Farez dengan perlahan. "Tapi, Kak Farez ... kalau mereka nggak setuju? Bagaimana kalau kedua orang tuamu nggak menerima aku?"

Farez menatap Zera dengan penuh keyakinan.

"Aku nggak peduli. Aku hanya mau sama kamu. Kita sudah terlalu jauh untuk mundur sekarang."

Zera terdiam, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Ini terlalu mendadak, Kak Farez. Aku nggak tahu apakah aku siap untuk menghadapi mereka."

Farez memegang kedua tangan Zera.

"Aku tahu ini sulit. Tapi aku nggak bisa melakukannya tanpa kamu. Aku butuh kamu untuk ada di sisiku."

Zera menghela napas panjang, lalu menatap Farez.

"Kalau begitu, kamu harus janji. Apapun yang terjadi nanti, kamu nggak akan menyerah pada kita."

Farez mengangguk mantap. "Aku janji. Aku nggak akan pernah menyerah, Zera. Kamu adalah pilihan hatiku, dan aku akan berjuang untuk kita."

Zera akhirnya tersenyum kecil, meski matanya masih menyiratkan keraguan. "Baiklah. Aku akan ikut denganmu hari Sabtu nanti."

Farez tersenyum lega, lalu menarik Zera ke dalam pelukannya.

"Terima kasih, Zera. Aku benar-benar bersyukur punya kamu di hidupku."

Malam itu keduanya menghabiskan waktu lebih lama di tepi pantai, berbicara tentang rencana mereka dan bagaimana menghadapi keluarga Farez. Meski ada kekhawatiran di hati, cinta keduanya yang kuat memberi keberanian untuk melangkah bersama.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel