Ringkasan
Novel ini adalah sekuel novelku yang berjudul : CINTAKU BERSEMI DI MASA REMAJA. Zera dan Farez, sepasang kekasih yang menjalin hubungan saat mereka sama-sama masih duduk di bangku SMA. Namun sayangnya, saat keduanya telah lulus sekolah, mereka terpaksa berpisah karena Zera yang tiba-tiba menghilang dan Farez yang sibuk dengan masa depannya. Namun di suatu ketika, saat mereka berdua telah sama-sama dewasa, Farez dan Zera bertemu kembali di acara reuni sekolah. Cinta keduanya kembali bersemi. Cinta lama yang belum kelar kini telah terpatri kokoh di hati keduanya. Akan tetapi situasi sulit ternyata sedang melanda mereka. Jodoh Farez telah disiapkan oleh kedua orang tuanya, demikian halnya dengan Zera. Mampukah keduanya memperjuangkan cinta mereka? Sanggupkah Farez dan Zera menghalau perjodohan dari kedua orang tuanya? Ataukah ada sesuatu dibalik perjodohan itu yang berkaitan dengan mereka berdua? Yuk silakan disimak kisah cinta romantis mereka. Plagiarisme melanggar undang-undang hak cipta nomor 28 tahun 2014.
BAB. 1 Datang Ke Acara Reuni
Di sebuah perumahan mewah di Kemang Residence,
seorang pria muda bernama Farez Keil terlihat berdiri di depan cermin besar di kamar pribadinya. Mengenakan kemeja biru tua yang dipadukan dengan celana hitam formal, dia tampak rapi dan siap untuk menghadiri acara reuni sekolahnya, SMA Cipta Nusantara. Wajah tampannya yang dihiasi senyum tipis menunjukkan antusiasme yang jarang terlihat darinya.
Setelah memastikan rambutnya tersisir rapi, Farez meraih kunci mobil dan jam tangannya di meja. Langkahnya mantap menuju pintu keluar kamarnya. Dia melewati ruang keluarga yang luas dan elegan dengan sofa empuk berwarna krem serta karpet Persia yang mahal. Namun, langkahnya terhenti saat mendengar suara Papi Deron, ayahnya.
“Farez, duduk dulu sebentar. Ada yang ingin Papi dan Mami bicarakan,” ucap Papi Deron dengan nada serius.
Farez menghela napas pelan, jelas tidak ingin terlibat percakapan panjang saat ini.
“Papi, aku lagi buru-buru. Kalau penting, bisa kita bicarakan nanti?”
Mami Ester yang duduk di samping suaminya menyela, “Tidak, Farez. Ini sangat penting. Duduklah dulu sebentar.”
Dengan malas, Farez melempar pandangan sekilas ke jam tangannya sebelum akhirnya menuruti permintaan mereka. Pria itu menjatuhkan diri ke sofa empuk di hadapan kedua orang tuanya, seraya memasang ekspresi enggan.
“Ada apa, Papi, Mami? Aku ada acara reuni sekarang, dan waktuku nggak banyak. Tentunya aku tidak mau datang telat di acara tersebut,” ujar Farez sambil menyilangkan tangannya di dada.
Papi Deron menarik napas panjang, jelas mencoba memilih kata-kata yang tepat. “Sabtu ini, tolong kosongkan jadwalmu. Papi ingin mengenalkanmu pada seorang gadis.”
Farez langsung mengernyitkan dahi.
“Apa maksudnya? Gadis siapa?”
Mami Ester menimpali,
“Anak sahabat Papi. Dia gadis yang baik, pintar, dan cocok untukmu. Kami ingin kamu bertemu dengannya.”
Mata Farez menyipit, tanda dia mulai kehilangan kesabaran. “Mami, Papi, kalian serius? Aku sudah bilang aku nggak mau dijodohkan! Aku bisa mencari calon istriku sendiri.”
“Kamu selalu bilang begitu, tapi hasilnya apa?” balas Papi Deron dengan nada tegas.
“Sudah berapa kali kamu berjanji akan serius soal pernikahan, tapi nyatanya Papi nggak pernah lihat buktinya. Pokoknya, Sabtu ini kamu harus ada di rumah!”
“Papi, ini hidupku! Aku yang menentukan siapa yang akan jadi istriku!” sergah Farez dengan suara meninggi.
Mami Ester mencoba meredam suasana,
“Farez, dengarkan dulu. Kami hanya ingin yang terbaik untukmu. Gadis ini sudah kami kenal sejak lama. Dia akan membawamu ke jalan yang lebih baik.”
“Tapi aku nggak butuh pilihan kalian, Mi, Pi! Ini hidupku, bukan hidup Papi dan Mami!” Farez berdiri, pandangannya tajam ke arah ayahnya.
Namun, Papi Deron tidak mundur.
“Pokoknya Papi nggak mau tahu. Sabtu ini kamu harus ada di rumah. Jangan mempermalukan kami!”
Farez mengepalkan tangan, menahan amarahnya. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia berjalan cepat keluar dari ruang keluarga, meninggalkan kedua orang tuanya yang hanya bisa saling memandang.
Setibanya di garasi, dia masuk ke dalam mobil sport hitamnya, menyalakan mesin dengan kasar, dan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Dalam perjalanan menuju lokasi reuni, pikirannya terus dipenuhi kemarahan.
“Kenapa sih mereka nggak pernah percaya sama aku?” gumam Farez sambil menggenggam setir erat.
Di lain sisi, keinginannya untuk menghadiri reuni bersama teman-teman SMA-nya tetap ada, meski semangatnya telah pudar. Baginya, reuni ini adalah kesempatan untuk kembali bernostalgia, mengenang masa-masa sekolah yang penuh kenangan.
Farez terus melajukan mobil sport hitamnya di jalanan Jakarta dengan kecepatan cukup tinggi. Udara pagi masih terasa segar, dan meski hatinya sedikit kesal setelah percakapan panas dengan kedua orang tuanya, dia berusaha mengalihkan pikiran ke acara reuni sekolahnya.
“Sudah lama banget nggak ketemu mereka,” gumam Farez sambil melirik kaca spion.
Sang pria berharap reuni ini akan menjadi momen yang menyenangkan, tempat di mana dia bisa mengenang masa-masa SMA bersama teman-teman lamanya. Ada sedikit rasa penasaran juga, apakah semua orang sudah banyak berubah, atau masih sama seperti dulu.
Namun, harapannya untuk sampai lebih awal di lokasi reuni mulai pudar ketika Farez melihat deretan kendaraan yang tidak bergerak di jalan tol. Jakarta pagi itu ternyata tidak bersahabat.
“Ah, macet lagi, macet lagi,” keluh Farez, mengetuk-ngetuk setir dengan kesal.
Pria itu lalu membuka aplikasi peta di layar mobilnya, mencari jalur alternatif. Namun, seperti biasa, kemacetan Jakarta tidak memberikan banyak pilihan. Farez hanya bisa menghela napas panjang sambil memutar musik di dalam mobilnya.
Setelah hampir tiga puluh menit terjebak di kemacetan, kendaraan di depannya mulai bergerak perlahan. Tapi, masalah baru muncul. Tiba-tiba, mobilnya terasa miring ke satu sisi.
“Apa lagi ini?” Farez meminggirkan mobilnya ke bahu jalan, lalu keluar untuk memeriksa. Dia melihat ban depan kanan mobilnya kempes.
“Hebat. Hari ini benar-benar nggak bersahabat,” gerutunya sambil mengacak rambutnya.
Beruntung, Farez melihat ada bengkel kecil tidak jauh dari tempat dia berhenti. Dengan hati-hati, sang CEO lalu mengemudikan mobilnya menuju bengkel tersebut. Begitu sampai, seorang pria paruh baya dengan seragam mekanik menghampirinya.
“Selamat pagi, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?” tanya mekanik itu ramah.
“Ban depan sebelah kanan mobil saya kempes. Bisa dibantu ganti ban?” ucap Farez, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang meskipun hatinya kesal.
“Bisa, Tuan. Silakan parkir di sana,” ujar mekanik itu sambil menunjuk area khusus di bengkel.
Farez mengangguk dan membawa mobilnya ke tempat yang ditunjukkan. Dia lalu turun dan berdiri di samping mobilnya, memperhatikan mekanik mulai bekerja.
“Butuh waktu berapa lama, Pak?” tanya Farez, berharap prosesnya cepat.
“Kalau cuma ganti ban, sekitar dua puluh menit, Tuan. Tapi, kebetulan ban ini perlu diganti dengan yang baru. Harus kami pasang ulang juga, jadi mungkin sekitar tiga puluh sampai empat puluh menit,” jawab mekanik itu sambil memeriksa kondisi ban.
Farez menghela napas panjang.
“Okay, cepat ya, Pak. Saya ada acara penting.”
Mekanik itu mengangguk dan langsung bekerja. Farez berjalan ke ruang tunggu bengkel yang sederhana, lalu duduk di salah satu kursi plastik. Dia melirik jam tangannya, berharap waktu berjalan lebih cepat.
Sambil menunggu, Farez membuka ponselnya dan masuk ke grup reuni SMA-nya di aplikasi chat. Grup itu dipenuhi pesan-pesan antusias dari teman-temannya yang sudah tiba di lokasi.
Joseph :“Bro, gue
udah sampe nih. Tempatnya keren banget!”
Arnold :“Ayo cepat datang, Farez! Kita udah pada nunggu nih.”
Farez :“Ban mobil gue kempes. Gue lagi di bengkel. Gue bakal telat, tapi pasti nyusul.”
Pesan terakhir itu mengundang berbagai balasan.
Arnold :“Ha-ha-ha, klasik Farez! Selalu ada aja dramanya.”
Joseph :“Santai saja, Farez. Yang penting Lo datang.”
Farez tersenyum tipis, sedikit terhibur dengan candaan teman-temannya. Tapi di dalam hati, dia tetap merasa kesal karena harus terlambat ke acara yang sudah dirinya tunggu-tunggu.
Setelah hampir empat puluh menit menunggu, mekanik itu menghampirinya.
“Tuan, ban mobil sudah selesai diganti. Silakan diperiksa,” ucap mekanik itu dengan sopan.
Farez berdiri dan berjalan ke mobilnya. Ban baru sudah terpasang dengan rapi.
“Terima kasih, Pak. Berapa semuanya?”
Mekanik itu menyebutkan jumlahnya, dan Farez segera membayar dengan kartu debitnya. Setelah itu, dia masuk ke mobil dan kembali melajukan kendaraannya menuju lokasi reuni.
Namun, meski jalanan mulai lancar, Farez tahu jika dia akan tiba lebih lambat dari rencana semula.
“Yah, semoga mereka belum mulai acaranya,” gumamnya sambil menambah kecepatan mobilnya.
Sepanjang perjalanan, pikirannya kembali melayang ke masa-masa SMA. Farez ingat bagaimana dia dulu sering bercanda dengan Joseph di kelas, atau bagaimana Arnold selalu menjadi pusat perhatian saat acara sekolah. Pria itu juga ingat beberapa momen indah yang dialami olehnya bersama sahabat-sahabatnya, yang membuat masa sekolah terasa begitu berharga.
Namun ada satu nama gadis yang masih terpatri dalam hatinya saat ini. Farez berharap bisa menemui wanita impiannya itu di acara reuni kali ini.
Setelah hampir satu jam perjalanan dari bengkel, Farez akhirnya tiba di lokasi reuni. Restoran rooftop yang elegan dengan pemandangan kota Jakarta tampak indah dari kejauhan. Dia memarkir mobilnya, merapikan kemejanya, dan melangkah masuk dengan sedikit gugup.
Begitu masuk, suara tawa dan obrolan riuh menyambutnya. Farez melihat banyak wajah akrab yang dulu dia kenal. Beberapa temannya langsung melambaikan tangan ke arahnya.
“Farez! Akhirnya Lo datang juga!” seru Joseph, yang segera menghampirinya.
“Sorry, gue telat. Ban mobil gue tadi kempes,” jawab Farez sambil menjabat tangan Joseph.
“Ah, nggak masalah. Yang penting lo datang,” tutur Joseph sambil menepuk bahunya.
“Semua udah pada kumpul?” tanya Farez sambil melirik sekeliling.
“Udah, sebagian besar. Ayo, gue kenalin lagi ke beberapa orang yang mungkin udah lama nggak Lo lihat,” jawab Arnold sambil menarik Farez ke tengah kerumunan.
Meski pagi itu penuh hambatan, akhirnya Farez bisa menikmati momen reuni bersama teman-temannya. Dalam hati, dia bersyukur masih punya kesempatan untuk bertemu dan mengenang masa-masa indah di SMA Cipta Nusantara. Farez bertekad untuk melupakan semua kekesalan yang dia rasakan pagi tadi dan sepenuhnya menikmati hari ini.