Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB. 2 Datang Ke Acara Reuni

Di kamar luas yang mewah dengan jendela besar yang menghadap ke taman rumah, Zera Mirae berdiri di depan cermin rias. Jemarinya yang lentik dengan hati-hati menyisir rambut panjang hitamnya yang berkilau. Setelah puas, gadis cantik itu pun mengikat rambutnya menjadi kuncir kuda sederhana namun elegan. Dia memandangi wajahnya di cermin, memastikan riasannya sempurna.

“Baiklah, Zera. Kamu bisa melakukannya,” gumamnya sambil menarik napas panjang.

Sang gadis mengenakan gaun selutut berwarna biru tua yang pas di tubuhnya. Penampilannya tampak anggun namun tidak terlalu berlebihan. Sepatu hak tinggi yang senada melengkapi gayanya malam itu. Dia lalu memutar tubuhnya sedikit, memastikan semua terlihat sempurna.

Zera melirik jam di meja kecil di sebelah cermin. Masih ada banyak waktu untuk segera menuju lokasi acara. Namun sang gadis harus segera berangkat jika ingin tiba tepat waktu di acara reuni SMA Cipta Nusantara.

Di dalam hatinya, ada rasa berdebar yang sulit dijelaskan olehnya. Reuni ini bukan sekadar ajang berkumpul dengan teman-teman lama baginya, melainkan kesempatan untuk bertemu dengan seseorang yang masih sering menghantui pikirannya.

Farez Keil, kakak kelasnya yang juga mantan kekasihnya di masa remaja.

“Apa Kak Farez masih ingat aku?” gumamnya, tersenyum kecil namun penuh rasa gugup.

Zera tahu bahwa pertemuan ini akan membawa kenangan lama yang telah lama terkubur. Hubungan mereka dulu begitu indah, namun harus berakhir karena keputusan sang ayah, Tuan Cornelius, yang mengirimnya untuk melanjutkan studinya ke Belanda.

Pikiran Zera melayang pada saat ibunya, Nyonya Debira, baru saja mengutarakan niat untuk menjodohkannya dengan anak sahabat ayahnya.

“Zera, kamu tahu, umurmu tidak lagi muda. Kalau kamu terus menolak pria-pria yang kami kenalkan, kapan kamu mau menikah?” ucap ibunya beberapa hari yang lalu.

“Tapi, Mami. Aku masih belum siap untuk menikah,” jawab Zera dengan hati-hati.

“Belum siap atau masih memikirkan Farez?” tebak ibunya dengan nada tegas.

Zera terdiam. Ibunya mengenalnya terlalu baik.

“Dengar, Zera. Abdiel itu pria baik. Dia serius denganmu. Kenapa kamu tidak memberinya kesempatan? Abdiel juga teman SMA mu dulu kan? Tidak ada bedanya dengan Farez.” bujuk ibunya lagi.

“Aku akan pikirkan, Mami,” jawabnya singkat, mencoba mengakhiri pembicaraan.

Namun kenyataannya, Zera tidak pernah benar-benar bisa melupakan Farez. Pria itu telah meninggalkan jejak mendalam di hatinya.

Setelah memastikan penampilannya sempurna, Zera turun ke lantai bawah di mana sopir pribadinya sudah menunggu.

“Selamat pagi, Nona Zera,” sapa Pak Surya, sopir Keluarga Tuan Cornelius.

“Selamat pagi, Pak Surya. Sudah siap?” tanya Zera sambil tersenyum.

“Tentu, Nona. Silakan masuk,” jawab Pak Surya sembari membukakan pintu mobil hitam mengkilap itu.

Zera duduk di kursi belakang, menghela napas pelan. Jalanan Jakarta pagi itu tampak lengang, berbeda dari biasanya.

“Sepertinya kita tidak akan terjebak macet, Pak Surya,” ujar Zera, mencoba membuka percakapan.

“Benar, Nona. Waktu yang tepat untuk berangkat,” jawab Pak Surya sambil tersenyum di kaca spion.

Di dalam mobil, Zera tidak bisa berhenti memikirkan apa yang akan dia katakan pada Farez jika mereka bertemu. Apakah gadis itu harus meminta maaf karena meninggalkannya tanpa penjelasan? Atau cukup menyapa pria itu seperti teman lama tanpa membahas masa lalu?

“Kak Farez,” bisiknya pelan, seolah berharap pria itu mendengar.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Dia membuka layar dan melihat pesan masuk dari Abdiel.

Abdiel: “Hai, Zera. Malam ini kamu mau ke mana? Jangan lupa, aku selalu ada untukmu. Sepertinya aku tidak bisa ikut acara reuni sekolah. Aku sangat sibuk.”

Zera menghela napas. Abdiel adalah pria yang baik, namun dia tahu jika hatinya tidak bisa menerima pria itu.

Dengan cepat, Zera mengetik balasan singkat.

Zera: “Hai, Abdiel. Aku ada banyak pekerjaan kantor. Tidak ada waktu untuk bersantai Mungkin nanti kita bicara lagi, ya.”

Zera mencoba menolak secara halus ajakan Abdiel untuk mengajaknya jalan nanti malam.

Setelah itu, sang gadis menyimpan ponselnya dan mencoba fokus pada acara yang akan dihadiri olehnya.

Mobil akhirnya tiba di lokasi reuni, sebuah restoran rooftop yang elegan dengan pemandangan kota Jakarta yang gemerlap. Pak Surya keluar dari mobil dan membukakan pintu untuk Zera.

“Sudah sampai, Nona,” kata Pak Surya.

“Terima kasih, Pak Surya. Bapak bisa pergi. Nanti saya akan menghubungi lagi jika acara telah selesai,” ujar Zera sambil tersenyum.

“Tentu, Nona. Selamat menikmati acaranya,” balas Pak Surya dengan ramah.

Zera lalu melangkah masuk ke restoran dengan langkah mantap, meskipun hatinya mulai berdebar-debar saat ini. Gadis itu melihat begitu banyak wajah-wajah familiar yang dulu dirinya kenal. Beberapa teman langsung menyapanya.

“Zera Mirae! Kamu makin cantik aja!” seru Suci, salah satu teman seangkatannya.

“Suci! Kamu juga nggak pernah berubah, ya! Masih selalu ceria,” balas Zera sambil memeluk temannya itu.

“Oh ya, kamu kok datang sendiri? Mary dan Jasmine ke mana?” tanya Suci kepadanya.

“Aku sudah lama lost contact dengan Mary dan Jasmine,” tutur Zera lagi.

Obrolan ringan dengan teman-temannya membuat Zera sedikit lebih rileks, namun matanya terus mencari-cari satu sosok. Seseorang yang menjadi alasan utama kehadirannya di reuni ini.

“Farez di mana, ya?” tanya Zera pada dirinya sendiri.

Gadis itupun melirik ke kiri dan ke kanan mencari-cari keberadaan sang mantan pacar.

“Zera, kamu nyari siapa?” tanya Joseph, kakak kelasnya dulu yang tiba-tiba muncul di sampingnya.

“Oh, hai Kak Joseph! Nggak kok. Aku cuma lihat-lihat aja,” jawab Zera, mencoba menyembunyikan kegugupannya.

Joseph tertawa kecil.

“Ha-ha-ha. Kamu pasti sedang nyari Farez, kan? Tenang aja, dia pasti datang, kok. Tadi katanya telat karena ada masalah di jalan.”

Padahal yang sebenarnya terjadi, Farez sudah tiba dari tadi. Dia sedang ngobrol dengan Arnold. Sekaligus untuk menetralisir degupan jantungnya yang sungguh begitu terpesona dengan penampilan Zera saat ini yang semakin cantik.

Zera hanya tersenyum kecil. Joseph ternyata terlalu pandai menebak.

“Oh ya, Zera. Apa kabar sahabatmu, Mary? Kok dia nggak datang ke acara reuni?” tanya Joseph yang memiliki niat suci untuk bertemu kekasih masa lalunya, bernama Mary. Yang juga merupakan sahabat baik dari Zera. Mereka telah lama tidak saling memberi kabar, dan masih belum ada kata putus diantara keduanya.

“Wah, Kak Joseph. Aku juga sudah lama kehilangan komunikasi dengan Mary. Semenjak dia dan keluarganya pindah ke luar negeri,” ucap Zera menjelaskan.

“Deg!” Seketika dada Joseph meringis sakit, saat mendengar penjelasan dari Zera.

Pria itu pun, bergumam dalam hati.

“Mary, di manakah kamu berada saat ini? Kenapa kamu seolah-olah sedang bersembunyi dariku. Padahal aku sangat merindukanmu,” ujar Joseph dalam hatinya.

Sementara itu pagi masih panjang, dan harapan Zera untuk bertemu Farez masih menyala. Dia bertekad untuk membicarakan masa lalu mereka, meski hanya untuk mendapatkan kejelasan yang selama ini dirinya rindukan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel