BAB. 3 Ternyata Cinta Lama Belum Kelar
Suasana pagi menjelang siang itu begitu hangat. Restoran rooftop yang menjadi tempat reuni angkatan SMA Cipta Nusantara di dekorasi dengan lampu-lampu gantung berwarna kuning keemasan, menciptakan nuansa romantis dan penuh nostalgia. Beberapa alumni terlihat berbincang hangat, tertawa lepas mengingat kenangan-kenangan lama. Di sudut ruangan, panggung kecil menampilkan beberapa alumni yang bernyanyi lagu-lagu cinta populer. Lantunan suara mereka menggema indah, yang menambah suasana melankolis bagi sebagian orang yang hadir.
Di pojok restoran, seorang gadis cantik bernama Zera Mirae memilih duduk sendirian. Dia memandang jauh ke arah cakrawala kota yang berkilauan, pikirannya melayang. Situasi hari ini mengingatkannya pada banyak hal yang dulu pernah dialami olehnya namun karena keadaan yang memaksa, semua harus tinggalkannya.
Lagu cinta yang disenandungkan dari atas panggung membawa ingatannya kembali ke masa-masa SMA. Saat-saat penuh kenangan bersama orang-orang yang pernah mengisi hidupnya, termasuk seseorang yang sangat istimewa yang sungguh sulit dilupakan olehnya, dialah Farez Keil, kakak kelas sekaligus juga pacar masa remajanya.
Tiba-tiba, suara bariton yang sangat familiar terdengar di telinganya, menghentikan alur pikirannya yang tadinya masih mengembara ke masa lalu.
“Zera Mirae!” sapaan itu begitu jelas dan menggetarkan hatinya. Sang gadis cantik segera menoleh cepat ke arah sumber suara tersebut.
Betapa terkejutnya Zera ketika melihat Farez sudah duduk di sampingnya dengan senyum hangat yang begitu dirinya kenal. Seolah-olah waktu tidak pernah berlalu, senyum itu masih sama, membawa perasaan yang dulu pernah dia pendam.
“Kak Farez?” jawab Zera, setengah berbisik. Matanya membesar karena terkejut sekaligus gugup.
Farez tertawa kecil, mengangkat alis.
“He-he-he. Akhirnya Zera! Setelah sekian lama aku mencarimu, ternyata aku menemukanmu di acara reuni ini.” Suaranya tenang, tapi ada nada haru di dalamnya.
Zera tersenyum kaku, mencoba menenangkan detak jantungnya yang mendadak berpacu cepat.
“Kak Farez, ternyata kamu datang juga ke acara reuni ini. Aku pikir kamu tidak akan datang.”
“Tentu saja aku datang,” jawab Farez mantap.
“Tujuan utamaku ke acara reuni ini untuk bertemu denganmu. Dan ternyata feelingku benar, kamu hadir di acara reuni ini,” ucap Farez dengan nada tegas.
Pernyataan pria tampan itu sontak membuat Zera terdiam sejenak. Dia memalingkan wajahnya, berusaha menyembunyikan rona merah yang mulai muncul di pipinya.
“Zera,” Farez memecah keheningan, yang sejenak terjadi diantara mereka.
“Bolehkah kita bicara di tempat yang lebih tenang?” ucap Farez kepada gadis kesayangannya tersebut.
Zera mengangguk pelan. Tanpa berkata banyak, dia membiarkan Farez menuntunnya ke sebuah sudut restoran yang lebih sepi, jauh dari keramaian pesta reuni. Di sana, hanya ada mereka berdua, dengan pemandangan Kota Jakarta yang luas terbentang di depan mata.
Farez memulai pembicaraan dengan nada serius.
“Kemana saja kamu selama ini, Zera? Kenapa baru muncul sekarang? Aku benar-benar mencarimu selama bertahun-tahun.”
Zera menundukkan kepalanya, merasa bersalah.
“Aku minta maaf, Kak. Setelah lulus SMA, semuanya terjadi begitu cepat. Papi memutuskan untuk mengirimku melanjutkan studi di Belanda. Aku bahkan tidak sempat berpamitan dengan banyak orang, termasuk kamu.”
“Belanda?” ulang Farez, matanya memperhatikan Zera dengan tajam.
“Kenapa kamu tidak memberitahuku? Aku bisa mengerti, Zera, asal kamu tidak pergi begitu saja.”
Zera menghela napas panjang, mencoba menjelaskan.
“Saat itu aku juga tidak punya pilihan, Kak. Papiku terlalu mendesakku, dan semuanya terasa mendadak. Aku sampai tidak bisa berpikir panjang lagi. Aku tahu aku salah karena pergi tanpa pamit. Aku benar-benar minta maaf, Kak.”
Farez terdiam, mencoba mencerna penjelasan Zera. Dia pun menatap wajah perempuan di depannya, yang meskipun sudah lama tidak dilihat olehnya, tapi tetap sama cantiknya seperti dulu.
“Aku akan mencoba memahami semuanya, Zera,” ucap Farez akhirnya.
“Tapi yang ingin aku katakan sekarang, jika perasaanku kepadamu tidak pernah berubah. Dari dulu sampai sekarang, aku masih sangat mencintaimu, Zera Mirae.”
Zera terkejut mendengar pengakuan itu. Dia lalu mengangkat wajahnya, menatap Farez dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
“Kak Farez ....” gumamnya pelan.
“Zera,” Farez melanjutkan dengan nada penuh keyakinan,
“Aku berharap kita bisa memulai kembali hubungan kita yang dulu sempat kandas. Aku tahu kita telah kehilangan banyak waktu, tapi aku percaya, kita masih punya kesempatan untuk memperbaikinya.”
Zera terdiam. Di satu sisi, perasaannya kepada Farez memang tidak pernah hilang. Namun, ada rasa ragu yang menyelinap di hatinya.
“Kak,” akhirnya Zera berkata, suaranya lirih,
“Apa menurutmu mungkin bagi kita untuk memulai semuanya dari awal? Aku tidak tahu apakah aku masih pantas untukmu setelah semua ini,” ucap Zera dengan nada ragu.
Farez menggeleng-gelengkan kepalanya dengan tegas. “Jangan pernah berpikir seperti itu. Kamu selalu pantas, Zera. Tidak ada yang berubah. Bagiku, kamu tetap Zera yang dulu, yang selalu membuat hariku lebih bermakna.”
Lalu Farez berkata lagi, dari ketulusan hatinya,
“Zera Mirae, jujur aku sangat merindukanmu selama ini. Hidupku terasa hampa saat kamu tiba-tiba menghilang. Aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku demi untuk melupakan semua tentangmu. Tapi tetap tidak bisa. Hatiku selalu kembali padamu,” ujar Farez sambil menatap Zera dalam-dalam.
Zera tidak bisa menahan air matanya lagi. Dia menghapus pipinya yang mulai basah sambil tersenyum kecil.
“Aku juga sangat merindukanmu, Kak. Selama di Belanda, aku sering memikirkanmu. Tapi aku selalu merasa terlalu jauh untuk kembali.”
“Kamu tidak pernah jauh, Zera,” potong Farez lembut.
“Hati kita tetap dekat, itu yang penting. Aku di sini untukmu dan kamu pun sebaliknya. Aku tidak akan pergi ke mana-mana lagi.”
Lalu Farez meraih kedua tangan gadis itu lalu berkata,
“Zera Mirae, maukah kamu menjadi satu-satunya wanita di dalam hidupku?”
Tanpa menunggu lama lagi, Zera berkata,
“Iya, Kak. Aku mau,” ucap Zera dari kesungguhan hatinya
Suasana siang itu terasa semakin romantis. Angin berhembus pelan, membawa harapan baru bagi keduanya. Hubungan Zera dan Farez akhirnya terpaut kembali. Keduanya mengingat masa-masa indah mereka di SMA, sekaligus membicarakan kemungkinan masa depan yang bisa mereka bangun bersama.
Ketika waktu terus berjalan, Zera merasa lega dan bahagia. Perasaan yang selama ini dia pendam akhirnya menemukan tempatnya. Farez, dengan segala ketegasan dan ketulusannya, membuat Zera percaya jika hubungan mereka masih memiliki peluang untuk diperjuangkan.
“Terima kasih, Kak, sudah datang ke reuni ini,” ucap Zera sebelum mereka kembali ke keramaian.
“Aku tidak tahu apa yang akan terjadi kalau aku tidak bertemu kamu hari ini.”
Farez tersenyum, memegang tangan Zera dengan lembut. “Aku yang seharusnya berterima kasih, Zera. Karena kamu, aku merasa reuni ini lebih berarti dari sekedar pertemuan dengan teman-teman lama.”
Mereka berdua kembali ke keramaian dengan perasaan yang berbeda. Acara reuni itu bukan hanya menjadi ajang nostalgia, akan tetapi juga awal dari sebuah cerita cinta yang sempat tertunda bertahun-tahun lamanya.