Pertemuan Pertama
Lina berusaha memejamkan matanya, dia berusaha untuk tidur dan melupakan kekesalannya hari ini. Lina mengambil kacamata tidurnya lalu memakainya. Dan benar saja tak seberapa lama, dia pun terlelap dalam tidur pulasnya.
Pagi ini, Lina sedang berada di sebuah taman ditemani novel kesayangannya. Dia menikmati momen seperti ini dengan damainya. Tidak ada yang mengganggu, tidak ada yang ngomel bahkan dia bisa membaca dengan tenang sambil ngemil snack kentang kesukaannya.
"Huuuhhh, lagi-lagi di salahin. Sebenernya mau mereka apa sih?" gerutu seorang gadis yang tiba-tiba duduk di depan Lina. Lina hanya melihat gadis itu bicara sendiri tanpa menyadari kehadiran Lina di belakangnya.
"Aduuh!!! Ya ampun kaget gw," kata gadis itu saat dia berputar menghadap meja dan melihat Lina ada disana.
"Maap mbak, tapi gw bukan setan kok. Gw udah disini dari tadi," ucap Lina.
"Eeh iya maap. Bukan nyalahin kok, cuma kaget aja tadi,"
Lina kembali melanjutkan bacaannya. Dia masih terus mendengar gadis di depannya mengomel sendiri dan bahkan tidak segan-segan dia menyumpahi seseorang.
"Lagi kesel banget kayanya ya mbak?" tanya Lina memberanikan diri.
"Iya, kesel gara-gara 2 cowok aneh," jawabnya sambil memandang Lina.
"Pacarnya?"
"Belum pacar sih, baru gebetan. Baru pendekatan aja udah ngeselinnya minta ampun."
"Sekali ngegebet 2 cwo mbak? Waaah ga susah tuh," Lina mulai penasaran.
"Dia yang ngejer-ngejer gw kok."
Lina memandangi gadis itu. Gadis itu memang terlihat anggun dan cantik. Dia seperti wanita berkelas, jadi wajar kalau banyak yang suka.
"Kok gw ga pernah liat lu ya, rumahnya dimana?" tanya Lina.
"Disana," jawab gadis itu sambil menunjuk ke sebuah bangunan megah dan terlihat mewah.
"Waaah, lu anak orang kaya rupanya? Rumah lu gede amat." kata Lina berkomentar.
"Buat apa rumah gede tapi selalu sendirian. Gw pengen punya temen. Gw di rumah bete, ga ada yang nemenin gw," keluh gadis itu.
"Waaah, kita kebalikan. Justru gw pengen sendirian, ga ada yang ganggu. Pengen baca novel sepuasnya tanpa ada yang ganggu," kata Lina.
"Eh iya, kita belum kenalan ya? Gw Linda, kalo lu siapa?" kata gadis itu memperkenalkan diri.
"Eh, nama kita mirip loh. Lu Linda, gw Lina. Kaya sodara kita," ucap Lina sambil terkekeh.
"Eh iya, jodoh kali ya."
Mereka berdua saling menceritakan kehidupan mereka masing-masing. Lina sangat antusias dengan cerita kehidupan Linda.
"Waah, kayanya hidup lu enak ya. Gw pengen deh idup kaya lu. Ga perlu bantu masak, ga perlu bantu bersihin rumah. Pengen baca novel aja sering-sering dan yang pasti, ga ada yang omelin gw."
"Justru gw pengen kaya lu, pengen punya temen deket, pengen punya kehidupan keluarga saling memperdulikan kaya lu," kata Linda.
"Seandainya kita bisa saling tukar posisi sehari aja pasti menyenangkan," celetuk Lina pelan.
Sebuah bintang jatuh muncul di langit. Lina dan Linda segera melakukan permohonan tanpa di ketahui oleh siapapun. Keinginan yang hanya bisa di dengar dan di ketahui oleh diri mereka sendiri dan tuhannya.
***
"LINAAA!!!" panggil bunda dari lantai bawah rumah Lina.
"Mulai lagi deh." Lina menggeliat saat mendengar panggilan bundanya. Dia segera membuka pintu untuk memastikan bundanya tidak akan berteriak lagi.
"Lina udah bangun bunda," ucap Lina dari pintu kamarnya.
"Buruan turun, bantu bunda siapin sarapan," perintah-perintah bunda bagaikan perintah dosen killer di kampusnya. Apa karena bunda seorang guru matematika ya? Pikiran Lina melayang kemana-mana.
"Aduuh, kenapa pagi ini badan gw sakit semua ya? Apa kemaren gw kelamaan jalan-jalan di taman?" kata Lina bermonolog di depan kaca wastafel kamar mandinya.
Lina mengetuk kamar adiknya, tapi tak ada sahutan dari dalam.
"Hemmm masih molor ni bocah pasti," Lina berinisiatif membuka kamar tidur adiknya.
"Doni... Loh kok kosong? Kemana dia ya," Lina menutup kamar itu dan segera turun kebawah.
"Bun, Doni kemana? Kok kamarnya kosong?" tanya Lina ke bunda saat dia sampai di dapur.
"Doni kan lagi kompetisi basket. Udah berangkat dari tadi Lin," jawab bunda sambil memberikan kotak susu ke Lina. Lina mengambil gelas dan menuangkan susu untuk anggota keluarganya.
"Kok, Lina ga tau kalo Doni hari ini ada kompetisi bun?" tanya Lina.
"Ga tau gimana? Seminggu lalu kan udah pamitan, makanya dia pulang malem terus karena latihan."
Doni, adik Lina memang sangat mencintai olah raga basket. Dia sudah menekuninya sejak dia SMP. Tidak heran kalau badan Doni tinggi menjulang saat ini.
Lina meletakkan susu di meja makan. Dia juga menyiapkan piring serta sayur yang sudah di masak bunda.
"Kamu kuliah jam berapa Lin?" tanya bunda.
"Ini hari apa?" tanya Lina.
"Kamu ini kenapa sih dari tadi kok kaya orang linglung. Ini hari rabu?" kata bunda.
"Rabu? Bukannya kemarin senin ya, kemaren gw kemana ya. Kok gw ga inget?" kata Lina dalam hati.
"Ngelamun aja pagi-pagi. Panggil ayah sana di ruang olah raga." kata bunda sambil memukul pundak Lina.
Lina segera memanggil ayahnya di ruang olah raga. Ayahnya menjadikan lahan kecil di teras belakang untuk meletakkan beberapa alat olah raga miliknya.
"Ayah, diajak bunda sarapan tuh," panggil Lina.
"Iya sayank," jawab ayahnya sambil mematikan alat treatmillnya.
"Gimana jalan-jalan kamu kemarin?" tanya ayah.
"Jalan-jalan?"
"Iya, kemaren katanya kamu pengen main sendiri, ampe pulang sore trus langsung tidur kata bunda. Capek banget ya?"
"Oh iya, yah. Seru banget bisa baca novel sambil ngemil sepuasnya. Tempatnya cocok banget buat baca," jawab Lina.
"Boleh main, tapi jangan keseringan dan lama. Kasihan bunda ya," pesan ayah sambil merangkul putrinya.
"Iih ayah bau ih, keringet semua, yah" keluh Lina sambil berlari menghindari rangkulan tangan ayahnya. Ayahnya tertawa melihat Lina yang berlari.
"Kenapa itu?" seru bunda di meja makan.
"Ayah tuh bun, bau keringet main rangkul aja." keluh Lina sambil memeluk bundanya.
Ayah segera mengelap keringatnya dan mendatangi meja makan dengan kekehannya. Mereka makan bersama sambil ngobrol menjaga kehanggatan keluarga.
Ting tong...ting tong..
"Bukain Lin, tante Anggi itu mungkin," kata bunda.
"Linaaa.." seru suara orang di pagar rumah.
Lina segera berlari ke pintu depan ingin melihat siapa yang datang.
"Iya tante, bentar," Lina memakai sendalnya dan menuju pagar.
"Nih bawa masuk, dah ya tante pulang," kata tante Anggi yang tampak buru-buru.
"Makasih tante," ucap Lina sedikit keras.
Lina membawa kotak kue dari tante Anggi. Aroma sedap dari kue hangat buatan tante Anggi menganggu hidung Lina.
"Enak banget baunya bun, rasa pandan ni pasti ya," kata Lina sambil menuju meja makan.
"Di bikinin pagi bearti sama Anggi. Taruh di piring kue, Lin. Trus bawa sini ya?"
"Siaap bos," jawab Lina sambil menuju dapur.
Kue hangat dan harum sudah tersaji di meja makan. Bunda sedang mengiris beberapa potong kue untuk bekal ayah di kantor seperti keinginan ayah. Kue bikinan tante Anggi memang terkenal di komplek perumahan ku, karena memang rasanya enak tidak kalah dengan bikinan toko kue. Dan yang pasti, harganya terjangkau.
"Yah, di kantor ayah masih nerima anak magang ga?" tanya Lina saat mereka selesai sarapan.
"Kamu mau magang? Kan masih semester 4, Lin?" tanya bunda.
"Iya bun. Di kampus mau di adain study ekskursi, biaya pendaftarannya mahal. Lina males ikut. Lagian pak Herman nyuruh Lina ikut lomba nulis lagi."
"Trus apa hubungannya ama magang?" tanya ayah.
"Yang ga ikut study ekskursi di haruskan magang sebulan, yah." Kata Lina menerangkan.
"Oh gitu, ntar coba ayah tanya di kantor ya?"
"Emang kenapa kamu ga mau ikut?"
"Males bun, paling ya cuma jalan-jalan. Ga manfaat banget. Mending magang sambil ikut lomba, bisa menghasilkan uang juga."
Lina memang suka menulis sebuah karya ilmiyah. Dia sering ikut lomba dan memenangkannya. Dia mahasiswa manajemen yang menyukai sebuah karya ilmiyah. Uang hasil lombanya selalu dia tabung untuk tambahan uang jajannya.
Ayah dan bunda Lina sangat bersyukur memiliki keluarga harmonis dan dua anak yang berprestasi.