Menyebalkan
Lina menikmati bacaannya di koridor rak buku bersama dengan orang lain yang duduk menikmati bacaan masing-masing. Lina hanyut dalam bacaannya bahkan terkadang dia tertawa sendiri.
"Lin, ini loh novel yang gw bilang tadi. Lu pasti suka," kata Adit sambil memberikan Lina sebuah novel di tangannya.
"Dari sinopsisnya kayanya seru. Tapi masih baru ya, belum ada yang di buka nih pasti segelnya," kata Lina.
"Ya beli donk, namanya juga baru. Best seller loh."
"Lagi kering gw. Uang jajan menipis. Tunggu bulan depan aja deh,"
"Gw beliin buat lu ya?" kata Adit menawarkan diri.
"Eh ga usah. Bulan depan aja gw beli sendiri." tolak Lina.
Lina kembali larut dalam bacaannya, dia memang menyukai momen seperti ini. Dengan membaca dia bisa melupakan segala kekesalannya.
"Udah beres belum?" sapa Desti mengagetkan Lina.
"Eh, udah kelar belanja lu?" tanya Lina balik.
"Udah kok. Lu udah milih novelnya?"
"Ga ah, lagi bokek gw. Biasa, akhir bulan."
Lina dan Desti berjalan menuju pintu keluar. Mereka hendak pulang kerumah mereka.
"Lu belanja beginian buat apaan sih, Des?"
"Sekedar nyalurin hobi gambar aja," jawab Desti.
Desti memang pintar menggambar. Apalagi gambaran tokoh animasi, dia sangat lihai membuatnya. Lina sering menyuruh Desti membuat komik untuknya, tapi Desti selalu menolaknya. Dia hanya ingin menggambar untuk pajangan saja.
"Lina," suara keras laki-laki memanggil Lina.
Ada Adit di depan pintu keluar di dekat kasir. Lina dan Desti mendekati Adit.
"Ini buat lu, Lin" kata Adit sambil mengulurkan sebuah bungkusan plastik ke arah Lina.
"Novel tadi?" tanya Lina.
"Iya, buat lu. Biar lu ga bete lagi gara-gara tadi," ucap Adit sambil tersenyum
"Makasih ya, Dit. Lina pasti seneng banget." ucap Desti sambil menyambar bungkusan tadi dengan tangannya secelat kilat.
"Des, lu apaan sih." protes Lina.
"Dit, lu udah taukan syaratnya kalo pemberian lu diterima?" tanya Desti.
"Ngerti banget, ga bakal gw minta upah apapun. Gw emang pengen beliin dia aja."
"Tuh, aman kan Lin."
"Awas ya lu, ngarep yang aneh-aneh dari gw. Btw, makasih ya," kata Lina.
Lina dan Desti pulang dengan mengendarai motor Lina. Hari ini Desti sedang tidak membawa motor, jadi Lina harus mengantar Desti pulang terlebih dahulu. Lina menceritakan pertemuannya dengan cwo songong di toko buku tadi.
"Jelek banget nasib lu hari ini, Lin" ucap Desti sambil terkekeh.
"Waah beneran. Entah kenapa ama gw seharian ini. Dari pagi gw kena omel mulu tau. Padahal kan gw anak baik," kata Lina sedikit menghibur dirinya.
Desti tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan sahabatnya itu.
"Mampir dulu, Lin?" kata Desti menawarkan Lina masuk dulu ke rumahnya.
"Ga ah, gw langsung aja ya. Ntar nyokap ngomel kaya rel kereta."
"Lu tuh ya, awas kualat loh," ucap Desti sambil memukul lengan Lina.
"Emang gitu kok, kalo ngomel kagak ada berhentinya. Gw aja heran kenapa bokap gw yang diem dan santun, mau ama bunda."
"Jodoh, Lina. Kalo ga jodoh ya ga ada lu ama Doni lah pastinya."
Lina pamitan ke Desti, dia segera memacu motor matic kesayangannya menuju rumahnya. Lina selalu memakai earphone di salah satu telinganya saat dia menyetir. Untuk menghilangkan ngantuk di jalan menurut Lina. Dia bisa sambil bersenandung sambil menikmati kemacetan yang di suguhkan.
Tiin..tiinnn.tiiiiiiin...
Suara klakson mobil berbunyi terus di belakang motor Lina. Lina minggir dan berhenti, takut dia melakukan kesalahan. Dia membuka kaca helmnya.
"Wooiii!! Ini jalan umum, jangan jalan di tengah seenak lu sendiri!!" ucap seorang laki-laki dari dalam sebuah SUV mewah sambil membuka kaca mobil di sisi Lina.
"Yeee...suka-suka gw donk. Lagian ngapain juga lu ga nyalip gw," elak Lina.
"Lu pake ear phone? Lu sambil dengerin musik ya? Lu tau ga itu pelanggaran, bikin celaka orang!!" teriak laki-laki itu.
Lina menatap tajam laki-laki di di dalam mobil meski sedikit gelap.
"Loh, itu kan cwo rese di toko buku tadi? Kok dia di komplek gw sih?" kata Lina dalam hati.
"Malah bengong. Dasar cwe sinting!" kata pemuda itu sambil menutup kaca dan melajukan mobilnya.
"Loh, kok dia pergi sih? Heeeh!!! Gw belum selesai ama lu!!" teriak Lina.
Lina segera memacu motornya mengikuti mobil mewah itu. Mobil itu berhenti di sebuah rumah besar di salah satu cluster perumahan Lina.
"Apa itu rumahnya? Kayanya gw ga pernah liat dia disini deh," kata Lina pelan.
"Bodo ah. Ngapain juga gw kesini."
Lina segera menjalankan motornya menuju rumahnya.
Lina membuka gerbang dan memasukkan motornya. Tidak ada motor adiknya disana, mobil ayahnya juga belum datang.
"Assalamu'alaikum," sapa Lina saat dia membuka pintu.
"Wa'alaikumussalam. Lina, tadi kue dari tante Anggi kamu taroh mana?" tanya bunda begitu Lina masuk.
"Di atas meja, Bun," jawab Lina.
"Kok kamu taruh meja dapur sih Lin. Liat tuh kuenya di makan semut semua sekarang."
"Looh, bukannya tadi di meja makan ya?" kata Lina sedikit memgingat.
"Di meja makan gimana? Emang tuh kue bisa pindah sendiri ke dapur?"
"Ya maap, bun. Lupa kali tadi." ucap Lina penih sesal.
"Makanya kamu tuh harus belajar jadi perempuan yang bener. Masa di suruh jaga rumah bentar aja udah kaya gini." omelan bunda Lina sudah mulai mengudara.
"Yee..Lina kan cwe beneran, bun. Lina ga macem-macem kok."
"Sudah mandi sana, habis itu bantu bunda siapin makan malam."
Lina sedikit mempoutkan bibirnya. Dia merasa kesal seharian ini dia selalu diomelin orang. Lina segera mandi dan berganti pakaian agar tidak di omeli bundanya lagi. Dia segera turun membantu bundanya di dapur.
Suara mobil masuk ke dalam garasi rumah Lina. Sepertinya ayahnya sudah pulang.
"Goreng itu yang bener, awas gosong," kata bunda sambil meninggalkan dapur.
Kebiasaan bunda adalah selalu mengantar dan menyambut ayah saat ayah pergi dan pulang kantor. Bunda memang selalu perhatian ke semua keluarganya, tapi ya gitu, bunda terlalu cerewet buat Lina.
Ayah masuk ke dalam bareng Doni. Bunda membawakan tas ayah.
"Kue Anggi mana, bun?" tanya ayah saat beliau duduk di kursi santai.
"Ga bisa di makan, yah. Udah di duluin ama semut tadi. Lina tuh narohnya ga bener," kata bunda.
"Yaah..gagal makan kue enak donk," celetuk Doni.
"Apaan sih lu, nyaut aja," sahut Lina ke Doni yang kini sedang mengejeknya.
"Gimana sih kamu, Lin. Masa naroh kue yang bener aja kamu ga bisa," kata ayah.
"Maaf yah, tadi Lina pikir, udah di taroh di meja makan sebelum ke kampus. Maaf ya yah."
"Ya udah ga papa. Pesen lagi sana bun, biar dibikinin Anggi."
"Lin, kok ada bau gosong?" tanya bunda.
"Ya ampun, ayaaaaammmm," kata Lina sambil berlari ke dapur.
Malam ini keluarga Lina akhirnya memesan makanan dari luar, lauk yang di masak Lina gosong dan tidak bisa di makan. Lina jadi merasa bersalah.
"Ayah, bunda...maafin Lina ya," ucap Lina penuh sesal.
"Kamu tuh ga pernah belajar apa ya. Kerjaan mu novel mulu. Kamu udah gede, kudu bisa ngatur rumah," ocehan bunda kembali mengudara.
"Lina dengerin ayah. Ayah tau kamu pinter, kamu juara di kampus, tapi sepintar apapun seorang perempuan, dia tetap harus bisa mengerjakan pekerjaan rumah. Itu baru yang namanya perempuan gini," kata ayah sambil menunjukkan jempolnya.
"Tapi kan sekarang udah bisa sewa pembantu, yah. Jadi ga perlu repot-repot lagi." Bantah Lina.
"Ini yang membedakan, Lin. Laki-laki akan tambah sayang ke istrinya kalo istrinya bisa melayani suaminya dengan baik. Kaya bunda mu itu, biarpun bunda kerja tapi kerjaan rumah tetap dia kerjakan."
"Bunda cuma mau ajarin kamu, Lin. Ga perlu malu untuk turun di rumah sendiri jadi perempuan." tambah bunda.
Selesai makan malam, Lina masuk ke kamarnya. Dia menjatuhkan dirinya di atas ranjang empuknya.
"Gini banget ya idup gw. Ga ada apa ya yang liat kelebihan gw."
Lina berdiri di depan cermin panjang di kamarnya. Dia menggerak-gerakkan badannya.
"Badan gw juga bagus kok, muka gw ga jelek-jelek amat. Gw juga pinter. Emang salah ya kalo gw ga bisa masak, ga bisa bersihin rumah. Kalo gw dandan biasa aja emang gua ga menarik ya?" gerutu Lina sendirian.
"Aaahhh beteee...Menyebalkaaannn!!!" teriak Lina di dalam bantalnya sambil memukul-mukul kasurnya.