Dua Orang Aneh
"Lina, baru dateng lu," sapa Desti saat melihat ku masuk di gerbang kampus.
"Ga juga kok. Nih habis jilid tugas di depan," jawab Lina sambil menunjukkan tugasnya ke Desti.
"Lin, ada study ekskursi semester depan. Ikut ga kamu?" tanya Desti.
"Kemana emang?" tanya Lina penasaran.
"Kita liat ke mading yuk," ajak Desti.
Lina dan Desti pergi ke mading bersama. Mereka ingin melihat pengumuman tentang study ekskursi. Lina membaca semua kertas yang tertempel disana.
"Yang ini loh, Lin," kata Desti sambil menunjuk ke salah satu selebaran disana.
"Hmmm Jakarta, Bandung, Jogya. Lumayan gede juga pendaftarannya. Belum uang sakunya. Wajib ga sih ini?" tanya Lina.
"Kalo di tulis disini sih ga wajib, tapi kalo ga ikut harus magang selama liburan."
"Wah bener-bener pilihan yang sulit. Kok ga ada pilihan, kalo ga ikut bisa nyantai di rumah gitu lho harusnya."
"Itu mau lu, Lin."
Lina dan Desti menuju ke kelas mereka, sebentar lagi kelas akan di mulai. Mereka tidak ingin telat masuk ke kelas dosen killer.
"Lina, duduk sini," sapa Adit dengan senyum manisnya
"Hadeeehhh," jawab Lina sambil melengos dan memilih duduk di barisan depan karena kursi lain sudah penuh.
Adit adalah teman sekelas Lina. Dia juga teman Lina sejak masih SMA. Adit anak cuek dan terkesan berandalan. Rambutnya yang selalu berantakan dan celana jeans belel selalu jadi andalan Adit. Meskipun dia seperti preman, tapi Adit cukup tampan. Matanya yang tajam seperti elang dengan alis yang tebal seperti ulat bulu yang menempel di padu dengan hidungnya yang mancung, menambah kesan dia tampan dan gantle. Dia adalah penggemar berat Lina. Adit sudah menyukai Lina sejak dulu, tapi Lina tidak pernah menggubrisnya.
Pelajaran di mulai. Lina memperhatikan dengan baik, dia juga mengumpulkan tugasnya.
"Lina, kamu tidak lupa mengerjakan tugas mu?" tanya sang dosen.
"Sudah di kumpul pak disitu," jawab Lina sedikit kaget.
"Bagus, nanti bawa keruangan saya. Ada yang mau saya sampaikan ke kamu."
Lina membawa tumpukan makalah di tangannya, Desti membantu membawakan tas Lina.
"Gw bantu ya Lin," Adit menawarkan bantuan.
"Kalo ada upahnya mending ga usah." jawab Lina sedikit kesal.
"Ga ada, free alias gratis buat Lina," kata Adit sambil mengambil tumpukan makalah di tangan Lina. Mereka berjalan bertiga menuju ruangan sang dosen.
"Lin, ada novel baru. Mau ga kita liat bareng ntar pulang kampus?" tanya Adit.
"Tuh, udah mulai deh. Tadi katanya ga ada upahnya," jawab Lina kesal.
"Cuma ngajak Lin, tapi ga maksa juga sih. Kan kamu suka ama novel."
"Kebetulan, sore nanti aku ama Lina mau ke toko buku. Gabung aja kalo mau," kata Desti.
"Des, apaan sih lu," protes ku pelan ke Desti.
"Beneran? Jam berapa?"
"Sore, mungkin jam 4 an. Lina mau ngadep kak Arman dulu soalnya."
"Ok deh, ntar ketemu disana ya," Adit tampak senang karena akan pergi bersama Lina nanti sore. Adit membantu meletakkan laporan di mesa dosen dan meninggalkan Lina disana. Lina menghadap dosen lumayan lama. Desti menunggu di koridor dekat ruangan itu.
"Haaahhh...mulai lagi deh." keluh Lina.
"Ngapain tadi, Lin di dalem?" tanya Desti kepo.
"Biasa, disuruh ikut karya tulis lagi. Lagi ga mood gw. Kayanya gw ga ikut study ekskursi deh. Ambil magang aja lah, sambil ngerjain ini," kata Lina sambil memberikan selebaran ke Desti.
"Waah hadiahnya lumayan, Lin. Lu harus ikut nih."
"Liat mood gw bagus dulu deh. Lagi moody banget gw. Butuh piknik."
Lina sedang menunggu kak Arman untuk konsultasi tugasnya di taman kampus. Dia duduk di kursi panjang sambil membaca novelnya.
"Mana tugas mu," suara seorang laki-laki dengan suara dalamnya menyapa Lina.
Lina mengangkat wajahnya melihat laki-laki gagah dengan rambut yang ditata dan kemeja rapi duduk di depannya.
"Ini kak. Lolosin ya kak, ini udah ke 4 kalinya aku maju loh," rayu Lina.
Arman diam seribu bahasa, dia fokus pada laporan yang sedang di bacanya.
"Yang masih salah kemaren mana, Lin?" tanya Arman sambil mengulurkan tangannya meminta sesuatu tanpa melihat Lina sedikit pun. Lina memberikan lembaran yang kemarin di salahkan Arman.
"Jutek amat sih nih orang, sok kecakepan banget," batin Lina dalam hati.
Arman adalah sosok kakak tingkat Lina. Dia selalu rapi dan mempunyai style perlente. Badannya yang tinggi dan putih dengan hidung mancung serta dompet tebal selalu jadi pesonanya. Banyak cwe-cwe di kampus yang rela antri untuknya, baik teman satu jurusan atau pun tidak. Arman adalah sosok bintang idola di kampus Lina.
"Sudah bagus sih, cuma ada beberapa kesalahan ketik yang harus kamu perbaiki. Dan juga ini, sertakan referensi yang kamu pake disini ya," kata Arman.
"Oh, iya kak. Kalo gitu besok aku maju lagi ya kak?" kata Lina.
"Ga bisa, aku besok balik ke tempat magang ku."
"Kalo gitu nanti deh kak," jawab ku.
"Aku pergi sekarang, kita ketemu lagi minggu depan," kata Arman sambil meninggalkan Lina sendirian. Laki-laki itu berlalu dengan memamerkan punggung bidangnya.
"Arman sialaaaan!!! Bener-bener mau ngerjain gw dia ya!!" gerutu Lina kesal.
Desti datang mendekat ke meja Lina. Dia menepuk pundak Lina.
"Gila, ganteng banget ya dia. Calon bisnisman sejati," celetuk Desti sambil melihat punggung Arman yang lama kelamaan menghilang.
"Bisnisman apaan? Dia pasti kalo jadi bos bakal di sumpahin mulu ama anak buahnya, jutek sok kegantengan banget, nyebeliiiin!!!" terial Lina kesal.
"Dia emang ganteng Lin, orok juga bakal tau kalo dia ganteng."
"Tau ah, bete gue." sungut Lina sambil mengambil tasnya kasar.
"Di tolak lagi ya?" tanya Desti.
"Cuma tinggal revisi dikit doank, Des. Masa iya gw di suruh tunggu ampe minggu depan. Gedeg ga tuh gw dengernya. Sial banget idup gw, tiga kali bikin laporan kok kena dia mulu. Apa dia sengaja ngincer gw ya. Awas lu ya kalo ngerjain gw!!" ucap Lina penuh emosi.
"Nikmatin deh. Makanya dandan donk kaya Utari. Kayanya dia aman aja kalo di asisteni kak Arman."
"Gw dandan kayak Utari? Haduuuh ntar nunggu unta jalan pake dua kaki, Des." Sungut ku kesal.
Utari adalah teman satu angkatan dengan Lina. Meskipun mereka beda kelas, tapi tidak ada yang tidak tau siapa Utari. Seorang model baru yang selalu berdandan cantik dan menarik di kampus. Bahkan dia rela sedikit merayu para asisten kalau laporannya tidak lulus. Arman selalu mempermudah laporan Utari. Berbeda dengan Lina yang selalu di persulit dengan hal-hal yang receh.
Lina dan Desti pergi ke toko buku di sebuah mall. Lina ingin membeli beberapa perlengkapan menggambar untuknya.
"Des, ga pake lama ya. Entar nyokap gw ceramah di rumah kalo gw pulang telat," beres.
Mereka berpisah di toko buku itu. Desti ke tempat alat tulis, sedangkan Lina ke bagian buku bacaan. Dia ingin membaca novel untuk menghilangkan betenya.
"Eh maaf mas," kata Lina saat dia tidak sengaja menabrak seseorang saat dia akan belok ke sebuah rak.
"Jalan pake mata, jangan pake mikir." kata pemuda iku ketus.
"Kok lu nyolot sih, kan gw udah minta maap. Lagian kalo jalan pake mata, susah kali. Jalan tuh pake kaki," jawab Lina tak kalah jutek. Dia masih terbawa suasana dengan Arman di kampus tadi.
"Maksudnya lu jangan meleng. Bego amat sih lu."
"Apa?? Lu bilang apa barusan?? Lu bilang gw bego??" kata Lina tidak terima. Dia menatap tajam ke laki-laki yang ada di depannya. Beberapa orang melihat mereka beradu mulut.
"Lin, lu kenapa lin?" Adit tiba-tiba datang membela Lina.
"Ini ni, cwo songgong satu ni. Gw udah minta maaf malah bilang gw bego," gerutu Lina.
"Eeh lu bilang apa ke cwe gw. Dia pinter tau di kampus, lu kudu minta maaf ke dia sekarang!" bentak Adit dengan gaya sok premannya.
"Cwenya begitu eh cwo nya begini, pantes deh. Sama-sama orang aneh," ucap pemuda itu sambil sedikit mengangkat sudut bibirnya dengan nada ejekan.
"Lu bilang apa barusan?" tanya Adit lagi.
"Kalian pasangan aneh! Dah denger lu!!" ucap pemuda itu sambil mendekatkan wajahnya ke Adit.
Pemuda itu pergi meninggalkan Lina dan Adit begitu saja tanpa kata apapun. Adit ingin mengejar dan membuat perhitungan dengan laki-laki itu.
"Jangan, Dit. Males ribut gw," cegah lina saat Adit akan melangkah.
"Tapi lu..."
"Gw ga papa, gw mau baca novel aja lah." Lina memilih sebuah novel dan duduk di lantai.