Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

-enam-

"Selamat siang cecan FD." Sapaan itu mengalihkan perhatian kami. Nana langsung terkekeh melihat siapa pemilik suara itu.

"Hai, Kak."

"Hush.. Sana lo, Kak. Gw gak mau temen-temen gw tau kalau lo kakak gw."

"Idih, emang gw kakak lo? Adek gw yang ini." Kak Mike merengkuh pinggang Nana dan seketika dilepaskannya karena Nana yang langsung menginjak kakinya.

"Sepatu gw lebih mahal dari biaya SPP lo sebulan, Na!" omel Kak Mike.

"Idih!"

"Tau gelap."

Kak Mike menarik gw dalam rangkulannya dan mengacak-ngacak rambut gw seperti kebiasaannya.

"Yaudah ayok pulang."

"Gw dijemput, Kak. Itu udah nyampe. See ya!"

Kak Mike mengangguk sedangkan gw melambaikan tangan. Menyadari tangan Kak Mike yang sudah merengkuh pinggang gw membuat gw langsung melepaskan diri. Bukan karena tidak nyaman, hanya saja kondisi sekolah dan hubungan gw dengan teman-teman belum sepenuhnya terjalin. Walaupun sebenarnya yang amat gw khawatirkan adalah empat mahluk pengganggu itu melihat interaksi berlebihan antara gw dan Kak Mike.

"Tumben langsung pulang? Owh gw tau. Pasti abis nyampe, lo cuma ganti baju terus langsung jalan lagi kan?"

"Tuh tau."

"Ih main mulu."

"Seenggaknya ijin gw tepat waktu." sindir Kak Mike soal kejadian semalam.

Semalam gw disambut omelan dari Kak Di karena tidak meninggalkan kabar, sedangkan Kak Mike akan saja mengomeli gw jika ia tidak pulang larut dan gw sudah tertidur. Alhasil dia tertidur di kamar gw, seolah omelannya menunggu gw kembali membuka mata.

Kak Mike mulai melajukan mobil. Gw memilih untuk tidak membuka obrolan karena pikiran gw lebih teralih pada suatu memori yang kembali teringat.

Kejadiannya saat keluarga gw dan Nana berlibur ke Keukenhof, Holland.

Waktu itu musim semi. Gw dan Nana diberi bunga oleh seorang pemilik kebun yang kebetulan kenalan Mommy -Bunda Nana. Karena bunga itu belum sepenuhnya mekar, kami kembali menanamnya di hotel. Dua hari setelahnya, kami memutuskan untuk makan siang di restoran dekat hotel. Ayah dan Daddy ada pekerjaan -sebenarnya tujuan awal kami ke Holland memang pekerjaan mereka.

Sedangkan Kak Mike sibuk main game dengan temannya di kamar sebelah yang baru dia kenal.

Saat kembali ke hotel, bunga gw sudah terlepas dari pot nya, sedangkan bunga Nana yang bermahkota pink hilang. Nana nangis. Sedangkan gw gak tau harus apa, karena Nana gak suka tulip kuning. Saat dicari tau, ternyata bunga itu dipetik kak Mike. Dia mengambil bunga itu untuk adik perempuan dari teman barunya. Dasar! Playboy nya udah dari kecil!

Saat tau bahwa bunga itu milik Nana, adik teman Kak Mike itu berusaha menggantikan bunganya. Malam harinya, teman Kak Mike datang untuk menggantikan bunga itu. Anyelir putih.

Keesokan harinya, kami mendengar kabar bahwa gadis itu meninggal karena kecelakaan. Yang gw lihat, teman Kak Mike itu benar-benar kehilangan. Gw yang saat itu masih kecil tak bisa membantu apa-apa.

Enam tahun setelahnya, gw baru tau jika di beberapa negara, bunga anyelir putih dianggap sebagai lambang kematian atau duka dari kepergian seseorang. Gw mengetahuinya saat pemakaman Bunda. Ya, Bunda memang pergi empat tahun lalu karena leukimia-

"Ck! Gw gak suka lo ngelamun." omelan itu menyadarkan gw dari lamunan singkat. Gw hanya mengedikkan bahu menanggapinya.

"Ambilin baju gw, Vee."

"Males ah."

"Plis elah..."

"Gw tulis buku hutang ya?"

"Iya-iya tulis deh. Cepetan, gw buru-buru."

Mendengar itu, gw malah dengan sengaja mengulur-ulur waktu. Namun tentu saja Kak Mike tau keisengan gw. "Baju yang mana?"

"Mana aja."

"Mau baju formal, semi-formal, baju olahraga, atau baju kesayangan lo-"

"Vee, elah!"

Gw tertawa puas dan berlari memasuki rumah untuk mengambil baju dan tas ransel Kak Mike. Terlintas keisengan untuk membiarkannya menunggu, namun tak jadi gw lakukan karena melihatnya yang terburu-buru. Setidaknya manusia yang sedang buru-buru itu masih menunggu gw untuk pulang bersamanya.

"Beliin martabak ya," pinta gw sambil menyodorkan tas nya.

Kak Mike meraih tas yang gw beri dan menukarnya dengan tas sekolah yang bahkan beratnya tak ada setengah dari berat tas gw. "Semoga. Ya udah gw langsung jalan. Jangan bikin gw ditonjokin Dimas lagi."

"Iya. Be careful." Niat mengomel gw karena Kak Mike tak mengucapkan terimakasih dan tak mengiyakan permintaan gw berubah menjadi senyuman saat mengingat berapa banyak omelan yang Kak Mike terima kalau lengah mengawasi gw.

"Love you," pamitnya lewat jendela mobil yang hanya dibuka setengah.

"Hate you, too." balas gw dengan kekehan dan segera berlari memasuki rumah menghindari tatapan tajamnya.

*

Kata demi kata gw ketikkan dengan lihai dalam laptop. Sambil ditemani selai coklat yang kini tinggal setengah, gw betah berada dalam zona nyaman duduk bersila di atas kursi meja makan.

Sendok masih gw biarkan menggantung di mulut gw saat kedelapan jari sibuk mengetikkan kata-kata yang muncul di otak pintar seorang Eve Healley. Ya, walaupun sudah menggunakan sendok, gw masih dengan sengaja mengambil selai coklat dengan jari telunjuk dan jari tengah tangan kanan gw. Biar saja. Jika tidak habis dan tidak ada yang mau menghabiskan, tinggal dibuang. Toh Ayah dengan mudah membelikannya lagi.

"Vee.." Suara itu mengalihkan perhatian gw.

"Hm?" deham gw menanggapinya namun masih sibuk dengan deretan kata yang kebetulan tersusun rapi di otak gw.

"Sendok jangan ditaruh di mulut, Vee. Bahaya," omelnya lalu menarik sendok itu.

"Kak Di tumben udah balik. Gak ngapel dulu?"

"Kamu pacaran makanya biar gak usah ngeledekin orang terus. Ini ngapain? Kayaknya hari pertama gak mungkin disuruh bikin Ppt deh." Matanya mengarah pada laptop namun tangannya dengan santai merebut kaleng coklat gw.

"Kakak ih! Punya Eve!"

"Di rak masih banyak kan," bela nya tak mau kalah.

"Udah abis, Kakak!"

"Ya minta Ayah beliin lagi," argumennya terus sambil menjauhkan kaleng coklat dari gw.

"Ih, Eve maunya sekarang mana bisa!"

"Dari Prancis doang kan ini? Bisa." Ucapan penuh kesombongannya membuat gw berdecih.

Mentang-mentang anak pertama Sir Edd.

"Nih deh." Kak Di akhirnya memberikan kembali kaleng coklat yang telah dirampas sesendok penuhnya. "Ini kamu bikin apa?"

"Tugas dari ketos. Seleksi OSIS."

"Seleksi OSIS atau nantangin OSIS?" tebak Kak Di tepat sasaran.

"Ih apa ni?" Kak Di mengacak-ngacak rambut gw, seolah mengerti mana jawaban yang lebih tepat atas pertanyaannya tadi.

"Makan yuk." Gw terkekeh mendengar ajakannya. Gw yakin Kak Di tau jelas jika gw belum makan, dan tak perlu lagi pertanyaan sudah atau belum, tapi ia langsung memutar kursi gw agar mengikuti perintahnya.

"Udah makan."

"Bener?"

"Makan coklat."

Kak Di berdecak sebelum melanjutkan omelannya, dan bahkan langsung gw potong sebelum serentetan argumennya mengalahkan gw telak.

"Kan coklat ada gula nya. Berarti ada energi. Jadi walaupun Eve nggak makan, nggak masalah-"

"Shush! Gak usah cari pembelaan. Tadi Mike gak nyuruh kamu makan? Atau malah gak ngantar kamu pulang?"

"Ish kakak, tadi Kak Mike udah nganter. Udah suruh aku makan juga. Aku nya tapi kan mau coklat."

"Tapi nggak bagus keseringan makan coklat."

"Eve juga suka susu kok, Kak." canda gw sengaja.

"Eve Healley.."

Gw memutar otak untuk menanggapi omelan Kak Di, dan sepertinya gw tak perlu bersusah payah karena ponselnya berbunyi.

Kak Di mengeluarkan ponsel dari sakunya, dan langsung gw rebut. Setelah menangkap nama Violin tertera, langsung saja gw menggeser tombol hijau.

"Halo? Kenapa Kak?" Cengiran gw bertambah lebar saat Kak Di bersidekap menantang gw.

"..."

"Kak Di? Ada sih, tapi lagi sama cewek. Tadi aku tanya kenapa nggak sama kak Vio, dia bilang males-"

Kak Di langsung merebut telepon sambil melayangkan tatapan tajamnya ke gw. Tapi tentu ucapan gw tadi hanya sekedar candaan karena tidak mungkin gw merusak hubungan mereka yang bahkan sudah berjalan tiga setengah tahun.

"Halo, Vio. Gak usah dengerin dia, gak jelas emang. Nanti gw ceburin ke kolam."

"..."

"Ya udah, 15 menit gw sampai sana. Mau ngurus yang ini dulu. Kalau ada apa-apa telpon aja."

Gw kembali tergelak saat telpon ditutup, "Kok Kak Vio gak marah sih? Kan aku mau nya Kakak diputusin."

"Ya enggak lah, makanya kalau pacaran tuh jangan cuma buat mainan. Harus dewasa. Makan gih, kakak mau ke kampus lagi."

"Diajak ketemuan Kak Vio ya? Wahh pasti mau diputusin, ntar kayak di film-film. Kak Di ditampar, trus ditinggalin gitu aja, eh tiba-tiba ujan deres, trus Kak-" Ocehan gw terhenti karena bekapan dari Kak Di.

"Bawel.. Makan sana."

"Ish Kakak! Iya-iya aku makan."

"Ne plaisante pas avec moi."

"Tu sais que j'ai peur de toi."

"Baru bisa Prancis aja sombong." suara itu menginterupsi pembicaraan gw dan Kak Di.

"Kita tinggal di Prancis delapan tahun, salah lo nggak belajar." cibir Kak Di pada Kak Mike yang baru kembali dari tongkrongannya.

"Lagian dari kecil Bunda selalu ngajarin kita komunikasi dengan bahasa Prancis."

"Lo bela dia?" tanya Kak Mike sambil menunjukkan sekotak martabak.

"Mau!"

Gw langsung turun dari kursi mengambil alih martabak di tangan Kak Mike dan kembali ke kubu Kak Di. Kak Mike berdecih, "Martabaknya doang, anj-"

"Jangan toxic depan adek gw," sentak Kak Di membuat gw tersenyum penuh kemenangan.

Kak Mike mengedikkan bahunya tak acuh dan meraih kotak martabaknya, tak memedulikan bahwa ia baru kembali dari luar ruangan dan bisa saja menyentuh benda apapun, Kak Mike main mengambil sepotong martabak dengan tangannya.

"Ew! You're disgusting!"

"I'm still your cutest brotha, honey." ucapnya percaya diri.

"Yaudah gw cabut, Sois une bonne soeur," pesan Kak Di. Ia mengecup sekilas bibir gw sebelum akhirnya berjalan menuju pintu utama.

Gw memandangi terus sosok dewasa yang selalu menjadi sandaran gw itu. Membayangkan bagaimana dia bertanggung jawab atas dua adiknya yang keras kepala.

Setelah Kak Di menutup pintu, gw mengalihkan perhatian pada Kak Mike.

"KAKAK JANGAN DIABISIN!"

***

Ne plaisante pas avec moi = Jangan macam-macam dengan ku

Tu sais que j'ai peur de toi = Kau tau aku takut pada mu

Sois une bonne soeur = Jadilah adik perempuan yang baik

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel