Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

-empat-

EVE

"King of FD versus daughter of FD's yea?" sindir Kak Mike yang hanya gw tanggapi dengan kekehan kecil.

Pikiran gw cukup terfokus pada cowok belagu itu. Penasaran bagaimana sikapnya saat menyadari kalau dia telah membully anak bungsu pemilik yayasan FD di depan kakaknya sendiri.

"What? Now you feel guilty? Huh?"

"Ya enggak. Biasa aja."

"Owh.. gw tau nih. Lo suka ya?" tembak Kak Mike langsung. Langkah kami terhenti menyadari sekitar yang memusatkan perhatian karena ucapan Kak Mike tadi. Untungnya Kak Mike nggak menyebutkan nama samasekali.

"Apaan sih Kak! Gw bukan player kayak lo ya.

"

Kak Mike mengedikkan bahunya setelah gw menyebutnya player. Dia berjalan lebih dulu membuat gw harus berjalan cepat untuk menyamakan langkah.

"Kak, ntar malam-"

"Lo mau ngajak gw ngapain malem-malem?" selaknya cepat. Gw mendengus kesal mengerti candaan berambigunya.

Melihat jemputan sudah datang, gw buru-buru memasuki mobil dan dengan sengaja menutup bahkan mengunci pintu untuk Kak Mike. Gw tertawa ketika Kak Mike tak berusaha masuk melalui pintu lain karena ia tau kalau gw juga akan menguncinya, tak berharap pada sopir untuk membantunya.

"Panas ya?" ledek gw sesaat setelah membuka pintu mobil. Tanpa aba-aba, Kak Mike mencubit hidung gw sambil memasuki mobil.

"Kak sakit! Ih!" Kak Mike hanya tertawa puas melihat kekesalan gw.

Seolah-olah tadi sama sekali tak terjadi perdebatan, Kak Mike membaringkan tubuhnya dan meletakkan kepalanya di paha gw. "Rumah ke sekolah nggak jauh-jauh amat Kak. Nanti aja sih tiduran di rumah." omel gw merasa tak nyaman harus duduk kesempitan karena ulahnya.

"Orang macet. Iya kan Pak?" tanya Kak Mike pada sopir yang dijawab dengan anggukan sekenanya.

"Kak, nanti malam gw mau ke toko buku."

"Kenapa

malem? Lagian nggak ada gunanya ngomong ama gw. Lo mau minta temenin, anterin, atau cuma minta duit gw nggak bisa."

"Ya gw tau, ngapain berharap sama lo. Gw kan cuma ijin, biar lo nggak usah mencak-mencak kalau liat gw nggak di rumah." sindir gw pada kejadian beberapa hari lalu saat gw nggak izin untuk pergi ke minimarket, dan pulang-pulang gw disambut omelan dari Kak Mike dan Kak Di.

Melihatnya tak berminat menanggapi karena sibuk dengan game nya, gw melanjutkan ucapan, "Nanti malem, gw ke toko buku deket FD College, sekalian nongkrong di cafe, sendiri, pulang paling telat jam 10."

"Jam delapan udah nyampe rumah."

"Ih-"

"Jam delapan atau enggak sama sekali."

"Semoga," jawab gw membuatnya berdecak. "Iya-iya, jam delapan." Gw memilih untuk mengalah daripada nggak diizinkan pergi.

"Eh tapi, lo belom cerita gimana lo bisa sampe taruhan sama Bryan dan sketchbook lo ada di dia."

"Gw emang nggak mau cerita."

"Dia ganggu lo?" tanya Kak Mike seketika membuat gw terbelalak. "Ih enggak! Ya lo kayak nggak tau gw aja Kak. Udah ih gak usah dibahas."

"Kalau lo boong sama gw gimana?"

"Nggak bohong. Gw jadi ditempelin terus sama tuh cowok deh kalau gw bohong."

Kak Mike tertawa, "Deal baby."

Gw kembali menyesap frappuccino setelah membaca beberapa halaman dari buku tentang paru-paru yang baru gw beli ini. Gw sendiri tak mengerti mengapa perhatian gw bisa tertarik pada buku yang sampulnya penuh dengan gambar anatomi manusia.

Meja menjadi pelarian rasa gelisah yang menyerang. Membaca beberapa penyakit yang menyerang paru-paru beserta gejalanya membuat gw teringat pada ayah. Gw menempelkan dahi ke meja dan tanpa sadar tangan gw menggenggam rambut tergerai gw. Gw memang sangat jarang bertemu ayah, dan tidak terlalu peduli dengan urusannya. Tapi gw juga tak bisa memungkiri kalau gw khawatir melihatnya seringkali batuk akhir-akhir ini.

Gw mengangkat kepala dan menutup buku keras. Kepala kembali gw topangkan pada tangan. Gw menghela napas beberapa kali, memotivasi diri untuk berpikir positif.

"Ugh.. there's a loser that lose." Suara yang tak asing itu mengalihkan perhatian gw.

"Nggak usah ganggu gw kalau nggak mau keganggu."

"Lo ngancam gw?" tanyanya sinis dengan gaya yang benar-benar membuat gw ingin mencakar-cakar wajah belagu itu.

Tak menanggapi lagi ucapannya, gw memasukkan buku dalam tas dan bangkit untuk segera pergi dari sana. Sayangnya usaha gw menghindari cowok belagu beserta kawanannya ini gagal karena ia menahan tangan gw.

"Mau kemana lo?"

"Pulang lah." jawab gw sekenanya.

Bryan mendengus sinis, "Berhasil ngambil perhatiannya Mike makanya songong gini?"

"Mike?" tanya gw mengernyit, mengapa tiba-tiba membawa Kakak gw? "Ah.. gw ceweknya. Lo nggak boleh macem-macem sama gw. Posisi King of FD cuma lo pegang kalau di sekolah, sedangkan gw tetep jadi ceweknya anak pemilik yayasan FD dimanapun."

Bryan berdecih, "Cewek kayak lo nggak pantes buat Mike. Ngaca."

Mendengar ucapan pedasnya, emosi gw cukup tersulut sehingga gw spontan mendorongnya menjauh. Walaupun sebenarnya gw tak tau makna ucapannya lebih merendahkan gw atau Kak Mike.

"Jaga omongan lo kalau nggak mau nyesel!"

"Nyesel? Buat cewek kayak lo?"

"Gw akan bikin lo nyesel dengan perlakuan lo ini, Yant. Gw serius-"

"Jangan bikin keributan disini." ujar Karel melerai adu mulut yang selalu terjadi jika gw berhadapan dengan Bryan.

"Lo masih punya hutang taruhan tadi siang kan? Lo ikut gw."

Bryan menarik gw paksa dari kafe tersebut menuju parkiran. Dan parahnya, Karel atau teman-temannya yang lain samasekali tak berusaha menghentikan sikap kasar Bryan.

Bryan membuka pintu mobilnya dan memaksa gw masuk. "Gw nggak mau ikut!"

"Lo jadi pembantu gw dan kita anggap taruhan tadi selesai."

"Gak-"

"Masuk!" Bryan mendorong gw agar masuk ke mobil, gw merutuki kebodohan yang harusnya sudah menjaga-jaga jika Bryan bisa saja berlaku lebih kasar.

Bryan melajukan mobilnya diikuti satu mobil dan dua motor yang tak lain adalah teman-temannya. Gw hanya bisa membuang napas kesal melihat Karel yang benar-benar tak berminat untuk membela gw atau setidaknya menghentikan sikap tak logis Bryan.

Kami berhenti di salah satu kafe lain. Gw mengernyit, jika ingin ke kafe mengapa harus berpindah tempat, padahal kafe dekat toko buku tadi juga nyaman.

Tanda tanya gw terjawab setelah Bryan membawa gw dan teman-temannya ke lantai atas kafe ini. Ada studio musik lengkap dengan peralatannya yang sepertinya menjadi basecamp mereka untuk berlatih.

"Lo beresin semuanya." titahnya tak terbantahkan dan langsung berbalik ke sisi lain ruangan yang dipenuhi sound system dan segala perlengkapan yang gw kenal sebagai mainan DJ.

"Lo gila? Ini udah malam, gw harus balik. Kakak gw-"

"Lo punya kakak?" selak Charlie cepat. Gw terdiam bingung harus menjawab apa karena tak mungkin gw membeberkan kalau Kakak gw tak lain adalah orang-orang yang amat mereka hormati.

"Lo nggak punya  tapi pakai kakak sebagai alasan? Heran gw manusia semacam lo bisa diterima di FD."

Bryan tak melanjutkan ucapan karena ia tau perdebatannya dengan gw tak akan ada habisnya. Gw mengambil jam tangan dalam slingbag gw dan berdecak ketika melihat jarum telah menunjuk angka delapan. Sesaat kemudian gw bersyukur karena sudah melepaskan jam tangan branded yang tentunya dibelikan ayah kala ia ada pertemuan di luar negeri.

Dengan terpaksa, gw mulai merapikan letak berbagai alat musik yang tersedia. Untungnya ruangan ini tak seluas perpustakaan FD. Sepertinya hal ini sengaja terjadi karena gw jarang membereskan rumah. Hei! Gw nggak malas, namun banyaknya asisten rumah tangga membuat gw sendiri tak bisa bebas untuk menyusun kamar.

Selesai merapikan basecamp mereka dengan amat terpaksa, gw mengibaskan tangan untuk menggerakkan angin supaya menerpa wajah dan leher yang berkeringat.

"We're done." ucap gw sambil meraih slingbag yang sempat gw lepaskan dan langsung berjalan keluar dari ruangan.

"No we're not. Stay here, kalau lo bener-bener  taruhan selesai malam ini."

Gw hanya bisa mendengus kesal mendengar keputusan sepihaknya. Jantung gw berdegup lebih kencang kala menangkap angka delapan empat puluh pada layar kunci ponsel. Gw mengalihkan perhatian pada empat sekawan yang masih berdiskusi entah tentang apa.

Charlie menekan keyboard dan laptop di hadapan mereka mulai menyuarakan nada-nada dari beberapa lagu yang telah mereka proses sedemikian rupa.

"Nggak jadi akustik? Kalau gini mah elektrik banget."

"Beat nya lebih asik kalau kayak gini-"

"Bukan urusan asik atau enggak. Kitanya bisa nguasain lagu atau enggak. Kalau anggota aja masih belum jelas gimana kita mau lanjut?" sarkas Peter membuat gw menyembunyikan senyum. Ternyata gaya sinis Peter tidak hanya dilayangkan pada orang asing, namun juga pada teman-teman laknatnya.

Charlie berdecak, "Kalau anak perempuannya Sir Edd sekolah di FD juga pasti kita bisa minta dia."

Gw menggigit bibir, benar-benar berusaha menahan tawa. Bisa-bisanya mereka mengharapkan kehadiran putri pemilik yayasan FD, namun saat yang mereka harapkan sudah ada di hadapannya, ini yang mereka lakukan.

Getar notifikasi dari ponsel membuat gw langsung meraihnya dengan perasaan was-was. Jantung gw langsung berpacu karena Kak Mike menelpon.

"Gw pulang. Dengan atau tanpa persetujuan lo."

Bukannya menyetujui, Bryan malah meraih ponsel di tangan gw yang masih bergetar karena telpon masuk dari Kak Mike. Gw nggak tau harus bersyukur atau merutuk karena nama kontak Kak Mike telah gw ganti dengan 'anak kesayangan Sir Edward Cristian'.

"Balikin!"

Gw langsung berhasil meraih ponsel gw di genggaman Bryan karena ia sepertinya terkejut mengenali siapa yang menghubungi gw malam-malam begini.

"Mike nelpon lo? Okay, kita anggap taruhan ini selesai tapi biarin gw nganter lo."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel