Bab 3(Apa aku ini menyusahkan)
Harland yang telah bersiap pergi ke kantor dengan menenteng tasnya menutup pintu. Dia melihat Aussie itu anak itu keluar dari kamar, mereka saling berhadapan dan Sidney langsung bersembunyi di belakang Aussie –sang ibu. Tidak berani menghadapi ayahnya.
Harland mengawasinya dengan tatapan menilai. Mereka sudah siap untuk pergi, tapi tidak untuk pergi ke sekolah sebab bocah itu tidak mengenakan seragam taman kanak kanak tapi berpakaian kasual. Engan Aussie yang memegang ... koper.
Selama ini dia melarang Aussie untuk mengantar anak itu ke sekolah dan membiarkan supir yang dia pekerjakan untuk mengantar anak itu kesekolah, dia ingin membuat lebih tersiksa hidup bersama dirinya. Dia melarang wanita itu melukis yang telah lama menjadi hobbynya, melarang wanita itu bekerja dan bergelut di dunia bisnis yang geluti oleh kakaknya. Dia mempersempit ruang geraknya hingga dia merasakan kesulitan bernafas ketika tinggal di sisinya. Menekan psikis dan fisik anak itu untuk menyiksa ibunya, well itu rencana yang briliant untuk melewati dua pulau dalam sekali dayung.
Dan sekarang wanita itu tidak lagi mau menurutinya, bertindak sesuai keinginannya dan itu membuatnya kesal. Kesenangannya untuk menyengsarakan hidup wanita itu sudah tidak ada lagi, dan kini di hadapannya hanyalah sosok pembangkan yang begitu protektif pada anak yang tidak pernah dia harapkan –Sidney.
“Mau ke mana kalian?”
Ucapan menyelidik dengan tampang beku itu begitu menakutkan bagi Sidney yang berada di balik tubuh Aussie, namun berbeda dengan wanita itu, dia dengan muka malasnya menjawab, “Pergi. Kami akan pergi dari sini.”
Iris abu – abu itu bergetar sesaat. Terkejut jika Aussie benar benar merealisasikan ucapannya. Dia pikir perkataannya kemarin hanya berniat untuk melawannya saja dan hanya berupa gertakan tapi nampaknya itu serius.
“Aku akan menghubungi pengacaraku untuk mengurus perceraian kita dan aku sudah dan ... “ Aussie membuka tas selempangnya dan mengeluarkan beberapa kartu kemudian menyorongkannya ke Harland tapi pria itu hanya memandangnya dengan tatapan rumit dan tetap bergeming. Jadi dia meletakkan kartu kartu yang memiliki limit tak terbatas itu di atas meja makan dengan Sidney yang selalu mengekorinya dan bersembunyi di belakang tubuhnya. “Aku kembalikan ini. Dan aku harap setelah ini aku tidak bertemu denganmu lagi, Tuan Dauglash,” sinisnya.
Egonya sedikit terinjak. Wanita ini bener benar ingin pergi dan lepas darinya. Dia pergi seakan dia(Harland) itu virus mematikan yang harus dia hindari sebisa mungkin agar tidak menularinya.
Aussie menurunkan matanya menarik tangan Sidney yang juga memandangnya, “Ayo kita pergi,” ajaknya lembut dan begitu hangat seakan dia takut melukai anaknya. Sindey hanya mengangguk.
Aussie sudah menjelaskan tentang kepergian mereka, meski awalnya wajah kecil tampak murung dan sedih ketika menanyakan alasan dia pergi meninggalkan ayahnya, sebab dia tahu bahwa rasa sayang anak itu pria yang selalu menyakitinya(Sidney) itu begitu besar hingga dia tidak pernah bisa membenci ayahnya. Dia lalu menjelaskan bahwa mereka harus pindah tanpa ayahnya. Dan ketika
Sidney bertanya kenapa mereka harus pindah berdua saja? Kenapa ayahnya tidak ikut?
Aussie hanya menjawab kalau jarak sekolahya terlalu jauh dari apartemen, jadi kita harus pindah ke tempat yang lebih dekat dengan sekolah Sidney dan papa tidak bisa ikut pindah karena itu akan menyusahkan papa, jarak kantor papa akan mudah dijangkau kalau papa tetap tinggal di apartemennya yang sekarang. Sikecilpun mengerti dan
Aussie hanya meminta maaf dalam hatinya karena harus menutupi semuanya demi perasaan putranya sendiri.
Dia tidak berbohong, dia mencari hotel yang dekat dengan sekolah anak itu yang memang tempatnya cukup jauh dari apartement Harland dan dekat dengan sekolah anaknya. Walaupun itu adalah cara agar putranya tidak lagi tersakiti akibat kelakuan ayahnya sendiri dan terkesan menutupi semua, tapi inilah hal terbaik yang bisa dia lakukan, dan akan ada saat di mana dia menceritakan tentang perceraian mereka suatu saat nanti.
“Aku senang sekali mendengar kabar baik ini, seharusnya kau dan putramu itu pergi lebih cepat agar tidak terlalu lama menyusahkan hidupku.” Ucapan Harland yang keluar secara tiba tiba itu yang langsung menghentikan langkah Aussie yang telah bergerak empat langkah dari Harland. Kebekuan juga intonasi yang begitu dalam dan penuh kesinisan itu sukses memantik emosi Aussie.
Tidak apa - apa jika dia(Harland) menganggapnya menyusahkan. Tidak apa apa jika dia mengutuk, menghina ataupun mencemoohnya. Tapi dia membawa bawa putranya. Anak yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya tapi dianggap beban oleh pria itu.
Dia berpaling ke Harland. Dengan tarikan kesinisan di bibir dia membalas, “Ya, seharusnya aku sadar lebih cepat kalau ternyata mencintaimu adalah adalah kebodohan terbesar yang pernah aku lakukan. Dan juga tidak seharusnya aku menjadikan seorang pria tidak berperasaan sebagai suami serta ayah bagi putraku.”
Sidney yang tersakiti di sini hanya mengamati Aussie juga Harland dengan binar sedih dari mata coklatnya. Dia berada di tengah amarah orangtuanya.
Aussie menarik tangan Sidney untuk mengikutinya sambil menarik koper yang berisi pakaiannya dan pakaian putranya. Sidney dengan takut takut melihat ke arah ayahnya menghujamkan tatapan menguliti ke punggung ibunya.
Aussie membuka pintu aparement ceoat dan bergerak keluar menyusuri lorong apartemen yang sepi. Ini masih pukul 6 pagi. Di mana penghuni apartemen masih sibuk mengurus sarapan mereka atau mungkin masih bergelung dengan selimut. Aussie sebenarnya ingin pergi tanpa melihat pria itu, tapi tidak disangka jika Harland akan bersiap di jam sepagi ini. Dia biasanya akan pergi ke kantor jam setengah tujuh pagi dan akan melewatkan sarapan bersama mereka sebab dia terlalu enggan sarapan bersama mereka. Harland sangat jarang makan di rumah, entah itu makan malam atau sarapan. Dia akan pergi tanpa sarapan meski dia selalu menawarinya untuk makan terlebih dahulu sebelum pergi tapi Harland hanya meliriknya sekilas dan pergi tanpa mengatakan apapun.
Dulu dia selalu memakluminya dan memaafkannya dengan mudah karena cintanya yang teramat besar pada lelaki itu, tapi sekarang setelah dipikir lagi dia hanya membuang buang waktu yang berharga demi bertahan di sisi Harland, pria itu akan selalu membencinya karena satu kesalahan m dan cintanya akan selalu tidak akan pernah bersambut. Dia menyayat perasaan putranya sendiri dengan begitu mudah dan sudah terlalu lama mengorbankan sikecil demi bersamanya. Dan itu adalah kebodohan yang di luar batas.
Dia tidak akan mengulanginya lagi.
Setelah ini dia akan segera menghubungi pengacara keluarga mereka. Dan perceraiannya selesai dia akan membawa Sidney untuk tinggal bersama kakaknya dan berperan bukan hanya sebagai ibu tapi juga ayah bagi Sidney, memulai hidupkan kembali dengan putra tercintanya ditemani oleh kakak tersayangnya.
Orangtuanya telah meninggal sejak lama dan selama ini dia hanya dia asuh Tantenya. Setelah usia kakaknya sudah cukup matang tantenya memberikan tanggung jawab diperusahaan peninggalan ayah mereka.
“Mama.”
Panggilan anaknya membuatnya terbangun dari pemikirannya, “Apa, Nak ..? Dia merunduk sambil terus berjalan bersamaan. “Cerai itu apa?”
Tanpa sadar kakinya berhenti mendengar pertanyaan Sidney. Dengan muka tegang. “Mama bilang pada papa tadi kalau Mama akan mengurus perceraian,” lanjut Sidney. “Dan apa benar aku ini menyusahkan?”
Sembilu seakan tepat menancap di jantungnya. Dia ingin sekali kembali ke dalam dan melemparkan makian pada pria itu. Tapi dia tidak mau dia tidak ingin anaknya memberikan contoh yang buruk bagi Sidney, walau dia sangat tahu bahwa apa yang dia ucapkan tadi bukanlah hal baik, tapi palinh tidak dia sudah berusaha menahan diri sebisa mungkin untuk menampar Harland. Dengan cepat dia mensejajarkan diri setengah berlutut, “Tidak,” bantahnya lembut. “Kau tidak pernah menyusahkan siapapun. Papa hanya sedang marah jadi dia mengeluarkan kata kata menyakitkan seperti itu.”
“Tapi papa tidak menyukaiku selama ini, apa itu karena aku menyusahkan?”
Dia menangkup wajah kecil Sidney, “Sidney itu anugerah buat Mama juga papa,” ujarnya, “Papa mengatakan semua itu karena dia marah pada Mama karena kesalahan yang Mama buat pada papa.”
“Kesalahan apa, Mama?”
Lidahnya mendadak kelu. Tidak mungkin dia menjalaskan kesalahan yang berbau intim itu. “Bagaimana kalau Mama menjelaskannya nanti, karena Mama tidak sabar ingin menunjukanmu tempat tinggal baru kita.”
Walau tidak ingin tinggal jauh dari ayahnya, tapi dia tetap ikut bersama ibunya.
Sidney mengangguk, “Ya, Mama ... “ sahutnya menuruti. Dia bisa tenang sebentar dan memiliki waktu untuk memikirkan jawaban yang tepat nanti.