Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3

Setelah mie di mangkuk habis, ponselku berbunyi. Ternyata ada pesan dari direktur Rumah Sakit Harapan, Pak Bandi.

"Indhira, kamu yakin tidak mau bekerja di Rumah Sakit Harapan?"

Pak Bandi adalah pembimbingku. Ketika dia menjadi pembimbingku, aku selalu menempati peringkat pertama.

Dia mencoba membujukku untuk bekerja di Rumah Sakit Harapan dan menjadi dokter bedah utama, tetapi saat itulah aku bertemu dengan Hendra.

Pada akhirnya, aku pun hanya menjadi dokter klinik umum di dekat lingkungan kami tinggal agar aku bisa menemaninya dan menyesuaikan jadwalnya.

"Saat itu, dari semua siswa yang kubimbing, hanya kamu mahasiswa yang paling berbakat di angkatanmu. Tapi, sayangnya kamu ... Sekarang, rumah sakit ini benar-benar sedang kekurangan tenaga medis, jadi tolong pikirkan lagi."

Memikirkan bagaimana cara Pak Bandi yang sudah berusia lanjut ini bersikeras membujukku, aku benar-benar tidak enak jika harus menolak mentah-mentah lagi. Jadi, aku pun menjelaskan pelan dengan sopan.

"Pak Bandi, beberapa hari yang lalu tanganku terluka dan juga aku tidak tahu ke depannya akan seperti apa."

Tidak disangka bahwa baru saja pesan itu terkirim, Pak Bandi langsung melakukan panggilan video, menanyakan beberapa kabar secara rinci, lalu memberikan nasihat.

"Lukamu tidak akan mempengaruhi apa pun setelah kondisimu pulih. Indhira, bergabunglah dengan kami di Rumah Sakit Harapan."

Melihat ketulusan Pak Bandi, hatiku tergerak dan akhirnya aku mengangguk setuju.

Mendengar itu, Pak Bandi tampak sangat senang, seperti anak kecil yang mendapat permen.

Aku menutup telepon setelah berbincang sejenak. Karena akan kembali bekerja, aku membaca kembali catatan yang aku buat ketika belajar kedokteran.

Tulisan tangan yang tebal dan padat di buku catatan itu menggambarkan betapa keras usahaku saat itu. Entah kenapa aku tidak bisa menahan kesedihan yang menyeruak di dalam hatiku.

Belajar kedokteran selalu menjadi impianku, tetapi dulu aku melepaskan impianku hanya demi untuk memiliki keluarga yang hangat bersama Hendra. Namun, sekarang....

Tidak, aku masih punya kesempatan. Aku masih bisa menemukan kembali diriku yang dulu, yang bergerak maju meraih mimpiku dengan sekuat tenaga.

Jadi, aku membaca ulang kembali catatan itu. Tanpa aku sadari, aku terhanyut di dalamnya.

Sampai-sampai aku tidak sadar kalau Hendra sudah kembali.

"Indhira, kamu lagi baca apa?"

Aku mendongak dan melihat kilatan rasa jijik di mata Hendra.

Aku masih ingat saat aku dan Hendra baru bersama. Aku sempat menceritakan kisah menarik tentang kuliah kedokteran kepadanya.

Namun, saat itu dia menutup hidungnya dan menghindar cukup jauh.

"Indhira, apa kamu suka hal-hal yang berdarah-darah seperti itu? Mendengarnya saja sudah membuatku tidak bisa makan."

Saat itu aku terlalu mencintainya, jadi aku patuh kepadanya, sejak saat itu aku pun tidak pernah lagi menyinggung soal pekerjaan di depannya.

Namun, sekarang aku tidak ingin menghindarinya lagi.

"Catatan tentang profesiku."

Aku menanggapi dengan dingin, sementara Hendra yang mendengar itu jadi tidak sabar.

"Hanya karena ini, kamu bahkan tidak mau menjawab teleponku?"

Melihat sikap marahnya, aku hanya merasa aneh.

Selama tiga hari tanpa kabar sebelumnya, aku menelepon ratusan kali dan dia tidak menjawab panggilanku.

Ketika nyawaku hampir melayang di rumah sakit, para perawat terus meneleponnya tapi dia juga tetap tidak menjawabnya.

Sekarang, aku hanya tidak menjawab panggilannya satu kali dan dia sudah marah?

Aku tidak ingin memedulikannya. Melihat lenganku yang terbalut gips, dia sedikit terkejut dan bertanya apa yang terjadi kepadaku.

Aku menceritakan penyebab cedera lenganku dengan tenang, dia tanpa sadar menggosok hidungnya.

Hendra mungkin merasa bersalah, jadi dia ingin mendekatiku untuk menunjukkan perhatiannya. Namun, aku melangkah mundur selangkah.

Dia sedikit terkejut, kemudian berbicara.

"Hari itu Anna bilang ingin pergi buat foto matahari terbit. Tapi di tengah perjalanan, dia ingin memfoto pemandangan sungai. Aku sebenarnya ingin bilang sama kamu...."

Mendengarkan penjelasannya, aku hanya merasa ingin tertawa.

Ketika kecelakaan itu baru saja terjadi, ponselnya masih bisa dihubungi.

Hari itu, dia memiliki waktu berjam-jam untuk menghubungiku, walau hanya sebuah kalimat.

Aku menatapnya sambil menyeringai dan tidak mengatakan apa-apa.

Mungkin dia sadar kalau dirinya salah, jadi ketika tatapan matanya bertemu dengan mataku, dia langsung mengubah topik pembicaraan.

"Kamu tahu sendiri, Anna itu adikku. Meskipun kami tidak ada hubungan darah, tapi aku tetap harus menjaganya dengan baik."

"Dia terlalu dimanjakan dan tidak pernah menggunakan jari-jarinya untuk melakukan pekerjaan rumah tangga. Sejak kecil, dia tidak bisa mengurus dirinya sendiri, bagaimana dia bisa melakukannya tanpa aku? Setiap kali, pasti harus ada aku yang selalu membantunya...."

Hendra mungkin tidak menyadari bahwa ketika dia mengatakan hal ini, di sudut mulutnya terukir senyuman yang belum pernah aku lihat sebelumnya.

Aku memperhatikannya dalam diam.

Hendra memang tampan, terutama sepasang matanya, membawa emosi yang dalam dan penuh kasih sayang bahkan ketika melihat seekor anjing.

Aku dimabuk oleh pesona tatapan matanya selama lima tahun, tetapi sekarang saatnya aku sadar.

"Kalau dia tidak bisa, masih ada kamu yang bisa membantunya."

Aku mengatakannya dengan tenang, lalu bersiap untuk pergi.

Namun, Hendra tampak sedikit terkejut, mungkin heran mengapa aku tidak mengomel memintanya melakukan hal yang sama kepadaku seperti biasanya.

"Indhira, kenapa bicaramu menyindir begitu? Aku dan Anna tidak seperti yang kamu pikirkan...."

"Aku tidak berpikir apa-apa, aku tahu kalau kalian kakak adik. Aku tidak peduli kok, jadi silakan lakukan apa pun yang kalian inginkan."

"Lenganku terluka, jadi aku tidak bisa tidur dengan tenang. Aku akan tidur di kamar tidur tamu sampai sembuh."

Setelah mengatakannya, aku pergi tanpa menoleh ke belakang, lalu menutup pintu kamar tamu.

Tak lama kemudian, aku mendengar suara pintu dibanting dengan keras di luar. Ternyata Hendra marah lagi.

Dulu, saat aku kesal atau marah, dia menganggap emosiku sangat buruk. Sekarang, ketika aku bisa bersikap tenang, dia masih menganggapku salah?

Mungkin di matanya, semua yang aku lakukan itu salah.

Namun, aku yang sekarang sudah tidak akan bersedih karena hal-hal seperti ini lagi. Memulihkan keadaanku adalah yang paling penting.

Namun, aku tidak menyangka Hendra bahkan bisa melakukan sesuatu yang akan membuatku makin tidak nyaman!

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel