Bab 2
Hendra masih belum datang mengunjungiku sekali pun walau setengah bulan sudah berlalu.
Aku akhirnya sudah bisa keluar dari rumah sakit, hanya saja tubuhku masih lemah dan lengan kiriku masih terbalut gips.
Kecelakaan tanah longsor itu hampir membunuhku. Untungnya, aku mendapatkan penanganan medis tepat waktu dan dokter yang sangat terampil. Jadi, aku bisa pulang dan memulihkan diri di rumah.
Hendra akhirnya mengingatku lagi dan mengirim pesan kepadaku.
"Malam ini pulang jam berapa? Aku lapar."
Seketika, aku merasakan kelelahan menghampiriku seperti gelombang pasang yang menerpa hatiku.
Dia selalu bertindak sebagai pihak yang memanggil dan memegang kendali, sementara aku tidak pernah punya hak untuk menolak.
Pada saat ini, seorang kenalan lama menghentikanku. Ketika aku mendongak, aku baru menyadari ternyata dia adalah mantan seniorku di kampus kedokteranku dulu, Galih Ganindra.
Galih prihatin dengan kondisiku dan menawariku tumpangan, ingin mengantarku pulang. Aku tidak bisa menolak tawarannya dan setuju.
Sesampainya di depan lingkungan apartemen, dia bersikeras ingin mengantarku sampai ke atas. Namun, aku menolak berkali-kali dan dia pun akhirnya menyerah.
Dia menatapku, lalu mengingatkanku untuk berhati-hati dan segera menghubunginya jika terjadi sesuatu.
Setelah mengantar Galih, aku masuk ke dalam rumah. Ketika membuka pintu, hanya kegelapan yang menyambutku.
Keadaan di rumah masih berantakan sama seperti saat aku panik untuk pergi menyelamatkan Hendra.
Hendra tidak pernah kembali selama beberapa waktu ini.
Saat ini sudah larut malam, aku sangat kelaparan dan tanganku terluka. Jadi, aku tidak punya pilihan lain, hanya bisa memasak semangkuk mie.
Ketika memakannya, aku malah merasa mie ini terlalu asin.
Tak lama kemudian, aku pun langsung menyadari bahwa ini karena air mataku jatuh ke dalam kuah mie, yang membuat mie menjadi asin dan tidak enak dimakan.
Perlu diketahui, aku tidak menangis ketika Hendra hilang.
Aku tidak menangis ketika semua orang mendesakku untuk berduka.
Aku tidak menangis saat memimpin tim penyelamat untuk pergi bersama dan tertimpa batu yang jatuh.
Namun, sekarang padahal Hendra jelas-jelas dalam keadaan selamat dan sehat, kenapa air mataku malah tidak bisa berhenti?
Setelah menangis untuk beberapa saat, aku akhirnya mengangkat tangan kananku yang tidak terluka untuk menghapus air mataku dengan keras.
Melihat tanganku yang terluka, aku pun bertekad mengambil keputusan.
Jika rasa suka ini ditakdirkan membuatku harus menerima semua rasa sakit ini, mungkin sejak awal aku seharusnya tidak menyukai Hendra.