Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

8. Hari yang Singkat.

Jumat menjadi hari paling singkat menurut keseluruhan siswi. Oleh karenanya, mereka sedemikian rupa merias diri dengan tujuan menarik perhatian Takashi.

"Lihat! Para wanita di sini sengaja berdandan, mereka pikir manusia es seperti Takashi bisa jatuh hati," celetoh Obi. Bersandar di permukaan dinding kelas.

Pendapat Aiko juga tak jauh berbeda dari temannya itu. Kenapa mereka harus sibuk berias? Jika memang Takashi suka, tentu dari dulu ia terpikat.

"Ngomong-ngomong kau tidak dandan?" Lempar Obi, karena wajah Aiko tak memiliki riasan sedikitpun.

"Tidak … aku hanya memakai sun screen."

"Tapi wajahmu sudah sangat bagus, tidak perlu macam-macam," ujarnya.

"Heem," gumam Aiko.

Ini sudah lewat 20 menit dari jam pertama yang seharusnya dimulai. Takashi belum juga tiba.

"Haiii! Aku cantik kan?" Teriak Hara kala baru masuk kelas. Ia memunciskan bibirnya, memamerkan lip tint merah muda yang terkesan soft tapi tetap menonjol.

"Ish, rasanya aku ingin memanggilmu Tante," tukas Obi.

"Obito! Mulutmu itu harimaumu!"

"Kau terlalu alay, kalian juga," paparnya pada siswi lain.

"Ssst …"

Seorang guru yang siswi nanti-nanti akhirnya tiba. Semuanya kocar-kacir menduduki kursi masing-masing.

Sedari Takashi berjalan masuk sampai terduduk di atas kursi guru, para siswi enggan memalingkan wajah.

Apa yang mereka lakukan seakan-akan mengambil kesempatan. Selagi Takashi masih ada di sini, mereka harus baik-baik memanfaatkan.

"Selamat pagi menjelang siang anak-anak …" sapa Takashi, "Apa kalian sudah mencatat apa yang Sensei minta??"

"Sudah," jawab semuanya kompak.

"Sekarang buka catatan kalian masing-masing, sensei akan menjelaskan. Materi ini keluar jika ujian pertengahan semester, jadi kalian harus memahaminya dengan baik," tutur Takashi.

"Baik, sensei."

"BAB 1 adalah perubahan sosial … perubahan sosial dipengerahui oleh beberapa hal …"

Detik berlalu cepat. Pelajaran sosiologi yang menurut para siswa sangat membosankan, jadi lebih menyenangkan kala pengajarnya adalah Takashi. Hingga tak terasa waktu mengajarnya pun berakhir.

Guru muda berumur 27 tahun itu merapikan buku-bukunya kembali, membenarkan dasi kemejanya serta mengenakan jas hitam yang barusan dilepas.

"Uhhh, Takashi sensei memang sangat menawan."

Entah tak terhitung berapa kali. Hara terus memuji guru sosiologi berumur 27 tahun tersebut.

Sementara Aiko ikut memperhatikan Takashi. Ia penasaran dengan hal apa yang membuat siswi mengaguminya.

"Ku dengar kalian ada siswi baru," ucap Takashi sebelum kakinya melangkah pergi.

"Iya, sensei."

"Boleh kenalkan …!" Titahnya mengedar pandangan ke arah mereka.

Merasa yang dimaksud dirinya. Aiko pun bergegas bangkit.

"Saya, sensei. Nama saya Aiko Hamaru. Saya siswi pindahan dari Indonesia," ungkap Aiko, "terimakasih," imbuhnya membungkuk setengah badan.

Takashi tak menjawab. Ia memandang Aiko agak lama, membuat Aiko menundukan kepala. Kemudian angin meniup lembut rambut gadis itu. Hingga poni yang setia menutupi keningnya berterbangan.

Tanpa sadar Takashi mengulas senyuman dan melenggang pergi.

"Haih! Takashi sensei tersenyum padamu!" Protes Hara terdengar kesal.

**

Usai sudah jam kelas semua siswa. Beberapa ada yang pulang, ada juga yang tetap di sekolah untuk pelajaran tambahan hingga pukul 8 malam nanti.

Kebetulan Aiko mengambil salah satu ekstra kurikuler kesukaannya, yakni seni fotografi. Hanya saja saat ini ia tak ditemani Hara dan Obi. Lantaran kedua temannya tidak tertarik dengan fotografi.

"Hai …"

Seorang pria berambut lebih panjang dari siswa biasanya mendekati Aiko. Ia dari kelas lain.

"Hai," balas Aiko lirih.

"Kau tidak keberatan aku duduk denganmu?"

Aiko balas menggeleng. Jujur saja ia sedikit canggung. Selama di sini ia hanya berkenalan dengan teman kelasnya saja.

"Kau Aiko Hamaru kan?"

"Um, iya," gumam Aiko masih lirih.

Pria di sampingnya tersenyum manis. "Pasti kau heran kenapa aku tau namamu."

"Um, iya."

"Namaku Kai. Semenjak kau masuk sekolah ini, namamu jadi trending topik di akun sekolah. Apa kau tak mengerti?"

Aiko lupa. Jika dirinya belum memasukkan diri ke akun sekolah yang Kai maksud.

"Em, aku belum masuk ke sana."

"Begitu yah. Mau ku bantu memasukkan akunmu?"

"Um, iya." Aiko mengulurkan ponsel berlogo apel.

Dengan hitungan detik. Kai mengembalikan ponsel gadis itu. "Sudah."

"Terimakasih …"

Setelah menunggu lima menit sejak para siswa ekstra kurikuler memasuki kelas. Guru pengajar pun datang.

"Takashi sensei …" Aiko tercengang, ia tak mengerti jika guru ekstra kurikulernya adalah Takashi.

"Ada apa?"

"Um … apakah Takashi sensei pengajar ekstra ini?"

"Tentu saja. Kenapa?" Tanyanya ingin tau.

"Um … tidak, aku hanya sedikit heran. Bukankah Takashi sensei digemari banyak siswi, tapi di sini hanya ada beberapa siswi yang ikut."

Kai tertawa geli. Menjadikan tatapan Aiko mengarah padanya.

"Kau ini lucu sekali … apa kau tidak ingat saat kali pertama memilih ekstra kurikuler ini, kau diminta tes lebih dulu."

Sekilas Aiko mengingat ketika ia mencentang pilihan ekstra kurikulernya. Saat itu juga ia memang diminta tes dengan menjawab beberapa pertanyaan dan menjelaskan sedikitnya tentang seni fotografi.

"Um, iya."

"Itu persyaratan khusus yang dibuat Takashi sensei. Agar para siswi tidak mudah masuk ke ekstra ini," jelas Kai.

"Ohh, begitu yah."

"Apa kalian berdua ingin mengobrol?"

Tiba-tiba Takashi berdiri di samping Kai. Wajahnya yang dingin, suaranya khas laki-laki serta tatapan badboy tak pernah lepas.

"Tidak, sensei. Tolong maafkan kami," ucap Kai.

Takashi malah melirik ke arah Aiko. Gadis yang tengah menundukan kepala sampai sebagian pipinya tertutup rambut.

Dari sudut matanya. Aiko melihat Takashi memperhatikan dirinya. Gadis itu semakin menunduk takut.

"Baiklah … segera kita mulai."

Ekstra kurikuler berjalan selama 2 jam. Tepat di angka 18:30, satu-persatu murid berhamburan keluar.

Saat itu langit mulai gelap. Cahaya rembulan masih bersembunyi di balik awan kelabu.

Lampu-lampu di sepanjang halaman kelas telah dinyalakan. Dari lantai dua. Aiko melihat hamparan sepeda yang tadi pagi memadati pelataran parkir hanya tersisa beberapa biji.

Sudah sepi, ucapnya dalam hati.

Aiko berdiri sebentar. Ia harus menghubungi Hiroshi. Menanyakan sudah sampai di depan gerbang atau dalam perjalanan. Namun, ternyata ponsel Aiko kehabisan baterai.

Terpaksa Aiko memastikan sendiri menuju tepi jalan. Ia melangkah pelan, senada dengan tubuhnya yang mungil menggemaskan.

Tanpa Aiko sadari. Takashi berjalan di belakangnya. Tetapi tidak ada maksud apa-apa, selain menatap rambut pendek gadis itu.

Sesampainya di depan gerbang. Mobil yang Aiko nanti malah tak ada. Ia melihat benda melingkar di pergelangan tangannya.

"Hampir jam 8," gumam gadis itu.

Aiko memilih duduk di halte bus. Mungkin saja akan ada bis yang melintas menuju daerah rumahnya. Akan tetapi lama menanti, penantian itu tak membuahkan.

Jarum jam pendek mendekati angka 9. Perasaan Aiko mulai resah, wajahnya was-was, jemarinya saling berpautan, sesekali ia mengigit bibir bawahnya. "Di mana Pak Hiroshi?"

Mau tak mau Aiko beringsut bangun. Ia harus pergi ke halte lain, karena di sini semakin sepi. Membuat angannya melayang kemana-mana.

Ia berjalan cukup jauh dari gedung sekolah. Tak lupa selalu menoleh ke belakang. Kali saja ada bis melintas atau mobil Miyuki menjemput dirinya.

"Em, bagaimana ini?" Suara Aiko bergetar.

Tak sadar Aiko malah melintasi jalan yang lebih sepi, hanya ada satu atau dua lampu penerangan, dipenuhi deretan pohon rimbun serta aura mencekam yang siapapun pasti akan merinding.

Aiko mempercepat langkahnya, atau lebih tepat disebut berlari kecil.

Hingga tiba-tiba Aiko tersandung polisi tidur. Ia pun tersungkur jatuh.

"Aduh …"

Tin …

Sebuah cahaya terang menerpa wajahnya. Sambil terduduk, ia menutup wajah dengan tas.

Ciiittt …

Mobil itu berhenti tepat di depan Aiko. Terdengar pintu mobil dibuka. Langkah berat mendekati dirinya.

"Ayo ikut ayah!"

Sentuhan dingin dan kuat mendarat di pergelangan tangan Aiko. Aiko melonjak kaget, sigap ia berontak.

"Tidakkk!"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel