Pustaka
Bahasa Indonesia

Sensei!

277.0K · Tamat
Zhang Ayu
258
Bab
2.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

Aiko Hamaru awalnya bolak-balik pindah sekolah karena selalu bolos. Namun ketika dia pindah sekolah di Jepang, dia bertemu Takashi Sensei. Benih-benih cinta tumbuh di hatinya! Hanya saja, percintaan guru dan murid adalah masalah terlarang!

RomansaTeenfictionDewasaCinta Pada Pandangan PertamaSweet

1. Hari Buruk ke-12.

Rintik hujan sisa semalam enggan usai walau mentari sudah melambung tinggi. Kendati demikian tak menghentikan alur kehidupan yang memadati kota.

Tin!

Tak terhitung berapa kali klakson kendaraan saling sahut menyahut. Diikuti kendaraan demi kendaraan saling menyalip.

Kesibukan memaksa mereka melawan maut. Tak khawatir jika ban motor tergelincir akibat jalan licin atau abai kala beberapa supir berteriak penuh umpatan keji. 

Ya, semua orang punya masalah sendiri-sendiri. Sama halnya seperti gadis kecil di dalam mobil yang sudah bermenit-menit duduk rapi.

Diantara semua kendaraan. Hanya mobilnya yang paling memukau. Menunjukan jika penumpang di dalamnya bukan orang biasa.

"Sebentar lagi sampai, Nona," ucap sang supir bernada lembut.

Gadis kecil itu hanya bergumam lirih. Jujur saja ia sudah malas masuk sekolah. Alasannya ia terlalu bosan mendapat ocehan keji mengenai dirinya.

Kurang lebih 10 menit mobil berhenti di depan gerbang gedung besar setinggi 5 lantai. 

Berdasarkan kemegahan sekolah tersebut. Siapapun akan bangga jika mereka bagian dari salah-satu murid di dalamnya. Namun, tidak dengan gadis kecil bernama Aiko.

Cara Aiko menatap menunjukkan jika ia tak memiliki kebanggaan apapun. Malahan hanya rasa jengah dan penuh kebencian.

Bagi Aiko. Memasuki gedung tersebut sama halnya memasuki arena tarung. 

Di mana kekuatan fisik dan hatinya akan teruji di sana. Jika kuat akan bertahan dan jika tidak maka akan hengkang.

"Silahkan, Non," ucap sang supir membukakan pintu mobil.

Lantas Aiko mendaratkan kaki kirinya diikuti kaki kanan, keluar mobil.

Aiko melenggang pergi tanpa ucapan salam atau basa-basi lain. 

Sang supir faham betul karakter nona kecilnya. Ia hanya menatap lekat, sambil memohon dalam hati agar Aiko segera terlepas dari duka yang dipikul.

"Lihat … anak itu telah berangkat kembali!" Seru seorang wanita cantik berambut ikal. 

Aiko kenal siapa wanita itu. Yakni ketua geng para wanita cantik di tingkatan kelasnya. 

Semua murid yang berada di bawah wanita itu akan patuh bagai sapi jinak. Mereka rela melakukan apapun supaya ketua mereka merasa puas. 

"Setelah berhari-hari sembunyi di bawah ketek ibunya. Dia berani muncul juga …" imbuhnya.

Sontak kalimat tersebut disambut tawa renyah para siswa di sekitarnya. 

Sepanjang koridor sekolah. Aiko berjalan menundukkan kepala. Ia tak memiliki nyali sedikitpun untuk membalas tatapan atau ejekan mereka.

Tekad Aiko saat ini hanyalah satu. Yakni cepat-cepat sampai di kelas, menghempaskan panta* kecilnya di atas kursi lalu mulai mendengar serta mencatat semua pelajaran.

"Tiara … bukankah gadis itu tidak memiliki ibu, yah? Bagaimana bisa dia sembunyi di bawah ketek ibunya?"

Tiara nama dari ketua geng wanita cantik di sekolah ini.

"Ups …" Tiara menutup bibirnya dengan jemari lentik berhiaskan kutek merah muda. "Aku lupa teman-teman." Lanjut Tiara setengah mengejek Aiko. 

Semua siswa saling tertawa dan melempar bisikan demi bisikan kepada Aiko. Aiko yang masih berjalan benar-benar tak kuat. Ia pun segera berlari menghindari tatapan mangsanya.

"Hahaha … tikus got itu berlari!"

Hahahaha …

Bukkk …

Lantaran tak memperhatikan jalan. Aiko menabrak tubuh sintal seorang wanita berseragam cokelat muda, kaca mata membingki kedua matanya dan wajah merah padam mengekspresikan kemarahan membara.

Sontak semua siswa yang tadi berdiri di depan kelas segera masuk ke kelas masing-masing, termasuk Tiara.

Sedang Aiko membungkuk setengah badan. "Maaf, Bu. Maaf, Bu. Maaf …" ucap Aiko berulang-ulang.

Wanita di hadapan Aiko menurunkan kaca matanya sedikit. Melirik wajah Aiko yang agak tersembunyi dari rambut hitam gadis itu.

"Kau … Aiko Hamaru 'kan?" Tanya wanita tersebut bernada berat.

"I--ya, Bu. Saya Aiko Hamaru kelas 11 IPS."

Wanita itu menghela kasar. "Ayo ikut saya ke ruangan!"

"Ba--baik, Bu."

Aiko mengekori wanita di depannya menuju sebuah ruangan khusus di ujung gedung. 

Ruangan yang hanya didatangi oleh siswa-siswi bermasalah dan ruangan yang menjadi saksi bisu alasan dikeluarkannya para siswa dari sekolah ini.

"Silahkan duduk!" Aiko diminta duduk. "Kamu pasti tau alasan saya meminta kamu ke sini."

Aiko menggeleng lemah. Walau ia tau, ia tak ingin mengakuinya.

Wanita ber-Id card Melani Lestari, M.Psi itu mengeluarkan sebuah dokumen dan selembar amplop putih.

"Saya akui nilai kamu selalu tinggi dan stabil. Jika kepintaran kamu terus diasah, kamu juga bakalan punya prestasi yang baik. Tetapi selama kamu sekolah, kamu sudah berpindah-pindah kurang lebih 11 kali. Bagaimana mungkin itu dianggap baik, Nak." Jelas Wanita tersebut.

Aiko bergeming. Kepalanya semakin menunduk. Ia faham kata apa yang akan selanjutnya ia dengar.

"Selama satu pekan kau juga tidak berangkat tanpa alasan jelas. Jadi … berikan amplop ini ke orang tuamu."

Benar dugaan Aiko. Hari ini juga ia dikeluarkan dari sekolah yang baru ia masuki beberapa bulan lalu.

Aiko tak kaget. Gadis itu terbiasa menerima hal demikian. Akan tetapi satu hal yang selalu membuat hati Aiko teriris-iris, yakni diberikan kepada siapa lagi surat pengeluaran dirinya itu?

"Sebagai pengantar kamu supaya bisa diterima di sekolah lain. Ibu sudah siapkan rapot untuk nanti kamu masuk ke kelas 12. Ibu yakin kamu pintar … asal kamu bisa menjadi lebih baik lagi."

Tak ada kalimat apapun yang bisa Aiko berikan. Gadis itu hanya membungkuk setengah badan seperti sebelumnya. Lalu menggapai dokumen dan selembar amplop putih di atas nakas. 

Ia melangkah keluar dengan tatapan kosong melompong. 

Pasalnya ia bingung harus ke mana? Menjelaskan pada siapa? Dan berbuat apa?

Beruntung bel masuk sudah berbunyi beberapa detik lalu. Satu-persatu siswa masuk ke dalam kelas masing-masing. 

Tersisa Aiko seorang, berjalan lamban menyusuri lantai demi lantai menuju tempat tak terarah.

Tak ada satupun tempat yang bisa Aiko kunjungi selain toko kecil tak jauh dari rumahnya.

Ia membeli snack berukuran besar dan dua botol teh Javanese. 

Kebiasaan itu tak pernah hilang setiap kali ia dikeluarkan dari sekolah. Ia baru akan pulang ke rumah jika menjelang Maghrib. Saat itu semua orang ada di rumah dan bisa mendengar pengakuan Aiko. 

Walaupun nantinya ia akan dimaki dan dicaci. Ia terima lapang dada. Baginya semua sudah menjadi makan bulanan.

**

"Sudah jam berapa ini, hah? Kenapa bocah sialan itu belum juga pulang."

Di dalam rumah sebesar itu. Seorang pria berkumis tebal melengkingkan suara hingga bergema ke seluruh sudut-sudut rumah. 

Ia adalah kakak dari ayah Aiko, sekaligus pria yang selama dua tahun belakangan ini bertanggung jawab atas kehidupan Aiko.

Tepatnya setelah perceraian kedua orang tua Aiko. Aiko ditelantarkan. Dari mereka berdua tak ada yang mau merawat bocah malang itu. Alasannya sepele, hanya karena tidak mau terbebani. 

Padahal Aiko adalah anak kandung mereka. Anak yang lahir dari rahim ibunya dan anak yang hadir atas benih ayahnya.

"Paijo! Sudah kamu jemput belum, hah!" Seru paman Aiko, Ferdian.

"Sudah, Pak. Tapi tadi sekolahnya saja sepi. Menurut salah satu siswa juga semua murid telah pulang. Tidak ada ekstrakurikuler atau kegiatan lain."

"Bocah sialan itu sama seperti ayahnya! Menyusahkan!" Ferdian tak henti-henti mengatai Aiko. 

Kemarahan ferdian terus meluap-luap bagai air mendidih. Sepulang kantor ia bolak-balik tanpa mengganti setelan jasnya. 

Ceklek …

Hingga akhirnya pintu terbuka. Gadis bertubuh mungil, berkulit putih, berambut cokelat sepanjang bahu dan berwajah khas Jepang menjulurkan kepalanya ke dalam.

Bak mendapat mangsa. Ferdian segera menuruni anak tangga dengan langkah sepatu dihentak-hentak menjadikan ketukan terdengar berat. 

"Om …" Aiko memberanikan diri menyapa pamannya. Namun, ia dibalas tatapan sinis.

"Dari mana kamu?" Tanya Ferdian tak memperdulikan lebih dulu tampilan berantakan Aiko.

"Aku … aku …"

Lantas Ferdian merampas paksa dokumen dari dekapan tangan Aiko. Membaca setiap lembarnya sampai menemukan sebuah amplop putih.

Tanpa menunggu lebih lama. Ferdian membuka amplop tersebut dan membaca selembar kertas yang ada di dalamnya. 

"DIKELUARKAN LAGI?"