Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

2. Sendiri Berteman Sepi.

Selepas memaki dan memukul lengan Aiko. Ferdian mengurung gadis malang itu di dalam kamarnya. 

Harapan Ferdian. Agar Aiko bisa merubah diri, dari yang buruk menjadi baik sesuai kemauan paman dua anak itu.

Tanpa bertanya apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana bisa terjadi dan kenapa bisa dirinya tak jua berubah? 

Ferdian memang menganggap Aiko adalah keponakan yang ia rawat. Tapi sebetulnya, ia malah menelantarkan Aiko dengan cara tidak memperhatikan di saat usianya menginjak masa remaja.

Semua ini karena ibu dan ayah. Lagi dan lagi Aiko harus mengalahkan orang tuanya. Sebagaimana tindakan mereka telah merenggut masa bahagia Aiko, masa remaja Aiko dan hanya meninggalkan rasa kelam bagai lautan terdalam.

"Tuan, apakah nona Aiko tidak perlu kita kirim makanan?" Tanya bi Inah, selaku kepala asisten rumah tangga di kediaman Maliki.

"Tidak perlu. Gadis itu sedang ku hukum," jawab Ferdian tanpa ada keraguan.

Padahal sedari pagi. Aiko baru memakan cemilan dan dua teh botol saja. Perut kecil gadis itu belum terisi nasi sesendok pun.

"Baik, Tuan." Bi Inah membawa bakinya ke belakang. 

Ferdian lanjut menyelesaikan pekerjaan kantor yang belum sempat selesai.

Di sisi lain. Aiko meringkukan tubuh di ambang jendela. Seragam putih abu-abunya masih melekat, tas berukuran sedang yang tadi ia gendong tergeletak di atas kasur. 

Dalam genggaman tangan Aiko terdapat secarik foto keluarga yang telah ia robek menjadi tiga bagian. Setiap bagian berisi satu wajah, tentu semua adalah foto ia dan kedua orang tuanya.

"Kalian di mana?" Tanya Aiko pada embusan angin malam. Datang dari laut meniup lembut anak rambutnya. 

"Taukah kalian jika aku sudah sangat kuat menghadapi semua ini?"

Ucapan Aiko terdengar malang. Mengekspresikan betapa hancurnya hidup dirinya saat ini. Tetapi tak setetes pun air mata membasahi wajah putihnya.

Ibarat kata. Air mata gadis itu telah terkuras habis sampai tak tersisa sedikitpun.

"Taukah kalian … jika aku merasa tak pernah memiliki siapa-siapa di dunia ini. Lalu kenapa kalian yang membuatku ada, tapi meninggalkanku?"

Sepanjang malam Aiko terus mengoceh sendiri. Berbicara banyak hal melampiaskan kemarahan dihatinya. Karena hanya cara itulah Aiko bisa bertahan hingga detik ini.

**

Semua keluarga tengah berkumpul di antara lingkaran meja makan. Kurang lebih 7 orang termasuk Ferdian sendiri. 

Hanya ada satu anggota yang tak akan datang pada acara sarapan hari ini, tentu itu adalah Aiko. Gadis malang yang masih terkunci di dalam kamarnya.

Ferdian seakan tak punya Hati. Seharian ia membiarkan keponakannya kelaparan dan kehausan. Namun, bagi Ferdian. Semua hal yang ia lakukan semata-mata untuk mengubah karakter Aiko. 

"Bagaimana sekolahmu, Nak?" Tanya Ferdian pada putra bungsunya. Putranya baru menginjak sekolah dasar. Dan tahun ini ia masuk kelas 5.

"Semua berjalan baik, Ayah," balas putra bungsunya penuh keceriaan.

"Bagus, Nak. Sekolah yang rajin dan jangan buat masalah seperti kakakmu."

"Iya ayah. Tentu aku tidak ingin seperti kak Aiko."

"Ngomong-ngomong bocah itu belum makan dari kemarin?" Istri Ferdian ikut menyela.

"Aku sedang menghukumnya, biarkan saja. Nanti sore baru ku buka."

Lantas semua hanya saking menatap. Tak ada satupun anggota keluarga yang mampu menentang perintah Ferdian. Bahkan kakek dari Aiko sendiri tak bisa ikut campur.

"Ayo kita berangkat!"

Ferdian beserta kedua anaknya beringsut bangkit. Ia lebih dulu mengakhiri sarapan. Karena pekerjaan sudah menantinya.

Sementara itu istri Ferdian, yakni Mita. Diam-diam mengambil nasi, beberapa lauk serta segelas air dan dibawanya naik ke lantai dua menuju kamar Aiko.

"Oh, yah! Kunci," ucap Mita berbalik arah. Ia memasuki kamarnya, mencari kunci pintu kamar Aiko yang suaminya sembunyikan.

Akan tetapi kunci tersebut tidak ia temukan mesti semua tempat sudah ia geledah.

Di mana mas Ferdian menyimpan kuncinya? Tanya Mita dalam hati.

Sekali lagi Mita mengobrak-abrik seisi kamar. Tetap saja benda kecil yang dicari tak jua ketemu.

Kring …

Ponsel Ferdian berdering. Rupanya paman dari Aiko itu lupa tidak membawa ponsel.

"Kebiasaan," Dengkus Mita.

Mita melirik layar ponsel suaminya yang berkedip-kedip bersama nada dering yang ia dengar. Karena penasaran. Mita jadi mengambil ponsel Ferdian.

Pupil mata wanita itu membesar begitu melihat nama pemanggil. Ia membekap mulut sendiri saking terkejutnya. 

"Ini … ini, neneknya Aiko."

Seketika Mita ngibrit keluar kamar. Makanan yang tadi ia bawa tergeletak begitu saja di atas kasur. 

Mita menuju garasi, mengeluarkan motor matic andalannya. Lalu meluncur pergi.

"Kakak! Kau mau ke mana?" Teriak adik ipar Mita tak terbalas. "Ada apa ini, kenapa kakak sampai terburu-buru begitu?"

Secara bersamaan. Bel berbunyi nyaring, menggemakan suaranya hingga ke lantai tertinggi.

"Bi Inah ada tamu, tuh!" Teriak menantu perempuan di rumah ini yang sedang asyik menonton tv dan tak mau terganggu.

Dari belakang. BI Inah lari terburu-buru, sambil mengusap keringat di keningnya. 

Ceklek …

Bi Inah sama terkejutnya seperti ekspresi Mita saat mendapat panggilan dari Miyuki, Ibu kandung dari ayah Aiko atau bahasa gampangnya adalah neneknya Aiko.

"Nyo--nyonya …" suara Bi Inah gemeteran. Alasannya karena Miyuki terbilang tegas, galak, cerewet, suka ngomel dan pastinya sangat menyayangi cucunya.

Sembari menenteng tas branded seharga puluhan juta. Miyuki melepas kaca mata yang melindungi matanya dari paparan sinar matahari daerah tropis.

"Lama tidak bertemu, Bi Inah," ucap Miyuki sebatas menyapa. Tapi bagi Bi Inah itu terdengar seperti teguran keras.

"Si---silakan masuk, Nyonya." BI Inah tetap gemetaran. Padahal sebelumnya ia telah bertemu dengan Ibu dari tiga anak itu.

Miyuki melenggang masuk. Ia mengedar pandangan ke seluruh ruang. Memperhatikan detail setiap bagian rumah. 

Banyak sekali perubahannya. Pikir Miyuki.

Tentu saja rumah ini sudah berubah 80° dari kali pertama wanita itu datang. Kejadian itu sudah bertahun-tahun lamanya. Jika dihitung mungkin sudah mencapai ⅞ tahun. Pastinya sebelum putranya bercerai dengan ibunya Aiko.

Miyuki menghempaskan pantat di atas sofa. Meletakkan tas branded di pangkuan lalu membuang nafas panjang.

"Aku sangat lelah …" katanya memijat kening.

"Tunggu sebentar, nyonya. Saya ambilkan minum dan panggilkan yang lain."

Miyuki mengibas-ngibaskan telapak tangan. Pertanda memberi izin pada Bi Inah untuk segera melaksanakan kewajibannya.

"Ngomong-ngomong panggilkan cucuku juga." Tambah Miyuki.

Tanpa basa-basi. Bi Inah menaiki satu persatu anak tangga. Ia harus memberi tau semua anggota keluarga yang ada di rumah mengenai kedatangan Miyuki.

"Nyonya … tuan muda, Kakek …" bicara Bi Inah sudah lancar. Tapi tak meninggalkan rasa paniknya.

"Kenapa, Bi?"

"Di bawah tuan … di bawah."

"Di bawah kenapa?"

"Nyonya Miyuki ada di sini."

"APA?" ucap mereka kompak. 

"Bu Miyuki ada di sini??" Ulang adik Ferdian.

"Iya, tuan muda. Beliau sedang menunggu kalian dan Nona Aiko."

"APA?" Mereka kembali mengatakan kata yang sama.

"Pantesan tadi kak Mita keluar terburu-buru. Sepertinya kak Mita mengejar mas Ferdi," ujar adik ipar Ferdian.

Karena Ferdian dan Mita tidak ada. Mau tak mau, ketiganya lah yang menemui Miyuki lebih dulu. Jika tidak pasti wanita berdarah Jepang itu akan memaki mereka semua karena membuat tamu menunggu.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel