3. Kemarahan Miyuki.
"Nyonya Miyuki …" sambut kakek Malik, sambil menuruni anak tangga. "sudah lama datang?" Lanjutnya.
"Tuan Malik, akhirnya kita bertemu lagi. Belum terlalu lama."
Maliki mendaratkan pantat di seberang Miyuki, diikuti kedua anaknya.
"Kau yang menikah waktu itu 'kan?" Tanya Miyuki, mengingat terakhir ia datang ke sini saat pernikahan anak bungsu Maliki.
"Iya, Nenek."
"Wahh, aku sedikit pangling melihat wajah istrimu. Dia lebih cantik sekarang," ujarnya membuat adik ipar Ferdian tersipu malu.
Miyuki melihat ke kiri dan kanan. Terlihat sedang mencari-cari sesuatu.
"Apa cucuku sekolah?"
Bak mendapat kesempatan bersembunyi. Maliki mengiyakan pertanyaan Miyuki. "Iya … gadis itu sedang sekolah. Hem, akhir-akhir ini ia lumayan rajin."
"Oh, syukurlah … aku agak lega."
Menurut pemikiran Maliki dan dua manusia di sampingnya. Miyuki belum tau menaung akan masalah Aiko.
Terpaksa Maliki berbohong agar Miyuki tak mengamuk. Toh, saat ini pintu kamar Aiko terkunci rapat. Tak ada satupun dari mereka yang bisa membuka.
"Sejujurnya aku selalu resah setiap kali aku mendapat kabar mengenai Aiko. Aku tak bisa melempar kesalahan seoenuhnya pada gadis itu. Ini semua karena ulah orang tuanya," jelas Miyuki merendahkan suara.
"Iya, benar, kami juga terkadang turut prihatin. Tapi bagaimana lagi …" Maliki ikut menambah seakan ia ikut simpati. Padahal nol besar.
"Ngomong-ngomong di mana Ferdian dan Mita?"
"Ferdian sedang ke kantor. Mita … di mana Mita?" Maliki malah bertanya balik kepada kedua anaknya. Mereka berdua menggeleng pelan.
Miyuki menatap mereka secara bergantian. Perasaannya mengatakan ada sesuatu buruk yang tengah mereka sembunyikan. Tetapi Miyuki tak berani menanyakan hal tersebut.
Ia takut cara bertanya-nya akan menyinggung hati mereka. Miyuki memilih diam. Namun, sekarang ia tak tau harus berbuat apa?
Tujuannya datang adalah menjenguk Aiko. Sedang Aiko saat ini tidak ada di rumah. Lalu, perlukah ia mendatangi sekolahan Aiko agar penantiannya tak terlalu lama?
"Di mana sekolah Aiko? Aku ingin menemuinya sekaligus bertanya pada pihak sekolah mengenai gadis itu."
Mendengar keinginan Miyuki. Mereka bertiga saling melempar tatapan dan gelengan pelan.
Miyuki yang sadar sigap berdiri. "Ada apa ini?" Tanya wanita itu bernada kesal.
"Tidak … tidak ada apa-apa. Kenapa Nyonya berdiri?"
Seberusaha mungkin Maliki menyembunyikan kekhawatirannya. Tetap saja wajahnya tak bisa membohongi Miyuki.
"Apa ada sesuatu yang kalian sembunyikan?" Miyuki memberanikan bertanya.
"Ti--dak, tidak ada. Hahaha, lagi pula apa yang bisa kami sembunyikan darimu, Nyonya," jawab Maliki.
Miyuki terduduk kembali. Wajahnya tetap menunjukan rasa keingintahuan akan sesuatu yang mereka sembunyikan.
"Jadi, di mana sekolah Aiko?" Wanita itu masih ingin tau.
"Dia … dia …"
Ceklek …
Seketika pintu terbuka dari luar. Sepasang suami istri masuk bersama.
"Nyonya Miyuki …" sapa Mita, merangkul dan cipika-cipiki dengan wanita Jepang itu.
Sementara Ferdian sama sekali tak bergerak. Justru ia menatap tajam sosok wanita asing di hadapannya.
"Mau apa kau ke sini?" Tanya Ferdian, menunjukkan ketidaksukaan dirinya terhadap Miyuki.
Hal itu memang fitrah Ferdian sedari wanita Jepang itu memiliki hubungan besan dengan orang Maliki. Sikap angkuh dan kasarlah alasan Ferdian tak suka dengannya.
Di samping Miyuki. Ferdian menggelengkan kepala. Memberi kode karangan pada putranya agar tak bersikap begitu. Namun, bukan Ferdian jika bisa luluh.
"Kau mau cari siapa, hah? Kau sudah tak punya hubungan apapun dengan keluarga kami." Tambah Ferdian bernada menekan.
Miyuki terkekeh kecil. Tampak garis halus menghiasi bagian wajahnya. Tetapi tak meninggalkan kecantikan wanita itu.
"Siapa bilang aku tidak punya hubungan lagi?"
"Cih, tanyakan saja pada putramu!" Dengkus Ferdian.
Wajah Miyuki berubah merah kala Ferdian membawa anaknya dalam pembicaraan saat ini. Lantaran ayahnya Aiko itu sudah melakukan kesalahan besar. Sampai sekarang. Miyuki enggan memaafkan anak sendiri.
"Jangan sebut-sebut orang yang sudah tiada!" Balas Miyuki.
"Oh, apakah anakmu sudah menjadi abu?"
"Seseorang yang tidak punya hati, sama halnya dengan orang mati. Faham!"
Ferdian tak menggubris. Ia melepas jas yang sedang dikenakkan. Lalu merenggangkan dasi di antara kerah bajunya.
"Jika kau mencari Aiko. Gadis itu ada di atas," tutur Ferdian.
Sontak Miyuki mengalihkan pandangan ke arah Maliki dan dua anaknya. Di sana mereka saling membuang wajah seakan menghindari tatapan Miyuki.
"Jadi kalian berbohong?"
Ferdian dan Mita yang tidak tau juga ikut melihat wajah mereka. "Apa maksudnya?"
"Barusan mereka berkata jika Aiko sedang sekolah. Sebabnya aku minta alamat sekolah Aiko."
"Cih, cucumu itu di keluarkan lagi. Sekarang dia ada di kamar. Nih …"
Ferdian melempar kunci kamar Aiko. Miyuki sigap menangkap dan segera berlalu pergi ke lantai dua.
Cepat-cepat ia memasukan ujung kunci ke ring cylinder, memutar dua kali dan menarik handle pintu.
Ceklek …
Betapa terkejutnya Miyuki mendapati cucu kesayangannya tergeletak di atas karpet merah. "Aiko!!" Seru Miyuki menyambar tubuh Aiko.
Ia menempelkan punggung tangannya pada kening Aiko. Dilanjut menyentuh seragam basah Aiko yang membungkus tubuh mungilnya.
"Ya Tuhan … dia pingsan!!!" Teriak Miyuki.
Suara khasnya melengking nyaring menarik semua anggota keluarga memasuki kamar yang sama.
"Ada apa?" Tanya Ferdian.
"Bajinga*! Kau apakan cucuku, hah?" Bentak Miyuki.
"Hei! Bicara yang sopan! Ini rumahku, kau bisa ku tuntut!" Balas Ferdian tak kalah seru.
"Oh, kau mau menuntutku? Baik, tapi sebelum itu kau yang akan ku tuntut atas penyiksaan pada gadis di bawah umur."
Ferdian tertawa renyah. Tak menunjukan rasa takut atau bersalah sama sekali.
Hal itu membuat Miyuki tak bisa menahan amarah. Lantas ia melempari Adam sebuah buku tebal yang ia ambil secara asal dari nakas.
"Kau berani main tangan!"
"Berhenti bertengkar! Lihat itu …" sela Mita, menunjuk tubuh Aiko.
Kemudian Maliki dan Ferdian memindahkan tubuh Aiko ke atas kasur.
Kali ini Ferdian baru sadar jika keponakannya belum mengganti seragam kemarin. Apalagi sekarang wajah Aiko sangat pucat.
"Cepat panggil dokter!" Perintah Miyuki.
"Tidak perlu! Ganti saja pakaian gadis itu dan berikan ia makanan. Aku lupa tidak memberinya makan."
"Ferdian!!!" Teriak Miyuki semakin tak terkontrol. Rasanya ia benar-benar geram mendengar pernyataan Ferdian yang tak menunjukan rasa empati sedikitpun.
Tanpa berpikir panjang. Miyuki kembali mengambil benda secara asal di sisinya. Ia lemparkan benda tersebut ke arah Ferdian.
Tarrr …
"Arghhh!"
Ferdian belum sempat menghindar terkena pecahan vas bunga di kakinya.
"Kau sudah di luar batas, wanita tua!" Maki Ferdian menahan perih.
"Kau yang di luar batas! Bagaimana bisa seorang paman menyiksa Keponakan sendiri dan kalian yang menyaksikan tak menghentikan ini???"
Omongan Miyuki. Ferdian abaikan. Justru pria itu menghubungi polisi dan meminta mereka datang ke rumah.
"Halo, Pak Polisi. Di sini ada tindakan kriminal …"
Miyuki tak habis fikir dengan sikap Ferdian. Miyuki jadi kasihan mengingat cucunya telah lama tinggal bersama pria tersebut.
Pantas saja selama dua tahun ini. Aiko terus mendapat masalah. Ternyata sebabnya ada di rumah sendiri.
Tak habis 20 menit. Dua aparat kepolisian tiba di rumah Ferdian.
Sebelumnya, Aiko telah mendapat pertolongan pertama. Ferdian mendatangkan dokter keluarga untuk memeriksa keadaan gadis itu.
Sekarang, Miyuki sendiri yang menemui kedua polisi itu. Sedang Ferdian tak bisa berbuat apa-apa karena permintaan Maliki.
"Benar, Pak. Mana mungkin saya bohong. Dia adalah cucu saya. Saya tidak menyangka keluarga ini memperlakukan cuci saya sangat buruk," tutur Miyuki memamerkan tisak tangis.
"Apakah ada buktinya, Bu?"
Inilah kelemahan kasusnya. Tidak ada bukti, maka kasus dianggap tuduhan belaka.
Dari kejauhan Ferdian tersenyum lebar. Miyuki yang melihat ingin sekali merobek-robek bibir Ferdian.
"Bagaimana, Bu?"
"Saya tidak ada bukti … tapi kalian bisa investigasi kejadian ini 'kan?"
"Bisa … tapi alasannya harus jelas, Bu. Kami tidak bisa sembarang bertugas tanpa kasus yang jelas," ujar sang polisi.
Miyuki pasrah. Sama seperti Ferdian. Ia juga tak bisa apa-apa. "Baik, Pak. Saya akan menyelidiki lebih lanjut lalu menyerahkannya pada bapak."
"Siap, Bu. Silahkan hubungi lagi nomer kami jika anda memerlukannya."
Mereka berdua berpamitan pergi. Miyuki berbalik serta melempar tatapan tajam ke arah Ferdian.