4. Ohayou Japan.
Di dalam kamar yang sama, perlahan kelopak mata Aiko terbuka. Pandangan gadis itu sedikit kabur, ia mengusap keduanya beberapa kali. Lalu, menemukan seorang wanita berambut putih tengah sibuk mengeluarkan sesuatu dari lemarinya.
Aiko berusaha bangun sampai ia terduduk dan bersandar lemah. "Sobo …" panggil Aiko tersenyum tulus.
Miyuki menghentikan gerakannya. Tubuhnya berbalik menghadap Aiko.
"Thankfully … kau sudah siuman," kata Miyuki terdengar sumringah, "apa ada yang sakit, hah? Katakan padaku."
Gadis itu hanya menggeleng lemah. Karena memang tak ada rasa sakit yang bisa ia rasakan selain kehancuran hatinya.
Miyuki membelai rambut sebahu Aiko, mengusap pipi tirusnya dan memperhatikan setiap bagian tubuh gadis itu.
"Kau pasti sangat terlantar," ujar Miyuki, "sobo mu ini telah mengabaikanmu, tolong maafkan!"
Aiko menggeleng. "Kenapa harus minta maaf? Sobo tidak salah," tukas Aiko, sambil melirik barang apa saja yang barusan Miyuki keluarkan.
Kening Aiko mengerut melihat koper besar berisi pakaian dan perlengkapan sekolah dirinya.
Seakan tau ekspresi Aiko. Miyuki mengungkap, "Kau akan pindah Negara. Sobo akan membawamu."
Aiko sedikit tercengang. "Ta--tapi, Sobo …"
Miyuki mendaratkan jari telunjuknya pada permukaan bibir mungil Aiko. "Sst! Sobo tidak akan membiarkanmu mati tak terawat di sini."
Perkataan Miyuki tak bisa Aiko bantah. Ia pun menyadari jika dua tahun belakangan ini hidupnya bagaikan sebuah kematian. Lantas, Aiko pasrah akan hal apa saja yang Miyuki lakukan.
Harapan Aiko. Setelah ia tinggal bersama neneknya. Ia akan memiliki kehidupan lebih baik lagi seperti sediakala.
Selepas semua barang-barang Aiko dikemas. Miyuki sendirilah yang meminta izin kepada Maliki dan Ferdian untuk memboyong cucunya ke Jepang.
Tanpa perdebatan panjang. Mereka berdua memberikan izin. Namun, dengan sebuah syarat. Yakni tidak boleh membawa gadis itu kembali ke rumah ini jika memang Aiko sah menjadi warga negara Jepang.
Dengan senang hati Miyuki menerima persyaratan tersebut. Toh, ia tidak akan membiarkan cucunya hidup dalam duka dan kegelapan.
Semuanya telah siap. Kesehatan Aiko belum sepenuhnya pulih. Kendati demikian Miyuki tetap bertekad memboyong gadis itu.
Sekarang mereka berdua berpamitan kepada Ferdian, Maliki dan yang lain.
Aiko tak pandai berkata-kata. Cara berpisahnya sekedar ucapan terimakasih dan membungkuk setengah badan layaknya adat orang Jepang.
Ferdian dan yang lain juga tak bisa berkata apapun. Wajah mereka tampak biasa saja. Tak menunjukan rasa kehilangan atau setidaknya pura-pura bersedih.
"Ayo!" Miyuki menggaet lengan Aiko. Memapah gadis itu masuk ke taksi yang sudah menunggu cukup lama di depan gerbang.
Perlahan mobil melaju meninggalkan rumah. Dari balik kaca mobil. Aiko mengarahkan matanya ke rumah besar di belakang.
Tak terasa hatinya bersedih harus meninggalkan rumah masa kecil, masa bahagia dan masa dukanya juga.
Akan tetapi Aiko segera berpaling ke depan. Menyeka buliran bening yang keluar dari sudut matanya. Selamat tinggal Indonesia, ungkap Aiko dalam hati.
8 jam kemudian.
Wushhh …
Sebuah mobil mersi melaju kencang di permukaan aspal hitam legam. Di antara mobil tersebut, terdapat pohon-pohon menjulang tinggi dengan daun beraneka warna. Mulai dari jingga, kuning atau kemerahan.
Satu-persatu daun berguguran. Bentuknya kecil dan ringan berterbangan setiap kali angin meniupnya.
"Sekarang sedang musim gugur," jelas Miyuki, "lihat … sangat indah 'kan?" Lanjutnya, menunjukan hamparan warna-warni sepanjang jalan.
"Apakah rumahnya masih jauh?"
"Tidak, sebentar lagi sampai. Kita hanya perlu melewati beberapa persimpangan," tuturnya, "benar 'kan, Hiroshi."
Hiroshi adalah nama supir pribadi Miyuki. Pria berumur 50 tahun itu telah bekerja cukup lama dengannya. Sekitar 20 tahun semenjak ia menikah.
"Benar, Sobo."
Walaupun usia Hiroshi mencapai setengah abad. Tetapi kekuatan fisiknya terbilang kuat, setara dengan fisik pria Indonesia berumur 40 tahunan.
"Hiroshi punya anak perempuan juga seusia kamu," ucap Miyuki.
"Oh, yah?"
"Iya … nanti kalian satu sekolah. Tapi kamu akan masuk sekolah pada bulan April tahun depan."
Aiko hanya manggut-manggut memahami ucapan neneknya. Lantas, ia kembali melihat ke luar jendela. Menyaksikan betapa indahnya musim gugur yang akan segera berakhir.
Sesuai dengan penuturan Miyuki. Terhitung sekian menit. Mobil memasuki gerbang dinding yang di atasnya dilapisi genteng-genteng hitam.
Mobil berhenti di pelataran parkir. Semua orang keluar, termasuk Hiroshi.
"Wahhh," decak kagum Aiko melihat bangunan indah dengan interior bangunan tradisional layaknya khas rumah Jepang.
"Ayo masuk!" Ajak Miyuki menuntun tangan Aiko.
Miyuki menggeser pintu kayu ke sebelah kiri. Mereka memasuki genkan Yaitu sebuah ruangan setelah membuka pintu utama tapi sebelum memasuki ruang selanjutnya.
Bentuknya kecil dengan lantai berdasar batako. Di sisi-sisinya sudah ada rak sepatu untuk meletakkan sandal dan sepatu para penghuni rumah atau jika ada tamu berkunjung.
Walau ada banyak sepatu dan sandal yang sudah mengisi rak-rak tersebut. Namun, semuanya tetap terlihat rapi dan bersih.
Sepertinya rumor kedisiplinan dan kerapian orang Jepang dapat Aiko saksikan sendiri saat ini.
Miyuki melepas sepatunya. Lalu, meletakkan sepatu tersebut diantara barisan sepatu. Begitu pula dengan Aiko.
Sebuah pintu kayu dengan celah kecil di geser lagi. Kali ini bentuknya tidak sebagus pintu utama, tapi tetap tak meninggalkan kecantikan hasil alamnya.
Sebuah ruang besar, lantai berlapis tatami, serta kursi lesehan dan meja datar menyambut kedatangan mereka.
"Ruang ini biasa disebut washitu, sebutan ruang serba guna bagi orang Jepang," papar Miyuki, sembari menuang secawan teh ke dalam cangkir porselin mungil berwarna putih polos.
Aiko masih berdiri di dekat pintu. Ia mengedar pandangan ke seluruh sudut ruangan. Selain desain yang menyejukkan karena nuansa alamnya. Aiko juga bertambah takjub kala melihat bagian Tokonama di setiap sisi washitu.
Pada lantai yang sedikit lebih tinggi dari lantai yang ia pijak. Terdapat beberapa barang-barang antik koleksi Miyuki. Mulai dari guci kuno, patung perempuan, patung biantang dan masih banyak barang antik yang Aiko sendiri tak tau menyebutnya apa.
Jujur saja Aiko dibuat kagum semenjak ia keluar mobil hingga memasuki rumah ini. Kedua bola matanya seakan tercuci bersih akan keindahan alam berbetuk bangunan tradisional.
"Ayo sini!" Seru Miyuki, menepuk-nepuk kursi lesehan di sebelahnya.
Kemudian Aiko melangkah pelan menghampiri wanita 70 tahun itu. Ia duduk di sebelah Miyuki.
"Minum dulu …" Miyuki menyodorkan cangkir mungil di atas meja.
Hanya sekali teguk. Aiko menghabiskan seluruh isinya.
"Hei! Bukan begitu caranya!" Tegur Miyuki.
Aiko mengernyitkan dahi. Apa yang salah? Pikir gadis itu.
"Begini …" jelas Miyuki seraya menuang secawan teh ke cangkir Aiko. "masukan susu atau gulanya!"
"Aku tidak suka manis," ucap Aiko.
"Ish, kau akan menjadi warga Jepang. Makanan di sini identik dengan rasa manis."
Aiko menggeleng. Karena memang ia tak suka makanan manis. Ia hanya suka makanan pedas, seperti ibunya.
"Tapi kau suka susu?"
Aiko mengagguk mengiyakan.
"Ayo masukkan sedikit bubuk susu ini ke dalam cangkir!"
Gadis itu mengambil bubuk susu sebanyak pucuk sendok kecil. Kemudian menuangkannya dalam cangkir tehnya.
"Begini …" lanjut Miyuki, menggerakkan sendok secara berlawanan, dari arah depan ke belakang.
"Tidak diputar?"
"Tidak … lihat cara Sobo minum tehnya!"
Mereka berdua mengangkat cangkir teh dalam posisi badan tegak. Kepala lurus ke depan dan teh pun di minum tanpa menunduk.
Glek …
"Bagaimana, bisa?"
"Ini terlalu rumit. Kenapa harus seperti itu?"
"Ini budaya di sini, Nak. Kau harus beradaptasi supaya jika suatu hari kau ikut Sobo bertemu rekan. Kau tak akan ditertawakan," pungkas Miyuki.
Aiko membulatkan bibirnya. Lalu, melanjutkan acara minum teh sebagai awal kehidupannya di negeri sakura.