5. Awal Musim Dingin yang Buruk.
Hari pembelajaran mengenai budaya-budaya Jepang sudah tersampaikan oleh Miyuki.
Sekarang telah memasuki hari ke-2 Aiko menginjakkan kakinya di negeri Naruto.
Bersama Hiroshi. Miyuki mengajak Aiko keliling kota Tokyo. Wanita 60 tahun itu membawa cucu kesayangannya masuk ke pusat perbelanjaan.
Segala baju baru, sepatu, tas dan perlengkapan lainnya. Miyuki borong hanya untuk Aiko seorang.
Tak lupa Aiko juga dibawa ke klinik kecantikan langganannya.
Gadis itu benar-benar dirombak menjadi gadis imut khas Jepang.
"Lihat! Aura kecantikanmu memancar keluar," puji Miyuki menunjukan pantulan wajah dan tubuh Aiko dalam cermin. "Coba saja kau bisa merawat diri. Kecantikanmu sudah bisa dimanfaatkan bermain film."
"Rambutku …" desis Aiko memandangi rambutnya yang sudah dipotong sangat pendek. Bahkan ia tak pernah membuat model potongan begini.
"Hei … kau sangat menggemaskan. Siapa namanya, Sobo?" Tanya pemilik klinik kecantikan tersebut.
"Dia cucuku, namanya Aiko Hamaru."
"Oh, jadi dia putri tuan Hamaru yang selalu kau sebut," celotehnya tanpa pikir panjang. Padahal sudah lama sekali Miyuki menceritakan kesalahan Hamaru pada pemilik klinik itu.
Plukkk.
Miyuki sengaja melempar tisu basah ke arahnya. Laki-laki setengah perempuan itu melonjak kaget.
"Sobo … kebiasaan," Gerutunya dibalas kedipan sebelah mata oleh Miyuki, "Oh … oh, sorry."
Siang masih panjang. Miyuki melanjutkan perjalanan menuju rumah, kedua anak pertamanya. Tidak lain adalah paman dan bibi dari Aiko juga.
Aiko tak pernah bertemu mereka semua secara langsung. Hanya dulu ia sering berbicara melalui ponsel. Itu pun sudah berlangsung lama, tepatnya ketika orang tua Aiko belum berpisah.
"Jadi kau Aiko Hamaru itu?" Tanya wanita bernama Miyumi, anak kedua Miyuki.
Aiko tipe pemalu. Ia hanya tersenyum mengangguki pertanyaan Miyumi.
Selanjutnya mereka saling berkenalan satu sama lain. Dilanjut makan bersama pada ruang terbuka di bawah pohon persik yang daunnya berguguran.
Selama makan berlangsung. Tak satupun diizinkan berbicara atau mengawali pembicaraan. Cara makan pun harus hening. Jangan ada suara selain semilir angin.
Kebetulan Aiko telah menguasai cara makan menggunakan sumpit. Ia pun tidak kesusahan.
Beberapa menit berlalu. Semua keluarga berkumpul membentuk lingkaran di atas lantai berlapis tatami.
Hal tersebut dilakukan agar Aiko terbiasa dengan keramaian. Selama di Indonesia, Miyuki tau jika cucunya tidak bisa bergaul juga tidak memiliki teman. Sebanya Miyuki melakukan semua usaha agar Aiko bisa terlepas dari belenggu tersebut.
**
Sekian purnama pada tahun ini telah berakhir, meninggalkan banyak kenangan manis dan pahit di dalamnya. Begitu pula dengan musim gugur yang meninggalkan keindahan tak terjelaskan.
Bulan pertama tahun baru memasuki musim dingin. Sebagian orang suka dan tak suka. Tapi ada juga yang begitu menikmati kedatangan musim ini.
Siapa lagi jika bukan Aiko. Gadis yang biasa berteman sepi, tentu dingin adalah sahabatnya juga.
Di bawah pohon sakura halaman belakang rumah. Gadis itu duduk merapatkan kaki, lengkap dengan jaket bulu serigala imitasi yang menjuntai sampai ke tanah.
Kedua tangannya sengaja ia masukan ke saku jaket. Lalu, matanya menyipit menatap pohon yang tersisa ranting dan dahan saja.
Menjelang malam udara semakin sejuk. Ia tak jua beranjak bangun atau sekedar pindah posisi.
Aiko menarik nafas dalam-dalam, mengembus secara perlahan. Sampai wajah ayu gadis itu terlihat lebih tenang.
"Aiko!"
Seruan dari suara yang familiar di telinganya membuat ia menoleh.
Di ambang pintu. Miyuki melambai-lambai memanggil gadis itu. Namun, Aiko menggeleng lemah.
"Dasar bocah nakal," gerutu Miyuki, ikut keluar berselimutkan mantel bulu domba.
"Aku masih ingin di luar," pungkas Aiko menghentikan langkah Miyuki. Tetapi bukan karena ucapan Aiko, melainkan datangnya seseorang yang sama sekali tak diharapkan.
Melihat sang nenek terdiam mematung. Aiko mengerutkan alis. Lantas, ia membalikan tubuh.
"Ayah …" desis Aiko menggenggam erat kain jaketnya.
Tampak kedua bola mata Hamaru menatap sayu ke arah mereka secara bergantian.
"Mau apa kau ke sini?" Bentak Miyuki melebarkan pupil matanya. "Belum puas membuat aku malu?"
Rupanya persembunyian Hamaru selama dua tahun itu belum juga menghilangkan rasa sakit di hati Miyuki.
"Ibu … maafkan aku …" ucap Hamaru lirih.
"Aiko, Masuk ke dalam!" Titah Miyuki segera dilaksanakan.
Aiko melangkah pergi, memasuki rumah kayu yang pintunya sudah terbuka.
Begitu ia masuk, pintunya digeser kembali. Tetapi ia tak langsung menuju kamarnya. Melainkan berdiri di balik pintu.
"Baru ingat rumah kamu!" Lanjut Miyuki meninggikan suara.
"Maaf, Bu." Rasanya lidah Hamaru sudah disetel hanya untuk mengatakan kata maaf.
"Maaf, maaf dan maaf. Tidak di ponsel, bertemu pun kau hanya bisa minta maaf, hah?"
Hamaru menunduk, menjatuhkan dirinya berlutut di atas tanah lembab. "Kesalahanku memang tidak termaafkan, Bu. Tapi jangan sepenuhnya melempar kesalahan itu padaku," cetus Hamaru, membela diri sendiri.
"Aku memang tidak melempar semua kesalahan padamu. Tapi tidak untuk hak asuh Aiko."
Hamaru tak membalas. Kepalanya semakin menunduk, menyadari apa yang sudah ia perbuat.
"Kau salah … mantan istrimu juga salah, tapi apakah Aiko salah?"
Hamaru tetap tak bergeming.
"Dia hanyalah bocah yang akan memasuki masa remaja, tetapi kenapa kalian merenggut semuanya hingga kini dia menjadi gadis malang!" Suara Miyuki agak bergetar. Kedua matanya terasa panas, segera ia menyeka buliran bening dari sudut matanya.
"Maaf, Bu … saat itu aku benar-benar khilaf," balas Hamaru kekeh membela diri.
"Lalu kenapa baru sekarang kau menyadari kehilafanmu? Apa karena Aiko sudah tinggal bersamaku? Kenapa tidak kau datangi dia dan sesali kesalahanmu saat Aiko di Indonesia?" Berondong Miyuki atas semua pertanyaan yang tak terjawab satupun dalam benaknya dua tahun ini.
"Aku … aku … aku salah, aku menyesal, Bu."
"Cih, sudahlah! Aku malu punya anak sepertimu," cibir Miyuki berbalik pergi.
"Ibu … ibu, jangan pergi dulu."
Hamaru berjalan dengan lututnya, meraih kaki Miyuki dan bersimpuh di atas punggung kakinya.
Miyuki memutar kesal bola matanya, tapi ia tak bergerak sejengkal pun. Sampai sesuatu hangat menyentuh punggung kaki wanita itu.
Miyuki melihat ke bawah. Menyaksikan putra bungsunya sudah menangis sesenggukan.
"Eh, bangun! Jangan membuatku semakin dingin!" Ujar Miyuki menjauhkan pundak Hamaru.
Tubuh Hamaru akhirnya terduduk. Ia mendongakkan kepala, memamerkan betapa banyaknya air mata yang sudah menghiasi garis tirus wajah pria itu.
Walaupun sifat Miyuki terbilang keras kepala. Tapi melihat keadaan putranya demikian. Hatinya jadi luluh.
Perlahan ia membantu putranya berdiri dan membawanya duduk di koridor rumah.
"Katakan! Apa yang kau mau?"
Hamaru mengusap pipinya, membuang ingus dengan kain sweater yang ia pakai. Kemudian menatap lekat wajah Miyuki.
"Ih, kau jorok sekali." Wajah Miyuki sedikit condong ke belakang serta kedua alisnya mengkerut.
"Aku ingin membawa Aiko ke dalam kehidupan baruku, Bu," ujar Hamaru penuh harap.
"Tidak!" Bantah Miyuki segera berdiri, "jika kau ingin mengambil hak asuhnya. Seharusnya dari dulu, bukan sekarang di saat aku mengambil gadis itu."
"Bu … aku baru memiliki kesempatan. Jika tidak mana mungkin hari ini aku baru datang."
"Tetap tidak! Aiko adalah kesayanganku dan aku tak akan membiarkan gadis itu jatuh ke tangan yang salah."
"Bu, beri anakmu kesempatan membesarkan dan merawat Aiko. Aku janji, jika Aiko tak nyaman dan keadaannya semakin buruk. Aku akan membiarkan dia tinggal bersama ibu."
Atas penuturan Hamaru. Miyuki jadi terdiam. Ia agak bingung antara mengiyakan ajuannya atau tidak.
Lantas, Aiko yang sedari tadi menguping di balik pintu bergegas keluar.
"Aku tidak mau ikut ayah. Aku hanya ingin denganmu, sobo."
Miyuki tersenyum lebar, sedang Hamaru menatap tak percaya.
"Lihat! Dia sudah memilih jalan sendiri. Pergilah dan jangan ganggu kami!"
Tanpa komando. Miyuki bersama Aiko memasuki rumah. Membiarkan Hamaru duduk meratapi penyesalan atas dosa-dosanya.