9. Arigatou, Sensei!
Kedua alis Hamaru mengkerut, mata pria itu memandang tajam ke arah Aiko yang terus berusaha melepas cengkraman tangannya.
"Ayo!" Seret Hamaru.
Fisik Aiko yang kecil dan bertenaga membuat ia kesusahan melepas diri. Gadis itu hanya bisa berteriak minta bantuan pada kehampaan tempat ini.
"Tolong … tolong! Siapapun tolong aku!"
"Jangan membantah, Aiko! Kau hanya perlu ikut ayahmu. Bukan penjahat," tegur Hamaru tak bisa menahan emosi.
"Ayah jahat, ayah memang penjahat!" Balas Aiko terisak mengingat bagaimana dulu ia dicampakkan ayahnya sendiri.
Usaha Hamaru membawa paksa gadis itu semakin kuat. Aiko terpaksa menggigit tangannya hingga Hamaru menjerit kesakitan.
"Argh … Aiko!" Ia melepas tangan Aiko.
Segera Aiko mengambil kesempatan ini untuk lari sekencang mungkin.
"Aiko!" Teriak Hamaru. "Bocah kecil itu sudah kian berani."
Hamaru memasuki mobilnya, menstater dan melaju cepat.
Aiko memutar arah ke jalan satunya. Dengan begitu akan susah bagi Hamaru mengejar gadis itu.
"Aiko! Berhenti!"
Tuhan, selamatkan aku. Doa Aiko.
Bukkk …
Ia menabrak seseorang di pinggir jalan. Benturan tubuh yang keras menimbulkan suara cukup jelas.
"Aiko Hamaru?"
Aiko mendongak. "Takashi sensei …" sigap ia merengkuh dada bidang Takashi, mencengkram erat kaos oblong yang membalut roti sobeknya.
Seketika wajah Takashi jadi menegang. Jakunnya naik-turun merasakan kehangatan pipi Aiko di atas dadanya.
"Takashi sensei …" ulang Aiko dengan nafas tersengal-sengal.
Tanpa bertanya ada apa? Takashi sudah dapat jawaban ketika sebuah mobil hitam berhenti di depannya. Tak lama Hamaru keluar.
Takashi menyembunyikan tubuh Aiko di belakang punggungnya. Earphone yang sedari tadi masih melekat di daun telinga, ia turunkan.
"Aiko! Ayo pulang," ajak Hamaru menahan emosi.
Aiko menggeleng takut. Wajahnya semakin tenggelam di balik pundak Takashi.
"Menyingkirlah! Dia anakku, aku akan mengajaknya pulang."
Tidak semudah itu Takashi percaya. Apalagi ekspresi Aiko tengah ketakutan.
"Dia tidak akan ikut anda," jawab Takashi.
"Menyingkir!" Hamaru masih menahan emosi.
"Tidak, dia adalah muridku, keselamatannya juga tanggung jawabku. Kau sendiri mengaku ayah, tapi sikapmu demikian," celoteh Takashi menaikkan tingkat kemarahan Hamaru.
"Guru sialan! Menyingkir!"
Bukkk
Pukulan kasar mendarat pada rahang Takashi. Takashi agak terhuyung ke belakang.
Aiko membekap mulutnya. "Sensei …"
"Mundurlah sedikit!" Titah Takashi.
Lantas Takashi membalas pukulan yang sama pada rahang Hamaru. Seni judonya yang tinggi membuat Hamaru tersungkur walau hanya sekali pukulan.
"Ayo lari!"
Takashi segera menyeret pergelangan tangan Aiko. Membawa gadis itu berlari selama Hamaru belum beringsut bangun.
Mereka berlari cukup kencang. Hamaru tak tinggal diam. Ia menstater mobilnya mengejar mereka.
Beruntung ada jalan kecil di sisi jembatan. Takashi memilih jalan tersebut hingga Hamaru tak dapat menemukan jejak mereka.
Ngosh … ngosh … ngosh
Seru nafas mereka tak beraturan. Peluh keringat menghiasi wajah masing-masing. Kemudian diseka beberapa kali.
Entah bagaimana menjelaskannya. Tiba-tiba Aiko berdiri di depan supermarket.
Takashi meminta gadis itu duduk di tempat yang sengaja disediakan pihak toko. Ia sendiri masuk dan keluar membawa dua kaleng minuman isotonik.
Satu kaleng Takashi ulurkan pada Aiko. Aiko agak ragu menerimanya. Lantas, Takashi letakkan kaleng tersebut di atas pangkuan Aiko.
Saat itulah Takashi menyadari lutut Aiko terluka, ada darah setengah mengering yang menghiasi kulit putihnya.
"Tunggu di sini!" Takashi kembali masuk. Ia membeli alkohol, kapas dan hansaplast.
Semua itu ia letakkan juga di atas pangkuan Aiko. "Obati sendiri," katanya, menghempaskan bokong di atas kursi.
"Um … arigato, sensei," ucap Aiko lirih hampir tak terdengar. Mungkin karena deru nafasnya belum normal.
Perlahan Aiko mulai membersihkan lukanya dengan kapas. Ia memejamkan mata, menahan betapa perihnya luka basah tersebut.
Melihat tangan Aiko gemeteran. Takashi terpaksa turun tangan. Ia menghela nafas dan mengambil alih alkohol serta kapasnya.
"Sensei …" Desis Aiko.
"Diam saja, jangan bergerak!" Ucap Takashi dingin.
"Iya."
Takashi jongkok di hadapan kaki Aiko. Pelan-pelan ia membersihkan darah pada luka gadis blasteran Indo-Jepang itu. Gerakan tangannya sangat berhati-hati, sehingga Aiko tak begitu merasa perih.
"Sudah."
Takashi berdiri. Aiko melirik lututnya. Lukanya sudah dibalut hansaplast bermotif binatang.
"Ini buat besok, setelah mandi harus ganti."
"Baik, sensei."
Aiko menggenggam semua hansaplast yang gurunya belikan. Ia heran, kenapa semuanya bermotif karakter?
"Sudah menghubungi keluargamu?"
Aiko menggeleng. "Ponselku mati."
"Cih … hafal nomer keluarga?"
"Sobo …"
"Apa?"
"Aku hafal nomer rumah."
30 menit kemudian.
Mobil mersi putih mengkilat berhenti di tepi jalan. Seorang wanita tua berambut senada dengan mobilnya segera berlari dan berteriak, "Aiko!!!"
Setelah menghubungi nomer Miyuki. Wanita itu akhirnya sampai juga di sini.
Ia mengucapkan banyak terimakasih pada Takashi. Aiko yang sudah berada di dalam mobil, diam-diam memperhatikan wajah sang guru.
Tanpa sadar ia menarik sudut-sudut bibirnya, sembari melirik hansaplast karakter yang telah terpasang.
Perasaan Aiko jadi menghangat. Dimana perasaan itu tak pernah ia rasakan sebelumnya.
Brakkk.
"Untunglah kau baik-baik saja," papar Miyuki tersenyum lega, "maaf yah, sobo pikir kau masih ekstra kurikuler, karena kau tidak menghubungi kami."
"Um … Tidak apa-apa, sobo."
Mobil meluncur pergi. Dari kaca belakang Aiko melihat sang guru masih berdiri memandang ke arah mobil. Sampai beberapa detik, ia pun berbalik pergi.
Setibanya di rumah. Aiko buru-buru mencharger ponselnya, membersihkan diri. Lalu, makan malam.
"Hei? Makanmu sangat sedikit," ucap Miyuki.
"Em, aku sudah kenyang. Aku selesai …"
Aiko lari ke dalam kamar serta menutup pintunya rapat-rapat.
"Hei! Jangan lari setelah makan! Jangan tidur juga atau rebahan!" Teriak Miyuki.
"Iya, sobo!"
"Bocah itu … aneh sekali sikapnya."
Aiko menyalakan ponsel. Ia langsung membuka akun sekolah dan mencari akun sosial Takashi.
"Ini dia!" Serunya kegirangan.
Bagaikan seorang stalker. Aiko menyusuri semua postingan sang guru. Mulai dari postingan terakhir sampai paling bawah sekalipun.
Sampailah pada sebuah postingan yang membuat Aiko gigit jari. Ia mengklik postingan tersebut, yakni berupa foto selfi seorang wanita berambut panjang dan di sebelahnya Takashi duduk membaca buku.
Berdasarkan gambar tersebut. Aiko menebak potretnya diambil pada sebuah taman atau halaman rumah.
Apa dia pacarnya? Pikir Aiko.
Mendadak hati gadis itu terasa sesak. Ia meletakkan ponselnya sebentar. Lalu, mengambil kembali dan mengkilk ikon pesan.
Jemarinya menari-nari membentuk sebuah kata 'arigatou, sensei', tapi ia tak memiliki keyakinan mengirim dua kata tersebut.
Miyuki pernah mengatakan padanya. Seorang murid harus memiliki sopan santun yang tinggi kepada guru. Dan menurut Aiko. Mengucapkan kata terimakasih melalui pesan termasuk kurang sopan.
Aiko pun mengurungkan niat mengirimkan pesan pada Takashi. Gadis itu berencana akan mengatakan rasa terimakasihnya secara langsung, besok saat di sekolah.
**
Sabtu dan Minggu telah berlalu tanpa adanya kenangan berkesan.
Sepanjang dua hari keliburan pertamanya setelah sekolah kembali. Aiko lebih banyak menghabiskan waktu di rumah serta membantu Miyuki mengunjungi restoran-restoran yang dikelolanya.
Ia yang dahulu sama sekali tak merindukan masa sekolah. Sekarang kerinduannya amat menggebu-gebu.
Bukan hanya soal Takashi saja. Melainkan bertemu Hara dan Obi. Dua teman yang selalu ribut dan membuat kekacauan.
Akhirnya hari itu tiba.
Pagi-pagi sekali Aiko sudah bangun. Sebelum mandi dan berias, ia menyempatkan diri untuk memasak.
Miyuki yang tak pernah melihat cucunya itu bergaul di dapur, jadi sedikit heran.
"Kau membawa bekal? Apa uang sakunya kurang? Apa maknan di sana tidak enak? Kau kekurangan makanan?" Tanya Miyuki membrondong.
Aiko tersenyum simpul, ia menggeleng lemah. "Aku ingin bawa bekal, sobo."
Tentu saja Aiko berbohong. Gadis itu sengaja memasak. Walau masakannya belum pernah ada yang mencoba, tapi bagi Aiko, masakannya sangat enak.
"Begitu yah …" kedengarannya Miyuki tak percaya atas alasan Aiko memasak, "boleh sobo coba?"
"Tidak-tidak, ini … ini, um …" gadis itu terlihat bingung mencari alasan baru. "Ah! Itu …" ia mengarahkan matanya pada sesuatu di atas meja.
"Apa?"
"Itu untuk sobo. Khusus …"
Dengan penuh keingintahuan Miyuki berjalan ke meja makan. "Wahhh," decak kagum Miyuki, "terimakasih, Aiko sayang."
Aiko menghela lega. Beruntung ia sudah membuat makanan lain untuk Miyuki.
Sekarang giliran ia bersiap-siap berangkat, sambil menenteng tas kotak makanan yang sudah dibuat penuh sukacita.
Aiko berjalan mengendap-endap, langkahnya yang ringan tak menimbulkan suara apapun selain degup jantungnya.
Ia berdiri di depan pintu. Sedikit berjinjit memastikan Takashi ada di dalam atau tidak.
"Tidak ada …"
"Kau sedang apa?"
Aiko tersentak mundur. "Takashi sensei …"
Tangan kiri Aiko meremas ujung rompinya, kepalanya menunduk dan embusan angin meniup lembut anak rambut gadis itu.
Tanpa berbicara. Aiko menyodorkan bekal makan yang telah ia bawa.
"Apa?" Suara Takashi tetap dingin.
"Arigato, Takashi sensei …"
"Sudah sewajarnya seorang guru membantu siswanya," ujar Takashi.
Dengan ucapan tersebut. Perasaan Aiko jadi melemah. Perlahan tangannya mulai mengendur. Menurunkan bekal makannya.
"Sama-sama!" Sigap Takashi ambil bekal pemberian Aiko. "Kembalilah ke kelas!"
"Baik."
Aiko berbalik, ia berlari kencang, sembari menepuk-nepuk pipinya yang sudah memerah.
Senyuman merekah indah. Menambah kecantikan wajah imutnya. j