7. Guru Tertampan.
Bangunan tradisional bernuansa alam, tempat ternyaman bagi Aiko untuk melepas rasa lelah selama jam pelajaran tadi siang.
Ditemani secangkir wedang jahe. Gadis itu duduk bersandar pada daun jendela. Kedua bola matanya menatap lekat pemandangan malam yang begitu indah kala musim semi begini.
Apalagi kala embusan angin menerpa wajahnya, ada aroma wangi yang angin tersebut bawa dari hamparan bunga-bunga di sana.
Baru kali ini Aiko merasa senang setelah pulang sekolah. Biasanya ia selalu murung dan bersedih meratapi kemalangan.
Srettt …
Pintu kamar gadis itu di buka. Ia menolehkan kepala.
"Kau sedang apa?" Tanya Miyuki, melangkah masuk.
"Aku sedang duduk saja, Sobo. Kenapa sobo belum tidur?" Tanya balik gadis itu.
Miyuki menggoyang-goyangkan poni yang menutupi kening Aiko. Ia tersenyum gemas.
"Hari pertama sekolah barumu bagaimana?"
Bibir Aiko mengembang. Tetapi ia tak mau mengatakan perasaan senangnya.
"Um, dari senyumanmu itu, sobo sudah bisa menebak."
"Oh, ya?" Tatap Aiko, sengaja meledek.
"Ish … dasar anak nakal, istirahatlah! Besok kau ada jadual olahraga kan?"
Aiko mengangguk. Miyuki mengecup puncak kepalanya dan berlalu pergi. "Have a nice dream."
**
Musim semi tahun ini adalah musim paling membahagiakan bagi Aiko. Ia menjalani pendidikan di sekolah baru tanpa ada halangan seperti sebelum-sebelumnya.
Ia yang mulanya berpikir jika di Jepang mungkin ia juga akan dibuly. Ternyata salah.
Tak ada satupun teman kelas Aiko yang mengatakan hal buruk padanya. Termasuk saat Aiko bercerita pada Hara dan Obi mengenai masalah keluarga.
Respon mereka justru amat prihatin. Sehingga Aiko bertambah semangat dan tak memiliki ketakutan.
Aiko ingat betul kala Hara memeluk dirinya untuk kali pertama. Gadai itu berkata, mungkin orang tua salah, tapi bukan berarti anak juga ikut salah.
Kalimat tersebut seakan terngiang-ngiang di telinga Aiko. Setiap kali mengingatnya. Aiko jadi punya harapan bangkit dan bangkit.
Aiko berjanji pada diri sendiri. Akan berusaha menjadi siswi yang baik, tidak bolos sekolah dan patuh pada guru.
Hingga tak terasa Aiko memasuki hari terakhir sebelum weekend sabtu dan minggu.
Selepas belajar 4 jam. Hara bersama Aiko pergi membeli makan siang ke kantin sekolah.
Suasana yang ramai dan sesak membuat keduanya memilih makan di taman saja.
"Em … aku paling suka telur puyuh ini," ujar Hara sembari mengunyah.
Aiko terbiasa makan tanpa bicara. Gadis itu hanya mengangguki dan bergumam setiap menanggapi ocehan Hara.
"Hei kalian!"
Keduanya kompak menengadah, melihat siapa gerangan yang memanggil.
Glek …
Hara menelan paksa makanan di mulutnya. Ia buru-buru meneguk air.
"Pak Takashi …" desis Hara, menarik sudut-sudut bibirnya.
"Siapa?"
"Itu … itu!" Tunjuk Hara dengan mencondong-condongkan kepalanya ke atas.
Aiko sedikit bingung. Kenapa Hara selalu begitu tiap kali melihat Takashi?
"Kalian dari kelas 12B, kan?" Lanjut Takashi.
Hara dan Aiko segera berdiri. Mengangguki pertanyaan Takashi.
"Ayo ke ruanganku! Ada sesuatu yang ingin aku titipkan."
Mereka kembali mengangguk. Lalu, melenggang pergi secara terburu-buru.
"Hara … pelan-pelan saja!" Pinta Aiko, lantaran Hara tampak tak sabar menemui Takashi.
"Ssst! Ini kesempatan," tukasnya.
"Ada apa dengan guru tersebut. Pipimu pasti terlihat merah setiap kau menatapnya, matamu juga menunjukkan ada sesuatu yang tak bisa ku jelaskan."
"Ish … kau murid baru, jadi belum tau yah."
"Apa?"
"Semua murid di sini akan sangat bahagia jika hari Jumat tiba. Tapi tidak dengan para siswa kelas 12."
"Em, Kenapa?"
"Karena setiap hari Jumat adalah jam pelajaran Pak Takashi dan kita semua enggan berpisah dengannya."
Aiko mengernyitkan kening. "Segitunya yah?"
"Cih, kau belum tau. Pak Takashi dijuluki guru tertampan di sekolah ini."
Pft …
Aiko menahan tawanya. Ia tak menyangka jika pria dewasa yang sudah dua kali ia lihat, tapi ia sendiri tak memiliki daya tarik apapun. Justru disebut guru tertampan.
"Berhenti!!!"
Mendadak Hara berhenti menyeret tangan Aiko. Ia berdiri di depan pintu kayu berpadu kaca. Sambil memegang handle pintu. Ia menarik panjang nafasnya.
"Let's go!"
Ceklek …
"Permisi …"
Mereka masuk ke ruang berukuran sedang. Tetapi isi dari ruangan tersebut terlalu banyak hingga menguasai setengahnya. Mulai dari buku-buku yang tertata rapi di rak dinding, sepatu, setelan jas serta dasinya juga ada kulkas mini.
Semua tak cocok jika hanya disebut ruangan. Melainkan kamar pribadi.
Tak lupa, di tepi jendela juga terdapat seorang pria. Berdiri membelakangi seraya membuka lembaran-lembaran dokumen dalam genggaman tangannya.
"Takashi Sensei …"
Lantas Takashi menoleh. Menurunkan sedikit kaca mata bulat yang melindungi matanya. "Oh, ini."
Takashi menyerahkan buku tebal ke arah mereka. Sigap Hara ambil alih.
"Besok aku sedikit terlambat ke kelas, jadi minta sekertaris kelas mencatat halaman yang sudah ku batasi."
"Baik."
Takashi berbalik. Kembali pada kesibukan semula. Sementara Hara tetap berdiri di belakang dengan wajah berseri-seri.
"Ayo!" Desis Aiko menggoyang-goyangkan lengan Hara. Namun, Hara tak beringsut. "Hara!" Bisikan Aiko sedikit dinaikkan.
Menyadari kedua muridnya masih di belakang. Takashi menoleh. "Sudah selesai. Kelas kalian juga akan dimulai," ucapnya, mengusir secara lembut.
Hara yang tetap tak berubah. Terpaksa Aiko seret paksa. Jika tidak, mereka akan tetap mematung di sana sampai kelas berakhir.
"Uuh … dia sangat tampan," puji Hara berulangkali selama menyusuri koridor.
Melihat pipi Hara bersemu kemerahan. Aiko turut tersenyum. 'Wanita Jepang jika pipinya merah terkesan lucu sekali,' Ungkapnya dalam hati.
Kemudian mereka sampai di kelas. Menyerahkan amanat Takashi pada ketua kelas. Lalu, mengikuti pelajaran seperti biasa.
"Weh, kalian dari mana?" Tanya Obi membisik.
Lantaran Hara terus-menerus memasang wajah berserinya dan tak menjawab, maka Aiko yang membalas pertanyaan Obi.
"Saat kami makan siang tadi, Takashi Sensei memanggil untuk ke ruangannya. Beliau menitipkan buku yang harus siswa isalin besok karena beliau akan terlambat."
"Ohh, syukurlah …"
"Hei! Apanya yang syukur!" Tiba-tiba saja Hara tersadar, suaranya melengking membuat guru pengajar di depan dan semua siswa melihat ke arah mereka.
Hara dan Obi tersenyum kaku, sedang Aiko menundukan kepalanya.
"Kalian bertiga, berdiri di lapangan sampai jam saya selesai!" Titah guru pengajar.
"Hah?"
"Begitu tanggapan kalian?"
"Oh, baik …"
Akhirnya mereka bertiga terkena hukuman Ayana. Guru cantik, muda tapi rada killer.
Di bawah sengatan matahari. Aiko, Hara dan Obi berdiri mematung.
Sang mentari yang saat ini ketinggiannya tepat di atas kepala, serasa membakar kulit mereka.
Peluh keringat pun menghiasi leher dan juga kening mereka. Tetapi jam pelajaran Ayana masih lama berakhir.
"Kulitku bisa gosong," gerutu Hara.
"Hei! Ini gara-gara suara toa-mu tadi!" Omel Obi.
"Cih! Kau sendiri yang memancingku," bantah Hara.
"Aku? Aku melakukan apa?"
"Aku? Aku melakukan apa?" Ulang Hara, terdengar meledek.
Aiko berdiri di antara mereka hanya bisa terdiam. Mendengarkan ocehan keduanya tanpa ada yang mau mengalah.
"Kau pemuja Takashi! Kau yang membuat kami ikut dihukum!"
"Enak saja! Kau--"
"Hei!!!" Sekali lagi suara Takashi mengejutkan.
"Sensei …" gumam Hara.
"Jika dihukum jangan saling menyalahkan. Koreksi diri masing-masing!" Lontranya, "jangan berisik! Sedang ada kelas di sini."
Takashi memasuki kelas. Melanjutkan pembelajaran pada kelas 10.
"Oh, Sensei … jika setiap dihukum aku bisa melihatmu, dihukum setiap hari pun aku bersedia," celetuk Hara dibalas jitakan oleh Obi.
"Gila!"
Hara mengerucutkan bibirnya. "Kau yang gila!"
"Kau, gila!"
"Kau!"
"Ya Tuhan … sudah ku bilang jangan berisik!" Seru Takashi menjulurkan kepala ke luar.
Melihat itu Aiko jadi terkekeh lirih. Tapi ia malah kena omelan Takashi juga.
"Hei gadis berponi! Apa yang kau tertawaan?"
Sontak Aiko menunduk malu. Sampai-sampai menutupi wajahnya dengan telapak tangan.