MASA LALU
Kilas balik antara Wang Shuwan dan Qian Kang Jian di masa lampau memenuhi kepala Wang Shuwan. Gadis itu menatap berlinang air mata pada tubuh tak bernyawa yang kini berada di pangkuannya. Sungguh tak menyangka Kang Jian kini telah berpulang. Pria baik itu telah menebus semua kesalahannya terhadap wanita yang pernah ia kecewakan, Wang Shuwan.
Masa di mana keduanya belajar bersama di kediaman cendikiawan senior yang tak lain merupakan ayah kandung Wang Shuwan. Sebuah pertemanan sejak remaja yang menimbulkan cinta di antara keduanya. Bahkan niatan untuk mengikat janji suci pernikahan pun pernah tinggal selangkah lagi. Sayangnya nasib tak berpihak pada keduanya. Qian Kang Jian meninggalkan negeri Zhao dan tak pernah lagi kembali. Bahkan saat keduanya dipertemukan di negeri Yun yang besar, pemuda itu justru telah beristri. Menggantikan posisi Wang Shuwan dengan Le Ying, Gadis muda berbakat ilmu pengobatan yang merupakan putri kepala suku desa dasar jurang yang saat ini juga turut diasingkan di negeri Tal mengikuti sang suami.
“Nona, tuan muda dan keluarganya sudah datang,” ujar seorang pelayan wanita kepada sang nona muda Wang Shuwan.
Wang Shuwan adalah putri tunggal dari cendikiawan senior di negeri Zhou. Ia dilahirkan saat usia orang tuanya sudah sangat tua dan memasuki masa pensiun. Kendati demikian, nama keluarga Wang masih sangat dihormati dan bahkan setara dengan bangsawan terhormat di negeri tersebut.
Hari ini, putra bungsu bangsawan bermarga Qian datang untuk melamar Nona Shuwan. Kekasihnya itu menepati janji, yaitu datang melamar sebelum menjalankan tugas untuk menjadi guru besar yang mengajar di negeri Yun, kemudian menikah setelah masa tugasnya berakhir. Qian muda sangat berdedikasi pada pendidikan. Itu sebabnya, meskipun anak seorang bangsawan, Qian muda tidak berminat untuk menjadi pejabat seperti ayah dan kedua kakak lelakinya.
“Kakak, terima kasih telah menepati janji,” gumam Nona Shuwan dengan wajah merona. Ia tidak sanggup menutupi perasaan bahagia itu.
Kedua keluarga besar telah berkumpul. Acara lamaran yang awalnya akan digelar tertutup pada akhirnya menjadi begitu meriah. Kebaikan hati sang cendikiawan pada warga sekitar tampaknya yang membuat mereka turut merasakan kebahagian dikala sang putri satu satunya akan mengakhiri masa lajang.
“Kami begitu beruntung, Nona muda dari keluarga Wang bersedia menerima lamaran putra bungsu kami,” ujar Tuan Qian Ayah Qian Kang Jian.
“Tuan, tolong jangan sungkan. Kami merasa sangat terhormat dengan kedatangan Tuan Muda Qian ke kediaman kami," jawab sang cendikiawan.
Usai lamaran, Qian Kang Jian hanya memiliki waktu tiga hari untuk berkemas. Ia begitu antusias untuk berangkat ke negeri Yun. Usianya masih sangat muda, tetapi pengetahuannya begitu luas bagai langit. Ia bahkan pernah menjadi guru pembimbing bagi putra mahkota selama tiga tahun. Akan tetapi, di atas langit masih ada langit.
Sang calon istri Wang Shuwan, diakuinya sebagai mentor yang sempurna. Ia kerap datang pada gadis tersebut untuk berdiskusi dan belajar bersama. Di negeri Zhao dan negeri negeri sekitarnya, perempuan tidak begitu diperhitungkan dan tidak memiliki kesempatan yang sama seperti pria. Alhasil, wanita wanita cerdas seperti Nona Shuwan, hanya akan menjadi berlian yang tersembunyi.
Sehari sebelum perpisahan, keduanya memutuskan untuk bertemu. Menaiki sebuah perahu dan menuju tengah danau. Membawa dua kail pancing dan seember umpan.
“Kakak, sebentar lagi Kakak akan pergi jauh. Apakah Kakak tidak akan rindu?" tanya Nona Shuwan memecah keheningan di antara mereka.
“Hahaha ... Adik, engkau sangat berlebihan. Negeri Yun tidak jauh. Kita hanya menaiki kapal selama sehari semalam dan akan langsung menginjakkan kaki di negeri tersebut," jawab Qian Kang Jian.
Bagaimana bisa dikatakan tidak jauh jika kaki kita tidak dapat berjalan di atas air untuk menempuhnya, kilah gadis itu yang membuat Kang Jian sulit untuk membantah.
Adik memang sangat cerdas. Kelak, anak anak kita pasti bangga memiliki ibu seperti dirimu, puji pemuda itu pada calon istrinya.
Qian Kang Jian berjanji akan pulang setiap akhir semester untuk berjumpa dengan sang calon istri. Guru besar itu tampaknya mengerti kegundahan gadis yang kini tengah bersandar di punggungnya. Nona Shuwan tidak akan melarangnya pergi meskipun sangat ingin melakukannya. Dukungan terbesar selama ini ia peroleh dari gadis itu. Namun, ini adalah kali pertama mereka berpisah.
Rumor penculikan para bangsawan beredar. Kediaman seluruh bangsawan di negeri tersebut mendapat penjagaan ketat dari pemerintah. Termasuk rumah keluarga Qian.
“Kakak, ada apa ini?” tanya Nona Shuwan berbisik.
Keduanya baru saja kembali dari danau dan melihat banyak tentara di sepanjang jalan tengah berpatroli. Bangunan mewah yang biasanya hanya ada dua penjaga, kini tampak berbaris lebih banyak dengan seragam yang berbeda. Ya, mereka adalah tentara dari pemerintah pusat.
“Tuan ada apa ini?” tanya Qian Kang Jian kepada salah seorang penjaga.
“Tuan Muda Qian, sebaiknya Anda tetap berada di dalam rumah. Terjadi teror penculikan kepada para bangsawan. Keluarga Han baru saja menjadi korban,” jelas penjaga itu menjawab rasa penasaran keduanya.
Calon pengantin itu saling pandang. Situasi negeri sedang sangat mencekam, tetapi tugas untuk pergi ke negeri Yun tidak dapat dibatalkan. Keluarga Qian akan dianggap menghina Kaisar Negeri Yun jika mundur dari tugas tersebut. Akademi Yun Shang merupakan sekolah bagi calon pejabat negara di negeri tersebut.
“Kakak, bagaimana ini?" tanya Nona Shuwan cemas.
“Tenang, para penculik tersebut sebenarnya bukan orang yang benar benar jahat. Mereka hanya menculik para bangsawan yang dianggap menindas rakyat. Keluarga Qian sangat bersih, tidak akan terjadi sesuatu yang buruk kepadaku,” ungkap Qian Kang Jian menenangkan sang calon istri.
“Oh, begitu. Baiklah, aku mengerti. Kalau begitu, Kakak masuk saja, aku akan pulang sendiri.”
“Eh, bagaimana mungkin aku membiarkan calon istriku pulang sendiri?"
Nona Shuwan menarik lengan sang calon suami agar lebih dekat dengannya. Kemudian berbisik, “Jangan khawatir, aku bukan putri seorang bangsawan, aku putri seorang cendikiawan, hehehe ...."
Keduanya berpisah di depan pintu gerbang kediaman Qian. Dua orang penjaga diminta oleh Qian Kang Jian agar memastikan sang calon istri sampai di rumahnya dengan selamat.
“Kak Jian, itu adalah terakhir kali aku melihat dirimu sebagai Qian Kang Jian milikku bukan suami dari tabib wanita itu. Kak Jian, pergilah dengan tenang karena aku telah memaafkan semua dosa dosamu kepadaku. Terima kasih, Qian Kang Jian,” ujar Wang Shuwan yang kemudian meninggalkan jasad Kang Jian di depan rumah pemuda itu semasa hidup tinggal di pengasingan bersama sang istri, Le Ying.
Wang Shuwan mengetuk pintu lalu segera berlari meninggalkan rumah itu. Ia bersembunyi di balik semak semak dan masih memantau untuk memastikan bahwa seseorang dari dalam rumah lah yang pertama kali menemukan jasad Kang Jian yang ia letakkan tepat di depan pintu. Benar Saja, seorang wanita yang tidak lain adalah istri dari Kang Jian pun menjadi yang pertama melihat jasad suaminya. Le Ying langsung menangis dan memeluk tubuh tak bernyawa itu. Suasana seketika menjadi gaduh ketika para tetangga turut keluar rumah untuk melihat siapa gerangan yang menangis selarut ini.
To be continued