Ringkasan
“Apa?! Panglima perang itu ternyata seorang wanita?!” Hari ini adalah penobatan selir agung kesayangan kaisar. Siapa yang mengira bahwa wanita cantik itu dulunya adalah seorang panglima perang yang pemberani. Kini, ia bergelar sebagai seorang selir agung untuk melindungi kaisar dari kudeta dan pemberontak yang direncanakan oleh seorang perdana menteri yang tidak lain dan tidak bukan adalah ayah dari sang ratu.
EKSEKUSI MATI
Malam sebelum dijalankannya eksekusi terhadap Nona Shuwan, putra Kaisar Yun nekat datang ke penjara untuk menemui gadis itu. Ia pemuda yang tengah hancur hatinya saat ini. Cinta pertamanya yang didambakan sebagai pendamping saat ia naik tahta menggantikan sang Ayah pun harus dihukum mati demi pria lain.
“Ratuku ... ratuku, aku harus menemui dirimu untuk terakhir kali," ujar Putra Mahkota bermonolog.
Pemuda itu bergegas menuju tempat yang hanya memiliki penerangan sangat terbatas. Tempat di mana orang orang bersalah ditahan dan dihukum. Meski para penjaga telah melarangnya untuk masuk, tetapi lagi lagi karena menggunakan kewenangan sebagai calon kaisar, Putra Mahkota tak pernah berhasil untuk dicegah. Keinginan Putra Mahkota adalah perintah bagi mereka.
“Yang Mulia Putra Mahkota, Anda ...?!" Nona Shuwan terkejut melihat putra seorang Kaisar itu datang ke tempat lembab seperti ini padahal sudah hampir tengah malam.
“Nona Shuwan, ayo pergi bersamaku! Kau tidak seharusnya dihukum karena ini. Pria bernama Qian Kang Jian itu yang seharusnya dihukum mati," kesal Putra Mahkota.
“Yang Mulia Putra Mahkota, karunia Anda begitu besar. Saya tidak berani menyulitkan Anda. Memangnya masalah apa yang akan berakhir jika saya kabur? Yang Mulia Putra Mahkota akan kehilangan tahta dan selamanya kita akan hidup dalam persembunyian," tolak Nona Shuwan yang tidak setuju dengan rencana Putra Mahkota untuk kabur malam ini juga.
“Aku tidak peduli dengan tahta. Nona Shuwan, aku sangat mencintaimu. Jika harus naik tahta, aku ingin kau menjadi ratuku. Jika itu tidak terjadi, maka aku juga tidak akan pernah naik tahta."
“Ampuni hamba Yang Mulia Putra Mahkota. Ampunilah hamba. Mengenai perasaan Yang Mulia Putra Mahkota terhadap hamba ...," ucapan Nona Shuwan terhenti.
“Yang Mulia Putra Mahkota, Yang Mulia Ratu saat ini menunggu di luar,” ujar seorang penjaga yang membuat Nona Shuwan tak lagi melanjutkan ucapannya.
“Nona Shuwan, Yang Mulia Ratu adalah ibuku. Aku sangat yakin beliau datang untuk membantu kita. Aku akan segera kembali, ingatlah! Aku sangat mencintaimu,” ujar Putra Mahkota berpamitan untuk sekejap demi menemui Yang Mulia Ratu.
Pemuda dengan gelar Putra Mahkota itu tampaknya salah paham. Penjaga itu rupanya menipu dirinya atas perintah utusan dari istana ratu. Seseorang telah mengadukan kedatangan Putra Mahkota ke penjara kepada Yang Mulia Ratu. Oleh sebab itu, sang Ratu menyuruh utusan untuk menculik Putra Mahkota dan menyekapnya di dalam istana dingin setidaknya sampai upacara eksekusi untuk Nona Shuwan besok selesai dilaksanakan.
Begitu Putra Mahkota keluar dari area penjara. Beberapa utusan telah menunggunya. Pemuda itu dibius lalu digendong dan dibawa ke istana dingin sesuai perintah dari Yang Mulia Ratu. Tanpa melukai sang Putra Mahkota, para utusan menyekap pemuda itu di tempat yang terdapat di sudut kerajaan Yun yang megah.
Semua itu sang Ratu lakukan demi mencegah sang Putra Mahkota berbuat ceroboh sehingga membuatnya kehilangan tahta. Terlebih lagi demi klan pendukungnya. Ratu adalah pemimpin politik saat ini diam diam ingin menguasai istana. Ia menggunakan putranya sendiri sebagai alat untuk memenangkan politik dengan merencanakan pernikahan sang putra dengan gadis dari klan mereka yaitu Lao Fei Fei.
Saat Putra Mahkota terbangun keesokan harinya. la bangun dengan kepala terasa berat. Bangkit lalu berjalan sempoyongan menuju pintu. Sementara matahari mulai menerobos masuk menandakan ia telah tertidur semalaman. Hari ini Nona Shuwan akan dieksekusi.
“Buka pintu!" seru Putra Mahkota.
BRAK! BRAK! BRAK!
Putra Mahkota menggebrak pintu berkali kali tetapi penjaga yang berada di luar sana tidak membuka pintu untuknya. Sesuai perintah Yang Mulia Ratu, Putra Mahkota tidak boleh datang ke upacara eksekusi mati Nona Shuwan. Pemuda itu mulai berteriak, memaki, bahkan menangis memanggil nama Wang Shuwan. Tengah hari, hujan turun sangat lebat disertai petir yang menyambar. Itu adalah waktu kematian gadis yang paling ia cintai. Bahkan untuk saat terakhir pun ia tidak diizinkan untuk melihat orang yang telah membuatnya begitu jatuh cinta.
“Wang Shuwan, dinyatakan bersalah atas tuduhan menghina, menipu, dan merugikan Kekaisaran Yun Shang. Telah dengan sadar memalsukan identitas sebagai Guru Besar Qian Kang Jian, membuat kekacauan di negeri dan Akademi Yun Shang. Atas kebaikan hati Kaisar, maka Wang Shuwan dijatuhi hukuman mati."
Aroma bunga musim semi menyeruak ke udara tatkala pembacaan titah Kaisar didengar oleh semua orang yang turut menyaksikan eksekusi terhadap Nona Shuwan. Wanita dengan pakaian serba putih dan rambut indah tergerai itu tengah duduk bersimpuh menghadap meja kecil yang di atasnya terdapat sebuah mangkok keramik berisi racun seratus tahun.
Alih-alih tertunduk lesu, gadis rupawan itu menegakkan kepalanya, lalu menyunggingkan sebuah senyum menawan. Dia tengah menertawakan takdir atas dirinya sendiri. Pengorbanannya sia-sia, cintanya hilang, dan hidupnya akan segera berakhir.
Tidak ada keluarga yang datang untuk mengantar kepergiannya. Dia dihinakan hingga akhir hayat. Kaisar melarang diadakannya upacara pemakaman bagi tertuduh seperti dirinya. Jasadnya akan dihanyutkan ke laut sebagai wujud pembersihan dosa terhadap Kaisar.
Di tempat lain, Negeri Zhao. Cendekiawan yang sudah sangat renta bersama istrinya tengah berlutut di hadapan leluhur dengan pakaian serba putih layaknya tuan rumah di rumah duka. Berita hukuman mati yang dijatuhkan pada putri tercinta telah sampai pada mereka tiga hari yang lalu. Oleh sebab itu, di hari yang sama meski di tempat yang berbeda, untuk terakhir kalinya kedua manula itu memberikan kasih sayang mereka pada buah hatinya. Putri yang teramat mereka kasihi harus menjalani takdir yang tragis di ujung usia.
“Hamba, Wang Shuwan. Berterima kasih atas kemurahan hati Kaisar dan bersedia menerima hukuman."
Nona Shuwan meraih mangkok keramik di hadapannya dengan tangan gemetar. Senyumnya sirna, ada ketakutan di dalam kedua netranya. Meskipun harus berakhir dengan kematian, tetapi dia tidak menyesal. Dia hanya takut bagaimana orang orang yang dia tinggalkan menjalani hidup dengan penuh penyesalan.
“Guru ...!"
Rombongan murid Akademi Yun Shang yang baru saja tiba untuk menyaksikan eksekusi terhadap guru tercinta terpaksa dihadang oleh prajurit agar tidak mengganggu jalannya eksekusi. Meski dari kejauhan, Nona Shuwan terharu mendengar teriakkan para anak didiknya yang terus menerus memanggilnya dengan sebutan “Guru Qian”.
Ya, meski sudah sejak lama penyamarannya di depan murid muridnya terbongkar, tetapi di mata mereka dia tetaplah Guru Qian.
“Jangan tinggalkan kami, Guru!"
“Guru Qian, terima kasih atas dedikasimu selama ini!"
“Guru! Maafkan kami yang bodoh ini!"
“Tolong bebaskan guru kami! Guru Qian tidak bersalah!"
Alun-alun tempat eksekusi hukuman dan pembacaan dakwaan seketika diselimuti perasaan haru. Bahkan, para pengawal kerajaan pun terlihat menahan air mata agar tidak tumpah. Namun, beberapa dari mereka tak tahan dan akhirnya ikut menangis.
Kendati demikian, titah Kaisar tak dapat ditarik kembali. Hukuman mati terhadap Guru Qian palsu akan tetap dijalankan tanpa adanya toleransi terhadap kebaikan dan jasa yang pernah diperbuat oleh si pesakit. Setelah sempat terhenti karena kedatangan rombongan murid Akademi Yun Shang, eksekusi kembali dilanjutkan. Pengawal kerajaan yang berdiri di samping Nona Shuwan mengulangi lagi aba aba agar si pesakit meminum sendiri racun seratus tahun yang tersaji di hadapannya.
Kedua tangan Nona Shuwan mantap memegang mangkok di depan dada. Sebelum benar benar menenggak cairan pahit itu, dia menggeser duduknya menghadap pesakit lainnya yang juga diadili di hari yang sama untuk kasus yang sama, tetapi hukuman yang berbeda. Seolah bersulang untuk terakhir kalinya, bibir pucatnya kembali tersenyum kepada mereka. Mereka adalah orang orang yang turut menerima hukuman karena kesalahan yang Nona Shuwan lakukan.
“Kakak Jian, aku minta maaf karena menyulitkan dirimu. Aku minta maaf karena menempatkan dirimu pada keadaan ini. Jika masih punya kesempatan, sayangnya tidak, aku ingin menebus semua kesalahan ini," batin Nona Shuwan, menyesali semua yang terjadi karenanya.
Tiga pemuda yang juga duduk di kursi pesakitan. Qian Kang Jian, pengadilan menjatuhi hukuman terhadap pemuda tersebut berikut keluarganya di Negeri Zhao. Gelar bangsawan keluarganya dicopot, lalu semua diasingkan untuk menjadi budak. Akan tetapi, karena kecerdasan dan bakat mengajar yang menjadi pertimbangan, Kang Jian tetap menjadi seorang pendidik di tempat pengasingan tanpa diberi upah dan bersedia mengabdi seumur hidup tanpa meninggalkan tempat pengasingan.
“Guru Lei, terima kasih atas perlindungan dan pertemanan selama ini. Maafkan aku yang dengan sengaja mengabaikan perasaanmu. Tolong maafkan aku,” batin Nona Shuwan, berharap Lei Xio Ao mendengarkan suara hatinya.
Hukum kerajaan rupanya tidak tebang pilih. Kendati seorang putra jenderal, pria bermata elang, Lei Xio Ao juga terseret pada kasus tersebut. Pemuda itu dicekal masuk ke istana dan tidak diizinkan menempati jabatan militer apa pun. Hidup sebagai rakyat jelata dan dilarang berorganisasi. Dia juga tak lagi menyandang status sebagai guru di Akademi Yun Shang.
Cukup lama, Nona Shuwa menatap lekat pemuda yang rela pasang badan berkali kali Untuknya. Yu Lu Xuan. Keduanya saling melempar senyum untuk yang terakhir kali. Meskipun akhirnya air mata tak kuasa jatuh begitu saja. Terlambat bagi Nona Shuwan untuk menyadari bahwa dia mulai menyukai Tuan Yu.
“Tuan Yu, Yu Lu Xuan, terima kasih telah mencintaiku, hari ini aku merasakannya, merasakan ketulusanmu, mari kita bertemu kembali di kehidupan yang akan datang,” ujar Nona Shuwan membatin.
Saudagar muda itu harus kehilangan seluruh harta yang dia kumpulkan sejak kecil. Seumur hidup berbisnis dan mengumpulkan harta, kini semua lenyap dalam sehari karena kerajaan telah menyita semuanya dan memiskinkan dirinya. Dia tidak menyesal atas hukuman tersebut. Namun, dia menyesali dan sangat menyesali perpisahan dengan gadis dambaannya itu. Bagi Tuan Yu, harta yang paling berharga di dunia ini adalah Nona Shuwan yang tak pernah dia miliki. Berada di dekat gadis itu, melihat senyum, dan mendengar suara yang kerap mendayu dayu tentu sudah memuaskan hatinya.
“Putra Mahkota ... di mana Anda sekarang? Semoga Yang Mulia Putra Mahkota panjang umur," ujar Nona Shuwan dalam hati ketika menyadari pemuda itu tak hadir seperti yang lainnya.
PRAAANG!
Mangkok keramik yang isinya telah tandas itu jatuh, pecah berkeping keping. Sementara sosok yang baru saja menenggak racun seratus tahun tampak lunglai dan tubuhnya membentur tanah.
“Panjang umur, Kaisar!"
Hukuman mati terhadap penipu kaisar telah selesai dilaksanakan. Isak tangis masih terdengar di bawah langit yang tiba tiba menjadi gelap. Hujan turun lebat disertai kilat yang menyambar nyambar. Beberapa dari mereka berhamburan, tetapi beberapa masih berlutut menangisi kepergian Nona Shuwan.
Lepas dari hadangan pengawal kerajaan, Tuan Yu berlari, memeluk erat jasad yang telah basah oleh air hujan. Aksi itu pun diikuti oleh sahabatnya. Sang putra jenderal juga ingin melihat rekan sesama guru, teman berbagi kamar, dan rival bermain catur untuk terakhir kalinya.
“Aku mendekapmu, aku mendekapmu sangat erat seperti permintaanmu kala itu. Aku mohon buka matamu, Nona! Nona Shuwan, aku Yu Lu Xuan bersedia menggantikan karma apa pun itu untukmu. Nona Shuwan, Nona Shuwan ku yang berharga, bukalah matamu. Aku mohon jangan seperti ini ...."
Di kursi pesakitan, Kang Jian terus menundukkan kepala. Ia membiarkan tubuhnya diguyur derasnya hujan untuk menyamarkan tangisannya.
“Jika aku tahu itu adalah hari terakhirmu bertemu denganku, aku tidak akan mengatakan hal yang menyakitimu. Adik, tolong jangan maafkan aku. Akan kutebus seumur hidupku dengan perasaan bersalah dan menyesal,” ungkap Kang Jian bermonolog.
Tuan Yu dan Guru Lei terlibat pertikaian dengan pengawal kerajaan yang hendak membawa jasad Nona Shuwan. Tuan Yu terus memeluk tubuh lunglai itu, sedangkan Guru Lei sekuat tenaga menahan setiap pukulan untuk melindungi keduanya.
Balok balok diayunkan tanpa ampun menghujam tubuh putra jenderal tersebut. Sebentar saja, dua pemuda itu hanya meminta sedikit waktu untuk terakhir kalinya bersama Nona Shuwan. Namun, pengawal kerajaan tetap membabi buta memukul dan menendang, hingga satu hantaman keras di kepala Guru Lei yang membuat pemuda itu tumbang. Aksi pengeroyokan pun berakhir ketika sang putra jenderal tak sadarkan diri.
Tuan Yu yang sedari tadi mempertahankan jasad Nona Shuwan akhirnya melepaskan dekapan pada tubuh yang semakin pucat itu. Dia beralih pada sahabatnya yang tak sadarkan diri dengan kepala bocor. Darah menggenang bercampur dengan air hujan.
“Apa yang kalian lakukan?!" hardik Tuan Yu kepada para pengawal kerajaan. “Pemuda ini putra jenderal besar kekaisaran. Beraninya kalian mencelakainya!" lanjut Tuan Yu, geram.
Wajah wajah pucat para pengawal kerajaan tampak jelas. Mereka segera membawa putra jenderal itu dengan tandu. Tuan Yu masih bersikeras hendak mempertahankan jasad Nona Shuwan. Akan tetapi, pengawal kerajaan tak kalah ulet dalam menjalankan titah Kaisar bahwa tidak ada pemakaman dan tidak ada yang boleh mengantar mendiang putri cendekiawan ketika dihayutkan ke laut, kecuali pengawal yang bertugas.
Teriakan pemuda yang tengah hancur hatinya di tengah lebatnya hujan agaknya tak mampu meluluhkan hati pria pria berseragam di sekitarnya. Tak lama kemudian, Jenderal Lei datang setelah memastikan putranya ditangani oleh tabib kerajaan. Kedatangan jenderal besar kali ini bertujuan untuk menenangkan Yu Lu Xuan yang sudah dia anggap seperti anak sendiri.
Didekapnya tubuh pemuda yang kian lunglai itu. Pemuda itu terus meracau, menyalahkan takdir yang baru saja mengambil gadis pujaan hatinya yang hingga saat ini belum dimiliki. Sang jenderal semakin mengeratkan dekapannya terhadap sahabat putranya itu ketika para pengawal mulai menjauh membawa serta jasad terpidana hukuman mati dengan menenggak racun seratus tahun.
“Hentikan mereka, Paman! Hentikan ...! Hentikan, aku mohon padamu, Paman!" seru Tuan Yu disertai isak tangis. “Dia tak layak menerima semua ini, dia masih hidup, Paman. Katakan padaku Nona Shuwan hanya sedang tertidur dan saat dia bangun dia akan menyelesaikan sulamannya untukku. Hentikan mereka, Paman
Jenderal Lei tak sanggup mengatakan satu patah kata pun. Pria bertubuh kekar itu hanya mampu mengeratkan dekapannya, turut merasakan kepedihan yang tengah dirasakan oleh pemuda di pelukannya.
Kursi pesakitan telah kosong. Pemuda terakhir yang sedari tadi menundukkan kepala telah meninggalkan alun alun. Lusa, dia akan bertemu keluarganya di dermaga, lalu mereka akan dikirim ke tempat pengasingan untuk menjalani hukuman dari Kaisar Yun Shang. Negeri Zhao yang merupakan negeri kecil di bawah kekuasaan Negeri Yun Shang tentunya tidak dapat melakukan penangguhan hukuman atas rakyatnya sekalipun mereka adalah seorang bangsawan.
Diam diam, Kang Jian mengikuti rombongan para pengawal kerajaan yang membawa jasad mendiang Nona Shuwan. Pemuda itu tak punya kesempatan terakhir kali untuk memeluk sosok yang seharusnya menjadi mempelai wanita untuk dirinya. Namun, setidaknya dia masih sangat ingin mengantar ke tempat peristirahatan terakhir.
Menjaga jarak dengan rombongan pengawal kerajaan, Kang Jian bersembunyi di sepanjang perjalanan agar keberadaannya tidak disadari oleh pria pria berseragam itu. Menempuh sembilan jam perjalanan dengan berjalan kaki tanpa istirahat. Akhirnya, mereka tiba di bibir pantai pada tengah malam.
“Lempar cepat!" seru salah seorang pengawal kerajaan kepada yang lainnya.
“Siapa yang akan membawanya ke tengah laut? Kapal yang dipesan tidak datang,” sahut yang lain.
Ombak kala itu cukup tinggi. Cuaca ekstrim sejak siang tadi tak kunjung membaik. Langit murka kepada Kaisar, begitulah rumor yang beredar karena besarnya simpati pada Nona Shuwan. Kesalahan yang diperbuat dianggap tak pantas mendapatkan hukuman mati. Akan tetapi, sang Kaisar adalah pribadi yang tunduk dan patuh pada undang undang kerajaan yang telah diturunkan dari dinasti sebelumnya.
Di tengah kebingungan para pengawal kerajaan, sosok yang masih mengenakan pakaian pesakitan, serba putih, muncul mengejutkan mereka. Dia pemuda yang sejak dari alun alun mengikuti mereka.
“Tuan tuan, izinkan aku yang melakukannya," pinta Kang Jian dengan kerendahan hati. Dia bahkan sampai rela berlutut di hadapan para pria pria berseragam itu.
“Guru Qian, tapi sesuai perintah Kaisar, jasad ini tidak diperkenankan diantar oleh sanak saudara, kerabat, maupun “ ungkap seorang pengawal terjeda.
“Saya, Qian Kang Jian, memohon dengan segala kerendahan hati saya agar Tuan tuan bermurah hati, berbelas kasih kepada sosok yang sudah tak bernyawa itu juga kepada saya yang hina ini. Jika Tuan tuan mengabulkan, kejadian malam ini akan saya rahasiakan seumur hidup saya," ujar Kang Jian memohon.
Tak langsung mengabulkan permohonan Kang Jian, para pengawal kerajaan terpaksa melakukan diskusi terlebih dahulu guna mempertimbangkan permintaan pemuda yang masih berlutut itu. Masalah yang mereka hadapi adalah kapal pengangkut jasad tidak ada di tempat, sedangkan ombak laut sedang tidak bersahabat yang disertai guyuran air langit yang tak henti henti. Kilatan petir turut menyambar nyambar di tengah lautan membuat nyali siapa pun akan menciut. Di sisi lain, perintah Kaisar tidak boleh dibantah. Jika sampai mereka mengizinkan Kang Jian membawa jasad tersebut ke tengah laut, itu artinya mereka tidak menjalankan titah kaisar dan akan menerima hukuman dan sanksi yang berat.
“Aku rasa lebih baik tunggu sampai besok. Besok pagi pasti akan ada kapal," usul salah seorang pengawal kerajaan.
“Tidak bisa, jasad terpidana hukuman mati harus dihanyutkan sebelum matahari terbit, kalau tidak, akan menjadi kutukan yang mengerikan bagi pengantar mayat seperti kita, hiii ...," sanggah seorang yang lain, tidak setuju.
“Guru Qian orang yang baik dan terpelajar, biarkan saja dia mengantar jasad istrinya itu. Lagi pula selain rahasia terjamin oleh orang seperti dia, siapa juga yang akan selamat diterjang ombak setinggi bukit?" Pendapat lain muncul dari salah seorang pengawal kerajaan yang sukses membuat rekan rekannya mengangguk anggukkan kepala.
Pendapat terakhir terbilang masuk akal. Mereka mengambil kesimpulan bahwa sebenarnya Kang Jian tidak ingin hidup lagi sehingga hendak mengakhiri hidupnya dengan menenggelamkan diri ke laut bersama jasad mendiang Nona Shuwan. Hidup di pengasingan sebagai budak tidaklah mudah, terlebih lagi bagi seorang bangsawan seperti Kang Jian. Kebanyakan bangsawan yang diasingkan biasanya ditemukan gantung diri karena tidak tahan menjalani hidup sebagai budak.
Usai berdiskusi, kelima pengawal kerajaan itu berjalan mendekati pemuda berbaju putih yang masih dalam posisi berlutut. Salah seorang dari mereka memberanikan diri untuk menyampaikan keputusan musyawarah.
“Guru Qian, berdirilah!" titah seorang pengawal kerajaan, tetapi Kang Jian menolak.
“Guru Qian, antar lah jasad istri Anda ini ke tempat peristirahatan terakhirnya, tapi tolong jangan bahayakan kami di kemudian hari, bagaimana?"
Wajah yang sedari tadi menunduk itu akhirnya terangkat. Kang Jian segera memberikan hormat kepada para pengawal kerajaan sebagai ungkapan terima kasih karena telah dikabulkannya permohonannya. Para pengawal kerajaan menjadi merasa sungkan menerima penghormatan dari guru besar itu.
Kang Jian bangkit dari posisi berlutut. Berjalan menuju peti mati, lalu membukanya perlahan. Jasad itu basah dan pucat, tetapi aroma bunga musim semi masih tajam tercium. Diangkatnya dengan hati hati tubuh lunglai tersebut.
“Adik, hanya ini yang bisa aku lakukan Untukmu. Seharusnya aku menggendong tubuhmu ke pelaminan, tapi takdir berkata lain. Hari ini, aku Qian Kang Jian mengaku bersalah padamu dan akan mengantarmu ke peristirahatan terakhirmu, Wang Shuwan."
Kilatan cahaya petir menjadi penerang. Guyuran hujan menjadi pengiring. Deburan ombak Siap menyambut keduanya. Langkah Kang Jian membopong jasad mendiang Nona Shuawan kian mantap melewati pantai, menuju laut. Dia tidak peduli jika harus mati hari ini juga. Hidup dengan penuh penyesalan lebih tersiksa daripada kematian.
“Semoga langit mengampuni keduanya," ujar Seorang pengawal kerajaan, ketika ombak setinggi bukit baru saja menelan Kang Jian yang tengah membopong jasad mendiang Nona Shuwan. Keduanya sudah tak terlihat lagi. Pemandangan memilukan itu disaksikan oleh lima pengawal kerajaan yang sepakat bahwa kejadian malam ini akan dibawa sampai mati sebagai rahasia yang tak akan diungkap.
To be continued