Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Sebatas Pengganti 07

"Pak Gandi? Bukan apa-apa," Rindi terlihat gugup dan salah tingkah.

"Oh ya, aku hampir lupa. Antar semua berkas ini ke rumah Adrian. Berkas ini harus ditanda tangani olehnya. Nanti, bimbing dia di mana dia harus membubuhkan tanda tangannya." Tutur Gandi.

"Rumah tuan Adrian?" Rindi terlihat ragu. Wajar jika dia bertanya, karena dia belum tahu di mana rumah Adrian.

"Astaga!" Gandi menepuk keningnya akibat kebodohannya. Dia lupa jika gadis di hadapannya baru berada di kota ini.

"Supir kantor akan mengantarmu, dia sudah menunggumu dibawah." Jelas Gandi.

Rindi membawa berkas-berkas yang katanya penting. Benar saja, supir sudah menunggunya.

"Mari, nona." Supir dengan sopan membukakan pintu untuk Rindi.

Sepanjang perjalanan menuju rumah Adrian, Rindi hanya diam sambil melihat ke arah luar. Entah apa yang sedang mengganggu pikiran gadis berusia dua puluh tahunan itu. Sesekali terdengar helaan nafas yang panjang dan berat.

"Kita sudah sampai, Nona!" Perkataan pak sopir membuyarkan lamunan Rindi.

Rindi turun lalu melihat ke sekeliling. Matanya takjub melihat bangunan besar nan megah yang ada di hadapannya. Namun, tiba-tiba wajahnya terlihat sedih.

"Bak langit dan bumi," lirihnya lalu melangkahkan kaki memasuki rumah Adrian.

Adrian sedang duduk santai di taman belakang rumah bersama Arinta. Narendra tidak di rumah, dia tiba-tiba harus ke luar kota.

"Permisi!" Ucap Rindi setelah sebelumnya mendehem untuk menetralkan suaranya.

"Rindi!" Adrian menoleh ke arah suara. Wajahnya terlihat sumringah saat mendengar suara yang dia rindukan. Namun, kebahagiaan itu tidak lama saat sang ibu mematahkan semangatnya.

"Rindi? Siapa dia?" Tanya Arinta.

"Oh, bukan siapa-siapa." Jawab Adrian dengan cepat.

"Lagipula tidak mungkin Rindi bisa ada di sini. Aku terlalu merindukannya." Bathin Adrian.

"Dia asisten pribadimu yang baru, namanya ...." Arinta memberi kode pada Rindi.

"Putri," sebut Rindi.

"Ada perlu apa, putri?" Tanya Adrian.

"Pak Gandi meminta saya untuk mengantar berkas yang harus bapak tanda tangani," jawab Rindi.

Adrian memandang ke arah Rindi. Meski matanya tidak bisa melihat, namun harum tubuh dan suara Rindi masih dia ingat dengan jelas.

"Besok, ganti parfummu! Aku mual mencium baunya," cetus Adrian. Arinta hanya tersenyum melihat reaksi putranya.

"Putri, Tante mau pergi. Kamu di sini ya temani Adrian. Bukankah itu sudah menjadi tugas kamu?" Kata Arinta lalu pergi meninggalkan Adrian dan Rindi di sana.

"Di mana aku harus tanda tangan?" Tanya Adrian setelah Arinta pergi. Nada bicaranya ketus dan tidak bersahabat.

Rindi menuntun tangan Adrian pada kolom yang harus ditanda tangani. Setelah selesai, Rindi menyimpan berkas itu baik-baik.

"Kembali lah ke kantor, aku tidak butuh teman." Usir Adrian.

"Tapi, pak ..."

"Kembali atau saya pecat!" Tegas Adrian dengan intonasi tinggi.

"Ba-baik pak," ucap Rindi terbata.

Baru Saja Rindi hendak beranjak, tiba-tiba terdengar suara begitu nyaring menyebut nama Adrian.

"Adrian! Sayang! Ternyata kamu di sini," Sela sudah berada di antara Rindi dan Adrian.

"Untuk apa kamu kemari?" Tanya Adrian. Wajahnya memerah mencoba menahan amarahnya.

"Untuk apa? Tentu saja untuk melihat calon suamiku," jawab Sela dengan santai lalu duduk di hadapan Adrian.

"Tidak perlu bersandiwara, Sela. Aku muak!" Ucap Adrian.

"Nggak usah ngegas gitu donk. Aku datang baik-baik loh. Harusnya kamu senang karena aku masih Sudi menjengukmu, masih peduli padamu." tutur Sela dengan nada mengejek.

"Peduli? Cih! Lupakan saja rasa pedulimu itu. AKU TIDAK BUTUH!" Adrian menekankan kata-katanya.

Sela beranjak dari duduknya lalu menghampiri Adrian.

"Adrian ... Adrian. Kamu itu buta, sudah tidak bisa melihat. Kamu pikir orang akan percaya dengan apa yang kamu katakan." Bisik Sela sambil menyeringai.

"Orang lain mungkin bisa kamu tipu, Sela. Tapi, tidak denganku." Ucap Adrian.

"Ya ... Ya, terserah kamu saja. Yang perlu kamu ingat adalah tanggal pernikahan kita yang tidak lebih dari tiga puluh hari dari sekarang. Dan aku berniat membatalkan rencana pernikahan ini. Dan kamu tahu bukan apa akibatnya bagi keluarga Pratama?" Sela dengan tajam melihat ke arah Adrian.

"Putri!" Panggil Adrian, dia tahu gadis itu masih ada di sana. Adrian masih bisa mencium aroma tubuhnya.

"Saya, pak." Sahut Rindi.

"Antar saya ke kamar," pinta Adrian.

"Baik, pak." Rindi mendekati Adrian lalu memapahnya.

Sejenak Rindi terdiam, dia teringat kenangan waktu di kampung. Setiap hari dia memapah Adrian.

"Kenapa berhenti?" Tanya Adrian.

"Ti-tidak apa-apa, pak." Jawab Rindi gagap.

"Ingat Adrian! Pratama akan menanggung malu!" Seru Sela saat Adrian dan Rindi sudah menjauh.

Arinta menyaksikan semua yang terjadi antara Adrian dan Sela. Dia juga melihat bagaimana Rindi dengan telaten memapah tubuh Adrian yang tinggi dan tegap. Tapi, tidak sedikit pun terlihat bahwa Rindi kesulitan memapah putranya itu.

"Pratama tidak akan pernah menanggung malu, Sela." Monolog Arinta.

Dengan susah payah Rindi memapah Adrian menaiki tangga menuju kamarnya di lantai dua. Sesampainya di kamar, Adrian meminta Rindi untuk mengantarnya ke balkon.

"Kembalilah ke kantor, mungkin Gandi membutuhkan berkas yang tadi aku tanda tangani." Kali ini suara Adrian terdengar lebih lembut dari sebelumnya.

"Baik, pak." Ucap Rindi patuh.

"Maaf tentang parfummu. Tapi, tolong jangan pakai parfum itu jika kamu datang menemuiku." Tutur Adrian lagi.

"Tapi, saya tidak memakai parfum ataupun wewangian yang lain pak." Kata Rindi apa adanya.

"Tidak mungkin dua orang yang berbeda mempunyai aroma tubuh yang sama," gumam Adrian.

Setelah memastikan Adrian baik-baik saja, Rindi pun berpamitan untuk kembali ke kantor.

"Rindi, mau ke mana?" Tanya Arinta tiba-tiba dari arah dapur.

"Kembali ke kantor, Nyonya." Jawab Rindi sambil menunduk hormat.

"Tugasmu menjadi asisten pribadi Adrian, itu artinya kamu harus selalu bersama di mana pun Adrian berada." Jelas Arinta.

Rindi bingung harus mematuhi perintah siapa, Adrian memintanya pergi. Namun, Arinta memintanya tetap tinggal.

"Lagi pula, ini sudah jam makan siang. Bukankah kamu harus menyiapkan makan siang untuk Adrian. Dia pasti sudah lapar." Rindi hanya mengangguk patuh pada Arinta.

Arinta menunjukan letak dapur dan ruang makan. Arinta tidak perlu mengajari Rindi tentang apa yang akan di makan oleh putranya. Dia yakin, gadis di hadapannya sudah tahu banyak tentang Adrian.

"Mulai besok, kamu yang memasak untuk Adrian." Seru Arinta saat Rindi mulai menaiki tangga dan lagi-lagi Rindi mengangguk patuh.

"Maaf pak, saya belum kembali ke kantor. Ibu anda meminta saya mengantarkan makan siang," tutur Rindi sebelum Adrian menyemprotnya dengan kata-kata mutiara yang menyakitkan.

"Letakkan di meja!" Titah Adrian.

"Tapi, ibu anda ...."

"Taruh saja di sana! Apa kamu tuli?" Teriak Adrian.

Rindi menaruh makanan di meja. Tanpa dia sadari air matanya jatuh. Hatinya perih mendapat perlakuan kasar dari Adrian.

"Sabar, Rindi. Sadar diri lah kamu. Kamu bekerja di sini dan Adrian adalah bosmu. Dan kamu pun tidak punya hubungan spesial dengannya. Jangan berharap lebih. Bersyukur orang tua Adrian memberimu pekerjaan untukmu." Monolog Rindi dengan suara lirih sambil mengelus dadanya.

Selagi Rindi mencoba menenangkan hatinya, pintu kamar terbuka. Arinta melangkah masuk ke kamar itu.

"Rindi, suapi Adrian makan. Dia tadi hanya makan sedikit saat sarapan. Sejak kembali ke rumah ini, dia tidak makan dengan baik." Tutur Arinta.

"Ma, cukup. Aku bukan anak kecil yang butuh pengasuh," tolak Adrian.

"Butuh atau tidak, Rin ... Eh, Putri akan tetap di sini." Keputusan telak yang tidak bisa dibantah Adrian.

"Bila perlu Putri akan tidur di sini," imbuh Arinta sambil tersenyum penuh misteri.

"Tidak!" Seru Rindi dan Adrian bersamaan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel