Pustaka
Bahasa Indonesia

Sebatas Pengganti

46.0K · Ongoing
SUHA
41
Bab
307
View
9.0
Rating

Ringkasan

Akibat kecelakaan pesawat yang ditumpanginya, Adrian harus kehilangan penglihatannya. Bukan hanya penglihatannya, tapi dia juga harus merelakan hari pernikahannya batal karena sang calon istri yang kabur entah ke mana. Namun, itu tak membuatnya sedih. Karena sebelumnya dia sudah mengetahui rahasia besar. Rahasia apa yang disimpan rapat oleh Adrian? Ikuti terus ya, dan dukung karya saya yang pertama ini. Terima kasih?

RomansaPengantin PenggantiPernikahanMemanjakanMenyedihkanBaperTuan Muda

Sebatas Pengganti 01

Boom ...

Suara ledakan memecah keheningan malam.

Di pagi harinya, semua stasiun televisi, radio, dan seluruh surat kabar menayangkan berita tentang pesawat yang hilang kontak dan meledak. Bahkan di media sosial pun turut menayangkan berita tersebut.

Para keluarga korban ledakan banyak yang mendatangi lokasi kejadian. Meski tipis harapan, namun mereka tetap mengharapkan keajaiban. Berharap menemukan keluarga mereka dalam keadaan selamat, meski itu terdengar mustahil.

Di sebuah hutan yang jaraknya lumayan jauh dari perkotaan,

Terdengar suara gemericik air dari sebuah sungai, ditambah kicauan burung bernyanyi saling bersahutan menambah indah suasana siang ini. Sinar matahari menerobos masuk melalui celah-celah dedaunan. Satu kata, HANGAT!

"Masak udah, bersih-bersih juga udah, tinggal cuci pakaian aja yang belum." Cicit Rindi, gadis yatim piatu yang tinggal di sebuah gubuk yang ada di hutan tersebut. Dia membawa sebuah ember yang berisi pakaian untuk dicuci di sungai.

"Tolooong!!"

Sayup-sayup terdengar suara seseorang merintih sambil meminta tolong.

Rindi reflek memegang tengkuknya yang tiba-tiba meremang.

"Masa iya siang bolong ada hantu," gumamnya sambil celingukan.

"Tolong!" Suara meminta tolong itu terdengar lagi.

"Bukan, ini bukan hantu." Ucap Rindi lalu menghentikan aktivitasnya.

"Siapa? Apa ada orang?" Tanya Rindi dengan suara berteriak.

"Di sini," jawab suara rintihan itu.

"Teruslah bersuara, agar aku bisa menemukanmu!" Seru Rindi lalu mengikuti arah suara.

Sekitar beberapa meter dari arahnya berdiri, tergeletak seorang pria dengan baju company-camping dan wajah yang sudah tidak terlihat jelas karena tertutupi darah.

"Anda terluka, Tuan!" Rindi mencoba sekuat tenaga untuk menolong pria malang tersebut.

Dengan susah payah Rindi memapah pria itu hingga ke tepi sungai tempatnya tadi mencuci pakaian.

Rindi mengambil air lalu membersihkan wajah pria itu.

"Argh!!" Pekik pria itu kesakitan.

"Mata tuan terkena ranting kayu," lirih Rindi iba.

Rindi tidak mempedulikan cuciannya, dia segera membawa pria itu ke gubuknya.

"Tuan, tunggulah sebentar di sini! Aku mau ke kampung untuk menemui ketua RT di kampung ini," pamit Rindi.

"Jangan! Tetaplah di sini!" Cegah pria itu.

"Tapi, tuan butuh pertolongan. Tuan bisa buta jika lambat mendapatkan pertolongan." Kata Rindi.

"Namaku Adrian," kata Adrian sambil mengulurkan tangannya.

Dengan sigap Rindi menerima uluran tangan Adrian, "Panggil saja aku Rindi." Balas Rindi.

"Apa wajahku mengerikan?" Tanya Adrian seraya tersenyum kecut.

Rindi mendudukkan tubuhnya di depan Adrian, "Hanya mata saja yang terkena ranting, wajah tuan tetap tampan." Jawabnya jujur.

"Untuk apa wajah tampan jika aku buta," ucap Adrian.

"Ah, aku hampir lupa. Apa tuan tidak membawa kartu identitas atau tanda pengenal lainnya? Biar aku bisa menghubungi keluarga tuan," tutur Rindi.

Terdengar helaan nafas yang panjang dan berat dari arah Adrian.

"Apa aku boleh tinggal di sini untuk sementara waktu?" Tanya Adrian, sepertinya dia tidak berniat menjawab pertanyaan Rindi.

"Tapi tuan, luka di mata tuan harus mendapat penanganan secepatnya. Jika tidak, lukanya ditakutkan akan membusuk." Ujar Rindi.

"Pergilah ke kampung, Carikan aku ahli medis. Minta dia untuk mengobati mataku," kata Adrian pasrah.

Rindi pun mengangguk lalu pergi ke kampung, dia berniat pergi ke rumah seorang bidan.

"Assalamualaikum! Buk, ini Rindi." Seru Rindi setelah mengucapkan salam sebelumnya.

Terdengar langkah kaki semakin mendekat ke arah Rindi, "Rindi? Apa kamu demam?" Tanya buk bidan ramah. Tidak biasanya gadis itu datang, dia akan datang jika demam atau ada keperluan lain.

Rindi celingukan lalu memandang wajah Bu bidan sambil menggelengkan kepala.

"Kamu kenapa?" Tanya Bu bidan yang heran melihat tingkah Rindi.

"Apa Bu bidan bisa bantu Rindi?" Rindi balik bertanya dengan nada ragu.

Sekali lagi celingukan untuk memastikan keadaan aman.

"Masuk!" Ajak Bu bidan merasa ada yang tidak beres pada gadis di hadapannya.

"Bicaralah!" Titah Bu bidan setelah mereka berada di dalam rumah.

"Rindi tidak sengaja menemukan orang terluka di dekat sungai, matanya terkena ranting. Apa Bu bidan bisa menolong orang itu? Dia ada di rumah Rindi," tutur Rindi.

"Kamu membawa dia ke rumah? Kamu tidak takut dia berbuat jahat padamu?" Cecar Bu bidan.

"Rindi kasihan melihatnya, lagi pula dia tidak bisa berbuat apa-apa," jelas Rindi.

"Tunggu sebentar!" Bu bidan masuk ke kamar khusus untuk mempersiapkan barang yang akan di bawa ke rumah Rindi. Setelah semua beres, dia pun mengajak Rindi pergi.

Sesampainya di rumah Rindi, terlihat Adrian sedang terbaring sambil sesekali terdengar rintihan mengaduh menahan sakit.

"Tuan!" Sebut Rindi pelan.

"Kamukah itu, Rindi?" Tanya Adrian.

"Iya, bersama Bu bidan." Jawab Rindi.

Adrian mendudukkan tubuhnya sambil merintih. Rasa sakit mendera di sekujur tubuh.

"Maaf tuan, saya izin melihat luka tuan." Ucap Bu bidan.

"Silakan," balas Adrian.

"Tahan sedikit, ini akan terasa sakit." Ucap Bu bidan saat hendak membersihkan mata Adrian.

"Argh!" Ardian memekik saat ranting kecil yang menancap di matanya perlahan dicabut oleh Bu bidan.

Rindi melihat sambil meringis, seolah merasakan sakit yang sedang dirasa oleh pria di hadapannya.

"Tuan harus segera di bawa ke rumah sakit besar yang ada di kota. Jika tidak, maka kedua mata tuan tidak akan tertolong." Jelas Bu bidan.

Terlihat senyum merekah di bibir Adrian, "Biarlah buta untuk sementara," ucapnya. Membuat Rindi dan Bu bidan bingung.

Setelah selesai membersihkan luka mata dan tubuh, Bu bidan pun berpamitan untuk pulang. Sebelum pulang dia berpesan pada Rindi untuk mengambil obat dan beberapa helai pakaian pria untuk dipakai oleh Adrian. Kebetulan Adrian dan suami Bu bidan memiliki tinggi dan postur tubuh yang sama.

"Aku mau mengantar Bu bidan pulang," pamit Rindi pada Adrian.

Adrian meraba kantung celananya, untung dompetnya tidak hilang.

"Apa ada uang di dalam sini? Jika ada, ambilah untuk membayar obat dan membeli sedikit makanan." Kata Adrian sambil menunjukan dompetnya pada Rindi.

Ada banyak uang lembaran berwarna merah, Rindi mengambil dua lembar untuk membayar obat dan membeli makanan di warung depan yang ada di kampung.

"Aku ambil dua lembar merah," ucap Rindi.

"Apa itu cukup?" Tanya Adrian dan Rindi pun mengangguk walau dia tau Adrian tidak melihatnya.

Setelah itu dia bergegas ke rumah Bu bidan untuk mengambil obat dan membeli makanan.

Matahari sudah condong ke arah barat, artinya malam sudah semakin dekat.

Dengan sedikit berlari Rindi berjalan menyusuri jalan setapak menuju ke rumahnya.

Tanpa menghiraukan Adrian yang tengah berbaring, Rindi masuk ke dalam rumahnya. Dia menaruh makanan yang tadi di belinya ke atas piring. Setelah itu dia membawa makanan itu ke tempat Adrian sedang beristirahat.

"Loh, kok hilang. Ke mana perginya tuan Adrian?" Rindi celingukan mencari keberadaan Adrian yang tiba-tiba tidak ada di tempatnya.

"Rindi, tolong!" Teriak Adrian.