Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Sebatas Pengganti 02

Rindi terkejut mendengar suara Adrian yang memanggil dari arah luar gubuk. Bergegas, dia berlari ke sumber suara.

"Tuan Adrian, di mana Anda?" panggil Rindi dengan nada panik.

"Di sini!" balas Adrian lemah, suaranya terdengar dari balik semak-semak di dekat hutan.

Rindi segera menghampiri, menemukan Adrian terbaring lemah di atas tanah yang lembap. Dia terlihat lebih pucat daripada sebelumnya, keringat dingin mengalir di pelipisnya.

"Tuan, kenapa Anda keluar? Anda seharusnya beristirahat!" kata Rindi cemas, mencoba membantu Adrian berdiri.

"Aku... mendengar suara," jawab Adrian dengan napas terputus-putus. "Seseorang... atau mungkin sesuatu, memanggilku..."

Rindi memandang sekeliling dengan bingung, tak ada siapa pun selain mereka berdua. "Suara apa yang Anda dengar?" tanyanya.

Adrian menggeleng pelan. "Aku tidak tahu... tapi rasanya seperti aku harus mengikuti..."

Rindi merasa bulu kuduknya berdiri lagi. Suasana di sekitar mereka terasa berbeda. Udara mendadak dingin, dan suara hutan yang biasanya ramai kini berubah hening.

"Tuan, kita harus kembali ke gubuk. Ini tidak aman," kata Rindi, berusaha tetap tenang meski hatinya berdebar kencang.

Namun, sebelum mereka bisa bergerak lebih jauh, terdengar suara gemerisik dari arah semak-semak. Rindi menahan napas, mencoba mencari sumber suara itu. Tapi anehnya, tak ada apa pun di sana.

"Ayo, cepat!" Rindi menarik Adrian untuk segera kembali ke gubuk. Entah apa yang sebenarnya terjadi, tapi firasatnya mengatakan bahwa mereka tak boleh berlama-lama di tempat itu.

Setelah sampai di gubuk, Rindi mengunci pintu dan menutup jendela. Adrian terbaring kembali di tempat tidurnya, matanya terpejam menahan sakit.

"Rindi..." Adrian tiba-tiba berbisik lemah.

"Ya, Tuan." jawab Rindi.

"Terima kasih... tapi aku takut." Kata Adrian.

Rindi merasakan dadanya berdebar lebih cepat. "Apa maksud Tuan?" tanyanya, berusaha menenangkan diri meskipun kengerian mulai merayap dalam pikirannya.

Adrian berusaha duduk, meski jelas sekali rasa sakit membuatnya sulit bergerak. "Sejak kecelakaan tadi malam, seperti ada sesuatu yang mengikuti ku. Bayangan, suara, entah apa... selalu mengikutiku." Tutur Adrian.

Rindi menelan ludah, mencoba untuk berpikir rasional. "Mungkin itu hanya perasaan Tuan saja. Luka dan trauma bisa membuat seseorang merasa aneh," katanya, meski dalam hati dia sendiri mulai merasakan ada sesuatu yang tidak beres.

Namun, sebelum Adrian bisa menjawab, terdengar suara ketukan pelan di pintu. Rindi langsung tertegun. Siapa yang bisa berada di sini, jauh di tengah hutan, di waktu seperti ini?

Dengan hati-hati, Rindi melangkah mendekati pintu. "Siapa di sana?" tanyanya dengan suara bergetar.

Tidak ada jawaban. Hanya keheningan. Suara ketukan itu terhenti, tapi rasa takut dalam dirinya justru semakin besar.

"Tuan Adrian, apakah Tuan mendengar itu?" Rindi berbisik, berbalik melihat ke arah tempat Adrian berbaring. Namun, Adrian terlihat semakin lemah, matanya setengah tertutup, bibirnya bergetar pelan. Dia hanya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban atas pertanyaan Rindi.

Rindi menahan napas, kakinya serasa membeku di tempat. Tanpa berpikir lebih jauh, dia menjauhi pintu dan kembali ke samping Adrian, memastikan pintu tetap terkunci.

Ketukan itu tiba-tiba terdengar lagi, lebih keras kali ini, seolah ada sesuatu di luar sana yang mendesak untuk masuk.

Rindi merasa ketakutan mulai menyelubungi pikirannya.

"Rindi! Apa kamu di dalam? Ini ibu!" Teriak Bu bidan sambil menggedor pintu rumah Rindi.

Rindi pun akhirnya bisa bernafas lega saat mendengar suara Bu bidan di luar gubuknya.

Rindi bergegas membuka pintu dan mengajak Bu bidan untuk masuk.

"Ada apa malam-malam ibu kemari?" Tanya Rindi.

"Ada yang ingin ibu tanyakan pada Adrian," jawab Bu bidan.

Rindi dan Bu bidan sama-sama duduk di dekat Adrian.

"Boleh ibu bertanya?" Tanya Bu bidan pada Adrian dan Adrian hanya mengangguk saja.

"Apa kamu salah satu korban kecelakaan pesawat tadi malam?" Tanya Bu bidan.

"Ibu baru saja melihat beritanya di televisi," imbuhnya.

"Iya," jawab Adrian singkat.

Bu bidan menarik napas panjang, tampak berusaha mencerna situasi. "Jadi kamu salah satu yang selamat dari kecelakaan itu..." katanya perlahan. "Tapi bagaimana kamu bisa sampai di sini? Apakah ada orang lain yang bersamamu?"

Adrian terdiam sejenak, wajahnya terlihat lelah dan penuh rasa sakit, baik fisik maupun emosional. "Aku tidak ingat jelas... yang kuingat, pesawat itu terjatuh. Ada ledakan besar. Aku terlempar keluar sebelum segalanya menjadi gelap. Saat tersadar, aku sudah berada di hutan ini... sendirian."

Rindi mendengarkan dengan seksama, mencoba membayangkan apa yang dialami Adrian. "Tuan Adrian... apakah ada orang lain yang mungkin selamat?" tanyanya.

Adrian hanya menggeleng. "Aku tidak tahu... mungkin ada, mungkin tidak." Jawabnya.

"Ibu akan mencari informasi lebih lanjut tentang kecelakaan itu," katanya, "dan kita akan mencoba mencari bantuan untukmu, Adrian."

"Biarlah aku di sini sementara waktu hingga tubuhku sedikit pulih. Setelah itu, aku sendiri yang akan menghubungi keluargaku." Tutur Adrian dan dengan terpaksa Bu bidan pun mengangguk.

Bu bidan mengangguk dengan berat hati, meski jelas ada keraguan di wajahnya. "Baiklah, Adrian. Tapi jika kondisimu semakin memburuk, jangan tunda lagi untuk mencari bantuan lebih lanjut," pesannya. "Rindi, tolong awasi dia baik-baik. Jika ada sesuatu yang mencurigakan, segera kabari ibu."

Rindi mengangguk cepat, merasa terbebani oleh tanggung jawab besar yang kini berada di pundaknya. "Aku akan memastikan Tuan Adrian beristirahat dan menjaga kondisinya."

Setelah memberikan instruksi singkat tentang perawatan luka Adrian, Bu bidan pun berpamitan dan pergi meninggalkan gubuk itu. Malam semakin larut, dan suasana hutan di luar terasa semakin mencekam.

Rindi menoleh ke arah Adrian yang sudah kembali berbaring dengan lemah. "Tuan Adrian, Anda harus beristirahat sekarang. Saya akan menjaga api tetap menyala agar tetap hangat."

Adrian mengangguk lemah. "Terima kasih, Rindi. Maaf telah merepotkanmu..."

Rindi tersenyum tipis, meski hatinya penuh kecemasan. "Tidak apa-apa, Tuan. Yang penting sekarang, Anda harus fokus untuk sembuh."

"Tidurlah. Aku tidak akan berbuat macam-macam," kata Adrian.

Rindi tersenyum tipis, meskipun masih ada rasa was-was di dalam hatinya. "Aku percaya pada Tuan," jawabnya pelan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

Dia mendudukkan diri di pojok ruangan, masih memegang erat selimut tipis yang menutupi tubuhnya. "Tuan juga harus istirahat, agar lekas sembuh," lanjutnya sambil memperhatikan Adrian yang tampak semakin lemah.

Malam semakin larut, suasana di luar kian hening, hanya terdengar suara angin yang sesekali berdesir melewati celah-celah dinding gubuk. Meskipun Adrian sudah berbaring dengan mata tertutup, Rindi masih terjaga, matanya tak lepas mengawasi sekitar, seakan waspada akan sesuatu yang tak terlihat.

Beberapa saat kemudian, Rindi mendengar napas Adrian yang perlahan-lahan menjadi lebih teratur. Ia menarik napas lega, setidaknya untuk malam ini, Adrian terlihat bisa beristirahat.

"Tidurlah, Rindi. Semua akan baik-baik saja," bisik Rindi pada dirinya sendiri, sebelum akhirnya membiarkan dirinya tenggelam dalam kelelahan, meski di benaknya masih terbersit banyak tanda tanya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel