Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Sebatas Pengganti 03

Seiring berjalannya waktu, hubungan antara Rindi dan Adrian semakin dalam, seperti benang yang secara perlahan teranyam rapat tanpa mereka sadari. Rindi, yang awalnya hanya merasa iba dan bertanggung jawab atas keselamatan Adrian, kini merasakan sesuatu yang lain setiap kali mereka berbicara. Hatinya mulai bergetar dengan cara yang belum pernah ia alami sebelumnya.

Adrian, pria yang selalu diliputi misteri, perlahan-lahan mulai membuka diri. Setiap sore, mereka duduk di tepi sungai, tempat pertemuan pertama mereka. Aliran air yang tenang menjadi saksi percakapan-percakapan panjang mereka. Adrian berbicara lebih banyak sekarang, namun ada batas yang selalu ia jaga, rahasia yang enggan ia ungkapkan.

Pada suatu sore, angin berembus lembut, menyapu rambut Rindi yang lepas dari ikatan. Mereka duduk berseberangan di atas batu-batu besar yang menghadap sungai. Air yang mengalir jernih seolah menjadi refleksi dari perasaan yang belum tersampaikan di antara mereka.

"Bu bidan dan ketua RT sudah berjanji untuk merahasiakan keberadaanku," kata Adrian, menatap kosong ke arah sungai. Suaranya terdengar tenang, tapi ada kekhawatiran yang tersembunyi di balik nada bicaranya. "Aku tak ingin orang lain tahu, terutama keluargaku."

Rindi terdiam sejenak, hatinya sedikit tersentuh oleh nada pelindung dalam suara Adrian. "Kenapa Tuan ingin menyembunyikan diri?" tanyanya lembut. Ada keraguan di dalam dirinya, tapi dia tidak bisa menahan rasa ingin tahu itu lebih lama lagi.

Adrian menghela napas panjang sebelum menoleh padanya. "Ini bukan karena aku tak peduli pada mereka, Rindi. Tapi demi menjaga nama baikmu." Pandangannya penuh ketulusan, meski di balik tatapan itu, tersimpan rasa takut yang tak terucapkan. "Aku tak ingin orang berpikir buruk tentangmu."

Rindi tertegun mendengar kata-katanya. Ia tak menyangka bahwa Adrian, yang baru beberapa minggu ia kenal, memikirkan hal itu dengan begitu dalam. "Tuan tidak perlu khawatir soal itu," jawab Rindi, suaranya bergetar sedikit. "Aku sudah terbiasa hidup sendiri, dan apa pun yang orang lain katakan, aku tahu aku hanya ingin membantu."

Adrian tersenyum tipis, tetapi matanya tetap menampilkan kecemasan. "Tidak, Rindi. Nama baikmu terlalu berharga. Kau sudah melakukan banyak hal untukku... lebih dari yang bisa kubayangkan. Aku tak ingin kau mendapat masalah karena aku."

Hati Rindi mencelos. Ada sesuatu dalam nada suara Adrian yang membuatnya merasa bahwa pria ini tidak sekadar berterima kasih. Ada beban besar di pundaknya, beban yang mungkin belum siap ia bagi dengan siapa pun, termasuk dirinya.

Meski Adrian berusaha menyembunyikan luka batin yang lebih dalam daripada luka fisiknya, Rindi tahu ada sesuatu yang menghantuinya. Kecelakaan pesawat yang menewaskan banyak penumpang itu menjadi berita besar di seluruh negeri. Nama Adrian disebut-sebut di televisi, internet, dan surat kabar—semua orang mencari keberadaannya. Namun, Adrian tetap memilih diam, menutup diri dari semua itu. Dia masih belum siap untuk kembali.

"Kenapa Tuan tidak memberi tahu mereka?" tanya Rindi pelan, meski ia sadar pertanyaannya mungkin tak akan mendapatkan jawaban yang jelas.

Adrian menunduk, jemarinya menyentuh air sungai yang dingin. "Ada hal yang belum bisa kuselesaikan. Aku perlu waktu. Keluargaku... mereka tidak akan mengerti." Suaranya terdengar lebih rapuh sekarang, seolah ketakutan akan apa yang harus ia hadapi jika kembali ke dunia luar.

Rindi ingin mengatakan sesuatu, tapi ia tak ingin memaksa Adrian untuk membuka diri lebih dari yang dia inginkan. Dia percaya, pada waktunya, pria itu akan memberitahunya apa yang sebenarnya terjadi. Hingga saat itu tiba, Rindi hanya ingin memastikan Adrian aman dan memberinya waktu yang cukup untuk memulihkan diri.

Sambil menatap matahari yang mulai tenggelam di balik pepohonan, Rindi berjanji pada dirinya sendiri. "Selama Tuan di sini, saya akan menjaga rahasia ini," katanya dengan lembut. Ia tersenyum samar, meski dalam hatinya, ia tahu bahwa rahasia sebesar ini tidak bisa disembunyikan selamanya.

Malam itu, mereka kembali ke gubuk dalam diam. Namun, di tengah keheningan hutan, ada sesuatu yang tak terucapkan menggantung di antara mereka. Adrian duduk di tepi tempat tidur, memandang kosong ke arah luar jendela, sebelum tiba-tiba berkata, "Mungkin minggu depan aku akan menghubungi keluargaku."

Rindi yang sedang merapikan peralatan makan tersentak, tatapannya langsung beralih ke arah Adrian. "Tuan serius?"

Adrian mengangguk pelan. "Mungkin sudah saatnya. Aku tak bisa sembunyi selamanya. Namun..." Ia berhenti sejenak, mengambil napas panjang. "Aku hanya ingin memastikan semuanya akan baik-baik saja untukmu. Aku tak ingin keluargaku datang dan merusak hidupmu, Rindi."

Rindi tersenyum lembut, meski hatinya sedikit teriris. "Tuan tak perlu memikirkan itu. Aku akan baik-baik saja, seperti selama ini." Tapi di balik senyumnya, dia tahu bahwa perpisahan itu mungkin akan datang lebih cepat dari yang ia duga.

Pagi hari,

Matahari perlahan menyelinap di balik bukit, menyiramkan cahayanya ke halaman kecil di depan rumah Rindi. Suara burung yang bersahutan menemani setiap langkah gadis itu, seperti hari-hari sebelumnya. Dengan cekatan, Rindi mulai membersihkan rumah. Tangannya bergerak terampil menyapu lantai, mengelap perabotan kayu yang sudah tua, dan memastikan semuanya tertata rapi.

Meski terlihat sibuk, pikirannya tak pernah benar-benar lepas dari Adrian. Sesekali, matanya melirik ke arah pria itu, yang sedang duduk di sudut rumah, tangan meraba-raba permukaan meja, mencoba menemukan sesuatu yang bisa ia lakukan.

"Apakah aku bisa membantu?" suara Adrian memecah keheningan. Suaranya tenang, tapi ada nada keraguan di sana.

Rindi berhenti sejenak, mengusap keningnya yang sedikit berkeringat. "Tidak perlu, Tuan. Saya bisa mengatasinya," katanya sambil tersenyum lembut, meski dia tahu Adrian selalu ingin membantu, meski dengan keterbatasannya.

Namun Adrian tetap bersikeras. "Rindi, aku tidak ingin hanya duduk di sini. Aku bisa melakukan sesuatu."

Rindi tertegun sesaat, menyadari bahwa meski mata Adrian tak lagi bisa melihat, semangatnya tak pernah padam. "Baiklah," katanya akhirnya. "Jika Tuan ingin membantu, mungkin Tuan bisa menggulung tikar ini."

Adrian mengangguk, lalu dengan hati-hati meraba-raba lantai hingga menemukan tikar yang dimaksud. Gerakannya lambat, namun pasti. Ada ketelitian dalam setiap tindakannya, seolah-olah dia berusaha membuktikan bahwa meski buta, dia masih memiliki kendali atas hidupnya.

Rindi memperhatikan dalam diam, ada perasaan kagum yang diam-diam tumbuh dalam dirinya. Adrian tak pernah menyerah pada keadaannya. Setiap hari, meski tak mampu melihat, dia tetap ingin berperan, tak ingin menjadi beban.

Setelah rumah selesai dibersihkan, Rindi melanjutkan pekerjaannya. Dia memasak sarapan, aroma nasi yang baru matang dan ikan bakar memenuhi udara. Sementara itu, Adrian tetap duduk di sudut ruangan, mencoba mendengarkan setiap suara yang ada di sekitarnya, seolah-olah itu bisa menggantikan penglihatannya.

Setelah selesai memasak, Rindi mengemasi pakaian kotor dan pergi menuju sungai untuk mencuci. Sungai itu tak jauh dari rumahnya, namun jalannya terjal dan berbatu. Dengan langkah yang sudah terlatih, Rindi berjalan menuruni jalan setapak, ditemani suara gemericik air yang menenangkan.

Ketika Rindi merendam pakaian di sungai, pikirannya kembali melayang pada Adrian. Ia membayangkan bagaimana sulitnya hidup dalam kegelapan, tak mampu melihat dunia di sekitarnya. Tapi Adrian, dengan segala keterbatasannya, masih bisa memberikan kehangatan dalam setiap kata dan perbuatannya.

Di tepi sungai, Rindi memeras baju dan memandang jauh ke hulu sungai. Ada rasa tenang, tapi sekaligus ada sesuatu yang tak bisa ia abaikan. Sebuah perasaan yang tumbuh perlahan, seperti akar yang menancap dalam di tanah, mengakar di hatinya. Adrian bukan hanya tamu yang harus ia rawat, dia adalah sosok yang mulai berarti lebih dari sekadar seseorang yang membutuhkan pertolongan.

Saat Rindi kembali ke rumah, Adrian telah selesai menggulung tikar dan tengah duduk bersandar di dinding. "Apakah semuanya baik-baik saja di sungai?" tanyanya saat mendengar langkah kaki Rindi mendekat.

"Seperti biasa," jawab Rindi, tersenyum kecil. "Airnya jernih, anginnya sejuk."

Adrian mengangguk pelan, meski ia tak bisa membayangkan pemandangan yang Rindi ceritakan. Namun, melalui suaranya, ia bisa merasakan kedamaian itu. "Aku berharap bisa ke sana lagi di lain waktu," ucapnya perlahan.

Rindi menatap Adrian sejenak, lalu mendekat. "Tuan selalu bisa ikut, jika ingin," katanya lembut. "Sungai itu indah, dan... tenang. Saya bisa memapah tuan seperti biasanya."

Adrian tersenyum samar. "Mungkin suatu hari nanti," bisiknya, meski dalam hatinya ia tahu, hari itu mungkin tak akan pernah datang.

Dan di antara pekerjaan sederhana mereka, tanpa banyak kata, hubungan mereka terus tumbuh—seperti bunga liar yang mekar di tepi sungai, tumbuh di antara bebatuan yang keras, namun tetap indah.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel